Mongabay.co.id

Sungai Lakitan yang Kini Tidak Bisa Diandalkan

 

 

Sungai Lakitan di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, adalah satu dari delapan sungai besar yang bermuara di Sungai Musi. Tujuh lainnya adalah Sungai Rawas, Sungai Leko [Batang Hari Leko], Sungai Semangus, Sungai Kelingi, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Komering. Hadirnya sungai-sungai ini membuat Sumatera Selatan dijuluki “Negeri Batanghari Sembilan” karena setiap sungai melahirkan satu suku.

Namun, seperti sungai besar lainnya di Sumatera Selatan, sungai yang berhulu di kawasan Sebelat [Taman Nasional Kerinci Sebelat] ini mengalami berbagai persoalan. Utamanya, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS] Sumatera Selatan, panjang Sungai Lakitan sekitar 1,113 kilometer. Anak sungainya adalah Sungai Hitam, Sungai Megang, Sungai Malus, Sungai Pelikai, Sungai Sumuk, dan Sungai Maka.

“Dulu, begitu gampang kami mencari ikan di sungai ini [Lakitan] yang ukurannya besar. Baik baung, tapah, belido, atau lais. Kini sulit nian, kalaupun dapat, jarang ukuran besar. Jika ada warga mencari ikan, dilakukan dengan najur [mancing yang ditinggalkan] dan nyetrum,” kata Arasman [62], warga Dusun IV, Desa Muara Megang, Kecamatan Megang Sakti, Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juli 2020.

Baca: Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

Desa Muara Megang, salah satu desa tertua di tepi Sungai Lakitan, Kabupaten Musirawas, Sumsel. Dulunya desa ini sentra getah karet. Foto: Yudi Semai

 

Selama beberapa hari di Desa Muara Megang, saya melihat aktivitas masyarakat di Sungai Lakitan sangat minim, dibandingkan sungai lain di Sumatera Selatan. Perahu nelayan yang melintas dapat dihitung dengan jari. Begitu pun perahu yang membawa getah karet. Bahkan, sulit menemukan warga yang membuat atau memperbaiki perahu.

“Dulu, di desa ini banyak perahu tongkang, termasuk speedboat. Tapi sejak jalan darat dibuka, perahu mulai ditinggalkan warga. Tapi berkurangnya nelayan, ya karena ikan memang sedikit [populasi],” kata Arasman.

Desa Muara Megang merupakan salah satu desa tertua yang didiami suku Lakitan, yang berada di tepi Sungai Lakitan. Desa yang luasnya sekitar 4.000 hektar dengan penduduk sekitar 2,5 ribu jiwa, pada masa pemerintah Belanda dikembangkan sebagai sentra getah karet. Ribuan hektar lahan dijadikan kebun karet yang dikelola masyarakat. Sebagian kebun ini masih bertahan hingga sekarang.

“Menurut orangtua kami dulu, kebun tidak dibuka hingga ke rimba. Sebab rimba merupakan tempat puyang [harimau] berdiam, termasuk gajah. Tapi setelah rimba dibuka untuk diambil kayu sekitar 1990-an, serta hadirnya perkebunan sawit, sudah sulit sekali kami menemukan harimau dan gajah. Bahkan rusa, burung-burung sudah habis galo [semua]. Sekarang tinggal cerita,” tambah Saharudin, warga Dusun IV Desa Muara Megang.

Baca: Kejayaan Bahari dan Kesadaran yang Hilang Merawat Sungai Musi

 

Tepian Sungai Lakitan di Desa Muara Megang yang mengalami abrasi. Tampak juga pohon sawit yang ditanam di tepian sungai. Foto: Yudi Semai

 

Selalu banjir

Sebelumnya, setiap lima tahun, saat musim penghujan tiba, air Sungai Lakitan meluap hingga delapan meter dari ketinggian saat kemarau. Ketika banjir, bagian bawah rumah warga, yang sebagian besar rumah panggung dipastikan terendam air.

“Tapi sekarang, bukan per lima tahun lagi. Hampir setiap tahun kami mengalami banjir. Tahun ini saja sudah dua kali,” kata Iswanto, warga Dusun II Desa Muara Megang.

“Aku dan keluarga harus mengungsi ke rumah orangtua, sebab rumah kami bukan rumah panggung,” lanjutnya.

Baca: Berapa Jenis Ikan yang Hidup di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan?

 

Saat musim penghujan, air Sungai Lakitan meluap melewati bibir sungai yang meredam bagian bawah rumah panggung warga. Foto: Yudi Semai

 

Banjir bukan hanya dialami Desa Muara Megang, juga desa lain yang berada di sekitar Sungai Lakitan. Sebut saja desa-desa di Kecamatan Muara Lakitan dan Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas.

Februari 2020 lalu, di Kabupaten Musirawas bukan hanya Sungai Lakitan yang meluap, juga Sungai Kelingi. Tercatat, sedikitnya empat kecamatan terdampak banjir cukup parah. Yakni Kecamatan Bulan Tengah Suku, Muara Lakitan, Muara Kelingi, Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas.

“Sebanyak 4.184 kepala keluarga atau 15.638 jiwa yang hidup di 1.407 rumah terdampak banjir di Kabupaten Musirawas,” kata Ansori, Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan BPBD Sumsel, seperti dikutip okezone.

Foto: Melestarikan Sungai di Pasaman Melalui Arung Jeram

 

Perahu yang kian meninggalkan Sungai Lakitan. Dulu, Sungai Lakitan yang melintas di depan Desa Muara Megang, ramai perahu nelayan. Foto: Yudi Semai

 

Mengapa banjir sering terjadi saat ini?

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia selama sepekan di sekitar Sungai Lakitan, kawasan hutan yang masuk DAS Lakitan banyak yang menjadi perkebunan sawit dan permukiman.

Alih fungsi lahan, selain bertambahnya perkebunan sawit, baik perusahaan maupun masyarakat, juga berkembangnya permukiman di sekitar Jalan Lintas Tengah Sumatera yang memotong Sungai Lakitan.

Baca: Kala Kondisi Sungai-sungai di Jambi Makin Memprihatinkan

 

Sudah jarang warga Desa Muara Megang, yang berada di tepi Sungai Lakitan, Kabupaten Musirawas, Sumsel, membuat perahu. Foto: Yudi Semai

 

“Kami baru sekarang ini tahu, jika tanaman sawit tidak baik menjaga air seperti pohon karet yang ditanam leluhur kami. Kalau musim penghujan banjir, musim kamarau kami krisis air. Udara juga kian panas di siang hari,” kata Iswanto, yang memilih menjadi nelayan dibandingkan berkebun karet atau sawit.

“Sungai Lakitan ini dulunya surga, sebab banyak ikan dan tempat kami beraktivitas. Sekarang ini mungkin membuat kami selalu cemas setiap kali hujan deras, takut banjir,” kata Arasman. “Jika Sungai Lakitan hilang, budaya dan tradisi kami pun hilang, Suku Lakitan tinggal nama,” lanjutnya.

Selain banyak kebun campuran masyarakat dan hutan di DAS Lakitan berubah menjadi perkebunan sawit, potensi batubara di Muara Lakitan juga mengancam Sungai Lakitan, terutama limbah dan sedimentasi.

Dikutip dari Antara, pada 2012, tercatat satu perusahaan batubara beroperasi di Muara Lakitan, yakni PT. Baru Santosa Lestari.

Baca: Perlu Upaya Serius Selamatkan Sungai di Sumatera Utara

 

Dulunya, kebun sawit di Desa Muara Megang, Kabupaten Musirawas, Sumsel, ini merupakan rimba yang masuk DAS Lakitan. Foto: Yudi Semai

 

Sawit menggusur karet

Sebagai dampak harga karet yang turun, yakni kisaran Rp6.000 per kilogram, berkurangnya sumber pangan dari Sungai Lakitan dan hutan sekitarnya, serta melihat kesuksesan perusahaan perkebunan sawit di sekitar desa, membuat sejumlah warga Desa Muara Megang mengubah kebun karetnya menjadi kebun sawit.

“Paling luas dua hektar. Bahkan banyak yang hanya setengah hektar dijadikan kebun sawit, yang sebelumnya kebun karet. Modalnya uang sendiri, bantuan keluarga, dan mungkin juga meminjam,” kata Hendra, warga Dusun 5 Desa Muara Megang.

Warga memilih sawit karena dalam perhitungan mereka, setiap satu hektar menghasilkan uang per bulan sekitar Rp10 juta. “Sementara karet, paling banter sebulan dapat Rp2,5 juta saat ini.”

Terkait besarnya biaya saat peremajaan atau replanting sawit, sebagian warga tampak tidak begitu peduli. “Itu kan 25 tahun nanti, sementara kebutuhan ekonomi kan hari ini. 20 tahun hidup berkecukupan, ya, lumayan, dari pada susah selama dua dekade.”

“Sebenarnya warga tidak mau mengubah kebun karet menjadi kebun sawit. Tapi ini kan karena tuntutan ekonomi,” tegas Hendra.

 

 

Exit mobile version