Mongabay.co.id

UU Minerba dan Omnibus Law, Ada buat Siapa?

 

 

 

 

Pada 12 Mei 2020, DPR ketok palu Rancangan Undang-undang Pertambangan, Mineral dan Batubara jadi UU. Disusul masih dalam pembahasan satu aturan kontroversial lagi, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang menyederhanakan berbagai peraturan dikenal dengan istilah omnibus law. Berbagai kalangan menilai, dua aturan ini sebagai bentuk ketikdakberpihakan pemerintah dan DPR kepada lingkungan dan rakyat. UU Minerba baru pun dinilai sebagai pendorong pertambangan batubara, dan bakal makin menyulitkan pengembangan energi terbarukan.

Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan menyebut, UU Minerba baru dan omnibus law merupakan bentuk ketidakberpihakan pemerintah dan DPR pada lingkungan. Salah satu argumen, katanya, praktik lingkungan dalam good mining practices UU ini tak terakomodir.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Padahal, masalah lingkungan oleh praktik pertambangan belum diperhatikan dengan baik dalam UU Minerba lama. UU Minerba baru, katanya, menambah skeptis.

“Seperti, pada setiap tambang yang sudah beroperasi harusnya ditutup, karena setiap izin usaha pertambangan dalam UU Minerba lama harus sediakan dana jaminan reklamasi, tapi kenyataan masih jauh,” katanya dalam diskusi bertajuk Sumber Daya Alam dalam Cengkeraman Oligarki – Polemik UU Minerba dan Omnibus Law yang dihelat secara daring, baru-baru ini.

Pertambangan saat ini, masih ada berjalan serampangan. Satu contoh, di Kalimantan ada pertambangan batubara di belakang Kantor KPU dan halaman sekolah.

Baca juga: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

UU Minerba baru harus ditanyakan lagi ke presiden dan DPR karena tak menjawab masalah lingkungan sama sekali. UU ini, katanya, pun tidak menjawab persoalan daerah yang selama ini bermasalah dengan pertambangan.

“Jadi, kalau nikel, batubara sudah habis dan lingkungan rusak, lalu kebun mereka hilang, mereka harus hidup pakai apa? Tambang ini hanya sementara, karena nonrenewable resources,” katamya.

 

Seriuskah Pemerintah Indonesia, mau mengembangkan energi terbarukan? Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Persulit energi terbarukan

Maxensius Tri Sambodo, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, upaya Undang-undang Minerba sebagai pendorong pertambangan batubara justru bisa memperlambat pembangunan energi terbarukan. Padahal, tren global justru mengarah ke implementasi energi terbarukan sebagai sumber energi.

“Kalau Indonesia tidak serius bangun energi terbarukan, kita akan ditertawakan negara tetangga.”

Dia menyebut, tren global sedang bertransisi dari energi fosil ke terbarukan berdampak pada pasar batubara yang harga terus menurun. Imbasnya, ekspor batubara Indonesia pun cenderung menurun ke beberapa negara, kecuali Tiongkok dan India, pasar setia batubara Indonesia.

Baca juga: Kala Gubernur sampai Mahasiswa Gugat UU Minerba

Dalam kesempatan berbeda, pendiri Sustainable Finance Institute Asia, Eugene Wong memberi pandangan terhadap UU Minerba yang baru. Regulasi ini, katanya, menguntungkan industri batubara.

“Regulasi Minerba baru ini sangat pro-coal, padahal kita tahu batubara adalah energi kotor,” katanya.

Menurut dia, yang terbaik mendorong potensi energi terbarukan yang menjanjikan dan harga lebih murah dalam beberapa tahun terakhir.

“Proyek-proyek seperti surya nusantara yang mendorong pengadaan energi listrik di masyarakat sangat baik. Seharusnya dapat lebih banyak porsi perhatian lagi dari pemerintah,” katanya.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Soal dorongan terhadap pertambangan batubara dan PLTU, sebagai industri hilir batubara dengan memakai aturan macam UU Minerba maupun RUU Cipta Kerja, bisa terlihat dari penjelasan Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).

“Sedang ada perselingkuhan aktor bisnis dengan pemegang kebijakan publik,” katanya.

Dia menilai, pemerintah sedang melakukan praktik state capture corruption atau korupsi yang dilegalkan negara dengan berbagai kebijakan dan pelayanan publik yang keluar.

Salah satu industri yang jadi bancakan negara dengan sektor bisnis tidak lain adalah batubara. ICW menyebut, elit kaya dalam industri batubara banyak yang terafiliasi dan duduki jabatan publik.

“Hingga pada akhirnya ada kepentingan dan fasilitasi state capture corruption ini.”

UU Minerba dan omnibus law yang masih dibahas dinilai sebagai kebijakan sangat menguntungkan para pengusaha batubara.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Secara khusus ICW menelusuri perusahaan tambang batubara yang berafiliasi dengan para pemangku kepentingan di pemerintahan. Ada empat grup disoroti, yaitu, Bumi Group, Indika Group, Adaro Group dan Toba Group.

Masing-masing grup ini memiliki nama besar di kancah politik, seperti Bumi Group berafiliasi dengan keluarga Bakrie, Indika Group dengan Agus Lasmono dan keluarga Wiwoho Basuki. Adaro Group dengan nama-nama seperti Sandiaga Uno, Teddy Permadi, keluarga Soeryadjaya, keluarga Subianto maupun keluarga Thohir. Kemudian, Toba Group berafiliasi dengan Luhut Binsar Panjaitan, Fachrul Razi dan Djamal Nasser Atamimi.

“Dengan ada UU Minerba dan omnibus law, makin legal praktik pengambilalihan kekayaan alam yang milik publik jadi milik privat.”

Tidak hanya berhenti di penguasaan sektor batubara, ICW mencatat juga di hilir industri batubara, yaitu pembangki listrik.

Program pembangkit listrik 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo didominasi PLTU batubara.

PLTU pun tidak lepas dari korupsi. Tercatat, ada dua kasus korupsi berkaitan dengan PLTU ditangani penegak hukum, yakni, pertama, PLTU-1 Riau melibatkan aktor eksekutif, legislatif, pengusaha dan direktur utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kedua, kasus korupsi PLTU Cirebon melibatkan bupati yang diduga bersekongkol dengan pengusaha untuk memuluskan proyek ini.

ICW khusus menelusuri 20 proyek PLTU di seluruh Indonesia, ditemukan sedikitnya ada 10 orang terkaya se-Indonesia di balik proyek pembangkit listrik.

Beberapa nama itu adalah Sandiaga Uno, Boy Thohir dan Arini Subianto di balik PLTU Tanjung Kalimantan Selatan. Ada pula Prajogo Pangestu, orang terkaya ketiga menurut majalah Forbes pada 2019 di PLTU Jawa 9 dan 10. Pejabat publik pun ICW temukan di dalam proyek ini, yaitu Luhut Binsar Panjaitan, Fachrul Razi di balik PLTU Sulbagut 1 dan PLTU Sulut 3.

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

 

Reses, bahas omnibus law tetap jalan

Sementara itu, sejak 16 Juli 2020 sampai memasuki masa reses, Badan legislatif (Baleg) sudah membahas dua kali Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja, pada 22 Juli dan 23 Juli 2020.

Leida Hanifa, Sekretaris Fraksi PKS DPR membenarkan, ada pembahasan itu. “PKS tidak hadir. Menurut kami karena ini di masa reses, tugas kami menggali aspirasi dari dapil. Termasuk aspirasi masyarakat di dapil terkait RUU Ciptaker,” katanya kepada Mongabay.

Sebelumnya, pada 16 Juli, Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR mengatakan, tak ada ada sidang saat reses. “Tidak akan ada sidang-sidangnya,” katanya, saat ditanya apakah akan ada pembahasan omnibus law saat reses. Ada dokumentasi video Gebrak saat audiensi.

Dua hari itu, ada jadwal melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja BAB III tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha oleh panitia kerja. Dasco mengatakan, rapat saat reses sudah dibahas dan diputuskan dalam Badan Musyawarah (Bamus), hanya memperbolehkan rapat terkait legislasi.

“Yang terpenting dalam masa reses tidak boleh diadakan keputusan.”

Dasco mengatakan, pimpinan DPR tak membohongi rakyat. Yang disampaikan pada pertemuan dengan delegasi Gebrak 16 Juli, Baleg menerima aspirasi Gebrak untuk tak sidang. Artinya, tak ada pengambilan keputusan di Baleg.

“Tetapi DPR tetap mengadakan rapat-rapat, FGD serta membuka ruang untuk menerima aspirasi dan bentuk penerimaan aspirasi lain.”

Dia bilang, RUU ini mengatur banyak sekali hal positif seperti pemberdayaan UMKM.

“(Ucapan Dasco) jurus ngeles politisi. Kesepakatannya, berjanji selama reses tidak ada pembahasan terkait omnibus law,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria.

Dewi Kartika, salah satu dari 20 perwakilan masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) bertemu Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad 16 Juli lalu.

Dasco menjelaskan, tak ada pengesahan RUU Cipta Kerja karena masih mendapatkan penolakan masyarakat.

Hasil audiensi, selain DPR tidak ada pengesahan RUU Cipta Kerja juga keputusan pembahasan lanjut ataupun tidak akan putus di rapat pimpinan setelah reses, masa reses berakhir 14 Agustus.

Koalisi masyarakat sipil menolak keseluruhan RUU Cipta Kerja. “Masalah omnibus law bukan dari kluster ke kluster, tapi banyak UU yang menyangkut aspek kehidupan, media massa, pendidikan dan lingkungan hidup, banyak diotak-atik dan diubah untuk kepentingan investasi dan bisnis.”

Apalagi, katanya, dalam RUU Cipta Kerja, kesulitan memperoleh tanah bagi para investor dianggap sebagai hambatan berinvestasi. Ironisnya, jawaban RUU ini dengan mempermudah penggusuran.

Pengaturan agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur yang jadi bagian utama dalam RUU Cipta Kerja ini adalah mempermudah penggusuran melalui pengadaan tanah. Juga lewatkonsesi 90 tahun kepada investor, menghapus sanksi bagi perusahaan yang merampas tanah, gusur, atau beli dengan murah tanah-tanah rakyat.

“Ini ga bisa ditawar, harus dihentikan, banyak RUU yang penting diprioritaskan, tapi ga ada kelanjutannya.” Dia tanya RUU Masyarakat Adat saat audiensi, tidak ada tanggapan.

 

PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit 9 dan 10. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Perhatian skala besar, abaikan pangan

Emil Salim, begawan ekonomi juga tokoh lingkungan hidup mengatakan, kebijakan-kebijakan yang ada saat ini tidak mengutamakan kesejahteraan masyarakat, misal soal pangan.

Sektor pertambangan dan perkebunan skala besar seringkali dapat fasilitas terbaik, namun dalam pengelolaan pangan seringkali terhambat. Kondisi ini terlihat dari proses pengesahan UU Minerba yang berjalan sangat mulus.

Padahal, katanya, berbicara kebutuhan pokok pangan masyarakat, Indonesia masih bergantung pada impor.

“Sumbangsih PDB (produk domestik bruto-red) pada kuartal I 2020 bidang pertanian, perikanan dan kehutanan 12,8%, sedangkan pertambangan hanya 6%, separuh, tapi nilai tukar di petani masih rendah. Ongkos yang mereka keluarkan lebih tinggi daripada hasil jual.”

Kondisi ini menyebabkan mereka makin terhimpit. Untuk itu, perlu ada pendampingan petani dalam peningkatan kesejahteraan mereka, fasilitas pelatihan, pupuk, jaminan harga dan lain-lain.

Sayangnya, hal sangat mendasar ini tak pernah jadi perhatian oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. “Tekankan pada human resources development kita berdasarkan daya dukung alam. Kuncinya, fasilitas pendidik petani, sebagian besar 60% tenaga kerja kita itu petani.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menyatakan, omnibus law ini membuat ketimpangan penguasaan sumber daya alam di Indonesia makin parah.

“Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam, namun hanya dinikmati beberapa kelompok saja.”

Tak jarang pula itu menyebabkan konflik agraria karena hak-hak mendasar warga dan sumber daya tidak pernah diakui.

“Berbicara soal pertumbuhan ekonomi, esensinya likuidasi alam, seberapa besar alam dikeruk dan seberapa besar alam dikonversi. Konsekensinya, produksi tidak mempertimbangkan alam, menyebabkan pencemaran lingkungan hidup dan pengurasan sumber daya alam.”

Pemulihan adil dan lestari sangat perlu dalam membalik krisis saat ini. Dengan menekankan pada kualitas lingkungan yang baik, kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat.

Dia menekankan, perlu ada dorongan demokratisasi dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi rakyat.

 

UU Minerba 2020

 

Pertanian warga sangat subur walau di musim kemarau. Mereka tinggal di kaki Pegunungan Kendeng yang berlimpah air. Lahan pertanian produktif ini pun terancam tambang ekstraktif. Bagaimana mau menguatkan pangan, kalau yang ada saja terganggu? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Limbah PLTU yang mencemari lingkungan. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Exit mobile version