Mongabay.co.id

Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

 

Sekitar enam tahun lalu, puluhan nelayan melakukan aksi di Pantai Batu Perahu, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Mereka menolak kehadiran penambangan timah rakyat di sekitar bibir pantai tersebut.

Aksi itu juga dilakukan di kantor Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung. Mereka berjalan kaki dari Toboali ke Pangkalpinang.

“Protes dilakukan dari 2014 hingga 2015. Kami keberatan karena merasakan langsung dampak negatif tambang timah. Banyak yang mendukung aksi kami, terutama para nelayan, tetapi banyak juga pihak yang coba menghambat,” kata Joni Juhri, Ketua Perhimpunan Nelayan Batu Perahu, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan kepada Mongabay Indonesia, Kamis [09/7/2020] lalu.

Perjuangan mereka berbuah manis. Sejak 2018, para nelayan di pantai Batu Perahu kembali leluasa mencari ikan.

“Alhamdulillah, sekarang laut kami terbebas tambang timah laut maupun kapal isap. Tidak sia-sia pengorbanan kami semua, para nelayan di Toboali, khususnya di Pantai Batu Perahu.”

Baca: Terasi Toboali Bergantung pada Kelestarian Laut Bangka

 

Aktivitas tambang dapat mengancam kehidupan nelayan pencari udang di Pantai Batu Perahu, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Dampak positif bebas tambang

Berbagi dampak positif dirasakan para nelayan setelah hilangnya tambang timah di sekitar laut mereka.

“Dulu, ketika ada tambang, kami harus mengeluarkan biaya operasional lebih, karena harus melaut jauh hingga ke tengah, sekitar 20 mil. Sejak tambang timah angkat kaki, kami hanya melaut sekitar 10 mil. Nelayan udang pun leluasa menyungkur di sekitar bibir pantai,” lanjut Joni.

Mayoritas nelayan di Pantai Batu Perahu adalah nelayan tradisional yang masih menggunakan teknologi penangkapan sederhana, dioperasikan manual. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan, ada sekitar 7.000 lebih warga Bangka Selatan yang berprofesi sebagai nelayan, seperti dikutip Radar Bangka.

 

Aktivitas tambang dekat bibir pantai membuat nelayan resah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mama, nelayan di Pantai Batu Perahu mengatakan, hasil tangkapan ikannya meningkat. “Tiga hari melaut dapat 100 kilogram ikan. Ini berbeda saat ada tambang timah dulu, balik modal BBM dan makan selama di tengah laut saja sudah untung,” katanya.

Toboali memiliki luas wilayah 1.460,36 kilometer persegi, berbatasan dengan Kecamatan Air Gegas di utara dan barat, Selat Bangka di selatan, timur dengan Selat Gaspar dan Kecamatan Tukak Sadai. Bentang alam yang berbatasan dengan laut tersebut, menjadikan 5 dari 11 desa di Kecamatan Toboali merupakan desa pesisir, salah satunya Tanjung Ketapang.

“Banyak masyarakat di sini menggantungkan hidup dari hasil laut. Maka dari itu, kami bersikeras menolak semua aktivitas tambang timah,” lanjut Joni.

Kawasan perikanan tangkap memang tersebar di seluruh perairan laut wilayah Kabupaten Bangka Selatan, yaitu di Kecamatan Toboali, Simpang Rimba, Airgegas, Lepar Pongok, Pulau Besar, Tukak Sadai, dan Kepulauan Pongok. Luas perairan ini sekitar 1.064.000 hektar.

Masifnya tambang timah di sekitar laut Toboali pada 2014 hingga 2015 tergambar dalam data Produksi Perikanan Laut di Kabupaten Bangka Selatan, yang berdampak menurunnya produksi tangkap ikan sebanyak 12 persen pada tahun 2014. Naik sekitar 1,68 persen pada 2015.

Baca: Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

 

Nelayan mendorong perahu motor untuk pergi melaut di Pantai Batu Perahu, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Perda RZWP3K

Pertengahan Juli, Mongabay Indonesia berkunjung ke Pantai Batu Perahu. Di pintu masuk, pada spanduk, tertulis jelas penolakan kelompok nelayan terhadap pengesahan Peraturan Daerah [Perda] Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 27 April 2020 lalu.

“Baru saja kami bebas dari tambang timah, sekarang ada lagi Perda Zonasi yang mengancam keberlanjutan laut kami dan mata pecaharian warga setempat,” ujar Joni.

Dalam Perda tersebut, perairan laut sekitar Toboali, masuk dalam tiga zona yakni zona pariwisata, pertambangan, dan perikanan tangkap.

“Bagaimana bisa, dalam satu wilayah, pariwisata dan perikanan berdampingan langsung dengan tambang timah. Pasti tidak enak dilihat, jika tempat wisata pemandangannya tambang timah. Apalagi dampak bagi nelayan, kami sudah sejak dulu menolak.”

Tidak hanya nelayan di Bangka Selatan yang menolak adanya zona tambang di wilayah tangkap ikan. “Nelayan di Kabupaten Bangka, khususnya Sungailiat juga kompak menolak, seperti nelayan di daerah Pantai Rebo dan Matras. Karena, mau dekat atau jauh jaraknya, sedikit atau banyak, tambang timah di laut pasti berdampak negatif bagi nelayan,” papar Joni.

Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Naziarto, mengatakan luas kawasan untuk masing-masing zonasi di Bangka dan Belitung untuk perikanan tangkap adalah 2.591.390,5 hektar. Untuk perikanan budidaya [185.623,9 hektar], konservasi [627.612,9 hektar], pelabuhan [49.683,8 hektar], industri [310,3 hektar], alur kabel atau pipa [189.093,2 hektar], pertambangan [477.077,6 hektar] dan pariwisata [138.327,1 hektar].

“Jadi, dalam RZWP3K wilayah perairan nelayan masih paling luas dibandingkan kawasan lainnya,” tuturnya, dikutip dari wowbabel.com, Kamis [05/3/2020].

Baca: Saat Air Kolong Jadi Andalan Masyarakat Bangka

 

Suasana Pantai Batu Perahu yang sementara waktu bebas tambang timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Meski menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, Dr. Arief Febrianto, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengatakan, akses nelayan terhadap laut bersifat open access.

“Proses pelibatan nelayan atau stakeholder, sudah dilakukan mengacu Permen KP No.23/men/2016 tentang perubahan atas peraturan menteri KP No.34/men/2014 tentang perencanaan pengelolaan WP3K, dimana setiap tahapan penyusunan melalui proses konsesus atau kesepakatan bersama,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [11/07/2020].

Hadirnya Perda RZWP3K, diharapkan membantu menyelesaikan persoalan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum dimiliki dan tumpang tindih.

“Dengan perda tersebut, peraturan bisa disederhanakan menjadi satu. Lebih memudahkan dalam proses penerbitan perizinan untuk segala kegiatan yang ada di kawasan pesisir,” katanya.

Baca juga: Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

Seorang warga tampak berada di samping spanduk yang dipasang oleh kelompok nelayan Pantai Batu Perahu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tambang timah ancaman serius

Tambang timah laut sejak lama menjadi salah satu ancaman nelayan di sekitar pesisir Pulau Bangka. Dalam catatan Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Kepulauan Bangka Belitung, aktivitas tambang di perairan laut Bangka-Belitung menyebabkan hancurnya terumbu karang akibat sedimentasi. Lumpur dari tambang tersebut bisa terbawa arus sejauh 30-40 kilometer.

“Kita asumsikan perhari dari 1 KIP [Kapal Isap Produksi] menghasilkan limbah 2.700 meter kubik, jika terdapat 40 KIP akan menghasilkan 39,42 juta meter kubik pertahun. Belum lagi limbah dari ponton isap produksi [PIP] yang jumlahnya ratusan,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Babel], kepada Mongabay Indonesia, Minggu [12/7/2020].

Hingga saat ini, data Walhi Babel menunjukkan, tidak kurang 5.270 hektar terumbu karang dalam keadaan rusak akibat tambang laut. Diperkirakan juga sekitar 400 hektar ekosistem mangrove rusak akibat aktivitas ini.

“Artinya, ada pembiaran laju kerusakan ekologis.”

Walhi juga mencatat, sebelum 2011, nelayan kecil tradisional di Babel rata-rata dengan kapasitas mesin perahu dari 2,5 PK sampai 15 PK dengan alat tangkap pancing, jaring, bubu dan rawai, bisa menghasilkan ikan 20-50 kg perhari. Nilai jual mencapai 1 juta Rupiah. Sekarang, hanya 3 kilogram perhari dengan nilai jual 150.000.

“Industri ekstraktif sektor tambang di perairan laut makin diperkuat sejak disahkan Perda No. 3 tahun 2020 tentang RZWP3K Provinsi Bangka Belitung.”

Sudah saatnya Bangka Belitung meninggalkan tambang timah. Lebih baik mendorong pertanian berkelanjutan ramah lingkungan dan pariwisata berbasis kearifan lokal.

“Tentunya, dengan melibatkan peran aktif masyarakat desa atau kampung melalui unit-unit bumdes dan koperasi setempat,” tegas Jessix.

 

 

Exit mobile version