Mongabay.co.id

Ini Tantangan Pengembangan Ekoturisme di Tanah Papua

Pemandangan Danau Anggi yang merupakan danau dataran tinggi dan dipercaya memiliki jenis kelamin, di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mengembangkan pariwisata di pulau Papua bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Walau memiliki beragam potensi keindahan alam yang tersedia di darat dan lautan, namun Papua diselimuti oleh banyak suku yang menyebar luas di seluruh wilayah yang mencakup dua provinsi.

Dalam pandangan Bustar Maitar, pengembangan pariwisata di Provinsi Papua dan Papua Barat harus dilakukan dengan konsep ekoturisme. Konsep tersebut, bisa diwujudkan jika pengembangan dilakukan dengan menggandeng masyarakat sekitar objek wisata.

Direktur Yayasan Econusa itu menjelaskan, dalam melaksanakan konsep ekoturisme, pemberdayaan masyarakat lokal menjadi tahapan yang harus dilaksanakan. Keterlibatan mereka, akan memberi nilai tambah pada konsep pengembangan pariwisata yang sedang dilakukan.

“Ekowisata itu adalah menikmati (alam) tanpa merusak,” ucapnya saat menjadi pembicara dalam gelaran Bincang Alam yang digelar Mongabay, pada Minggu (19/7/2020).

baca : Ekowisata, Jawaban Persoalan Deforestasi Papua Barat?

 

Direktur Yayasan Econusa Bustar Maitar bersama dengan anak-anak Papua. Foto : Bustar Maitar

 

Menurut Bustar, secara geografis Papua itu lokasinya cukup jauh dari Jakarta yang ada di pulau Jawa. Jika ingin mencapai Jayapura yang menjadi Ibu Kota Papua, diperlukan waktu penerbangan hingga lima jam atau sama dengan waktu tempuh penerbangan ke Jepang atau Hong Kong.

“Itu waktu tempuh untuk penerbangan langsung tanpa henti. Memang jauh tempatnya,” jelas dia menggambarkan betapa jauhnya pulau Papua dari pulau Jawa.

Dengan jarak yang terpisah jauh tersebut, tidak heran jika Papua dan Papua Barat memiliki keterbatasan yang cukup banyak dalam pembangunan dan infrastruktur. Termasuk keterbatasan dalam pembangunan untuk dunia pendidikan.

Agar semua keterbatasan itu bisa terus berkurang dan bahkan bisa hilang, diperlukan komitmen yang kuat dalam membangun wilayah Papua. Salah satunya, adalah pengembangan sektor pariwisata yang harus dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan masyarakat lokal.

Bustar Maitar yang memiliki darah Makassar, Sulawesi Selatan, mengaku lahir dan dibesarkan di tanah Papua dan kemudian menempuh pendidikan tinggi di Universitas Papua yang berlokasi di Manokwari, ibu kota Papua Barat.

Keterikatan batin yang sangat kuat dengan tanah Papua, diakuinya menjadi dasar untuk mengembangkan konservasi alam di wilayah tersebut. Oleh karena Itu, dalam mengembangkan pariwisata, dia berkesimpulan bahwa ekoturisme adalah konsep yang tepat untuk diterapkan.

baca juga : Papua Gelar Konferensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif. Seperti Apa?

 

Panorama nan indah Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua. Foto : Bustar Maitar

 

Konsep Konservasi

Ekoturisme sendiri, tidak lain adalah perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami dengan menjaga alam, menjaga keberlanjutan sosial, dan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat lokal, serta menciptakan pengetahuan dan pemahaman melalui interpretasi dan edukasi dari semua yang terlibat.

Bustar mencontohkan, aktivitas ekoturisme yang bisa dilakukan oleh wisatawan umum adalah dengan selalu meninggalkan kesan baik dan menjaga alam dengan tulus saat berkunjung ke objek wisata. Jika sedang naik gunung, maka saat akan turun selalu untuk mengumpulkan sampah yang berserakan, baik yang berasal dari diri sendiri ataupun wisatawan lain.

Begitu pula saat sedang berwisata ke kawasan pantai atau laut, wisatawan harus bisa menjaga lingkungan dengan baik. Caranya, dengan tidak membuang sampah sembarangan dan membiarkan sampah yang ada begitu saja.

Selain itu, jika objek wisata ingin dikembangkan dengan konsep ekoturisme, Bustar menyebutkan bahwa wisatawan yang berkunjung wajib melibatkan diri dengan masyarakat sekitar. Interaksi sosial tersebut akan memebrikan manfaat kepada masyarakat sekitar.

“Jadi, jangan pernah merusak saat berada di hutan, atau mengambil karang atau hewan saat berada di laut,” tegasnya.

perlu dibaca : Asa Membangun Ekowisata, Ditengah Godaan Menebang Kayu Hutan Papua

 

Panorama kawasan Sarawandori, Distrik Kosiwo, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Foto : Rhanifa

 

Adapun, dalam melaksanakan konsep ekoturisme pada suatu wilayah pariwisata, ada sejumlah prinsip yang harus dipatuhi dan diterapkan dalam praktiknya. Prinsip tersebut dijabarkan Bustar sebagai berikut:

  1. Wisata: menciptakan rasa aman, nyaman, dan memberikan kepuasan, juga pengalaman berharga bagi wisatawan;
  2. Edukasi: meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, serta memberikan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat, dan para pihak;
  3. Konservasi: memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan kontribusi pada konservasi alam dan pelestarian budaya, serta meminimalkan dampak negatif;
  4. Pelibatan Masyarakat: melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam pengembangan ekowisata, dan memberi peluang serta kesempatan untuk partisipasi dan mendapat manfaat;
  5. Ekonomi: memaksimalkan keuntungan kepada masyarakat setempat, dan meminimalkan dampak negatif.

Melihat rincian prinsip itu, penerapan konsep ekoturisme harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan situasi serta kondisi obyek pariwisata yang akan dikembangkan. Termasuk, dalam pengembangan ekoturisme di Papua.

Dengan kata lain, ada tiga poin utama yang bisa diciptakan dalam konsep ekoturisme, yakni konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal, dan meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Ketiganya akan saling terkait antara satu dengan yang lain, termasuk antara wisatawan dan masyarakat.

baca juga : Tambrauw: Mendorong Ekowisata, Menguatkan Lembaga Adat

 

Keindahan Aindami, Teluk Wondama, di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Papua Barat. Foto : Aisandami.com

 

Saat menerapkan konsep ekoturisme, pengelola objek pariwisata bersama masyarakat harus berani tegas dengan menegur wisatawan yang tidak patuh pada ketentuan dan melakukan perusakan. Bahkan, agar kesalahan tidak terulang lagi, sebaiknya dibuat sanksi agar tidak ada lagi wisatawan yang membandel.

Bagi daerah yang ingin mengembangkan objek wisata dengan konsep ekoturisme, Bustar menyarankan agar mereka bisa langsung memulai tanpa harus menunggu masuknya investor swasta. Dengan memulai secara mandiri dengan konsisten, itu secara langsung akan mengundang investor untuk berinvestasi.

 

Potensi Luar Biasa

Khusus untuk Papua, penerapan konsep ekoturisme harus dilaksanakan, karena Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan dua provinsi pemilik tutupan hutan terbesar di Indonesia, yakni 33,75 juta hektare dan 8,75 juta hektare.

Dalam hutan yang masih lebat, terdapat aneka ragam hayati yang terdiri dari 125 jenis mamalia, 223 jenis reptil, 602 jenis burung, dan sektar 20 ribu jenis tumbuhan. Selain itu, di sekitar hutan juga ada kehidupan masyarakat yang terdiri dari 255 suku dan 384 bahasa lokal.

Dengan kelimpahan anugerah alam yang luar biasa, tanah Papua saat ini memiliki lima lokasi ekoturisme yang tersebar di dua provinsi. Kelimanya adalah Ekoturisme Sarawandori di Serui, Kabupaten Yapen (Papua), Ekoturisme Malagufuk di Kabupaten Sorong (Papua Barat), Kampung Ugar di Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Cartensz Adventure di Kabupaten Puncak Jaya (Papua), dan Kampung Aisandami di Kabupaten Teluk Wondama (Papua Barat).

menarik dibaca : Alex Waisimon, Pahlawan Keragaman Hayati dari Papua

 

Gugusan pulau-pulau di kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : Kurabesi Explorer

 

Selain tempat-tempat tersebut, Bustar menyebutkan kalau ekoturisme juga terus dikembangkan di daerah lain yang memiliki potensi pariwisata alam yang tak kalah indahnya. Dalam melaksanakan konsep ekoturisme, masyarakat lokal harus senantiasa dilibatkan dalam penerapannya.

Dari semua itu, Bustar menyimpulkan bahwa ekoturisme berbasis masyarakat adat dalam penerapannya mewajibkan keterlibatan masyarakat ada. Kemudian, memberikan manfaat konservasi sumber daya alam, dan memberi manfaat usaha berkelanjutan yang ramah lingkungan untuk masyarakat adat.

Juga, ekoturisme bisa memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat adat, dan menciptakan mekanisme pendanaan untuk konservasi biodiversitas, serta pelestarian budaya. Terakhir, ekoturisme menjadi bentuk ketangguhan masyarakat dalam mendukung upaya perlindungan hutan dan laut.

 

Berawal dari Kenya

Sebelum digagas untuk diterapkan di Indonesia, praktik ekoturisme mulai mendapat perhatian dunia setelah Kenya, salah satu negara di benua Afrika mengajukan diri untuk menerapkan ekoturisme. Penyebabnya, karena negara tersebut menghadapi kerusakan alam yang sangat tinggi akibat pariwisata dan perburuan satwa liar.

Setelah Kenya bersuara, mulailah dunia bahu membahu untuk menggagas konsep ekoturisme dan dimulai pada 1976 saat Gubernur Jenderal Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menelurkan ide untuk menggabungkan wisata dan konservasi alam.

 

Salah satu obyek wisata pasir putih di Pulau Wayob, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Foto : Rahmi Djafar/ Mongabay Indonesia

 

Setelah 14 tahun atau pada 1990, konsep ekoturisme benar-benar baru bisa diterapkan di Kosta Rika, negara di benua Amerika. Penerapan itu dilakukan setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjuk negara tersebut untuk melaksanakan ekoturisme percontohan di dunia.

Di Indonesia, penerapan ekoturisme mulai mendapat dukungan Pemerintah setelah diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33/2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata. Sejak itu, pengembangan ekoturisme mulai mendapat perhatian banyak pihak di semua provinsi.

 

***

Keterangan foto utama : Pemandangan Danau Anggi yang merupakan danau dataran tinggi dan dipercaya memiliki jenis kelamin, di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version