Mongabay.co.id

Kala Kelapa, Pala, Cengkih Meredup, Tergusur Tambang dan Sawit

Warga Banemo, Patani, Halmahera Tengah, hidup bergantung dari alam dengan beragam tanaman seperti pala, cengkih, pisang dan hasil bumi lainnya, termasuk perikanan. Mereka hidup jauh dari miskin. Mereka khawatir, kala ada kebun sawit masuk, malah bikin sengsara berkepanjangan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kelapa, cengkih dan pala, antara lain tiga produk unggulan Maluku Utara. Produk-produk ini sudah turun menurun jadi kelolaan warga. Sayangnya, produk rakyat itu, akhir- akhir ini malah terdesak. Perusahaan-perusahaan skala besar baik tambang maupun kebun sawit masuk menguasai lahan puluhan ribu hektar atau lebih. Kebun kelapa, pala, cengkih, menyusut dan terancam beralih ke perusahaan-perusahaan skala besar itu. Perhatian dan akses pemerintah tampak lebih fokus pada industri ekstraktif tambang dan perkebunan sawit ketimbang menguatkan petani.

Bahasan ini mengemuka dalam seri diskusi Tandan Sawit oleh Sawit Watch bekerjasama dengan AMAN Maluku Utara dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate, medio Juli lalu. Diskusi ambil tema “Mengembalikan Kejayaan Komoditi Lokal Indonesa.”

Baca juga: Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

Munadi Kilkoda, anggota DPRD Halmahera Tengah Malut juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut mengatakan, produk perkebunan warga paling banyak cengkih, pala dan kelapa. Hasil panen lokal itu jadi sumber pendapatan dari dulu.

“Warga bergantung pada sektor perkebunan. Kita memiliki kekayaan itu, sayangnya, support pemerintah minim dibanding [ke] tambang dan perkebunan skala besar,” katanya.

Banyak kasus terjadi, lahan- lahan perkebunan kelolaan masyarakat beralih ke perkebunan sawit dan tambang.  Akhirnya, warga berhadapan sendiri dengan kekuatan modal dan korporasi.

Baca juga: Ratusan Izin Tambang di Maluku Utara Libas Wilayah Adat, Kok Bisa?

Hingga kini, di Malut belum ada kebijakan pemerintah daerah dalam melindungi petani. Kalau menbuka dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW), alokasi ruang banyak buat perkebunan besar dan tambang.

Dia contohkan, di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, RTRW 43% pada buat tambang dan sawit. Kondisi ini, kontradiktif dengan potensi kelapa, pala dan cengkih, sebagai usaha utama masyarakat.

 

Muka lubang tambang dengan kedalaman 500 meter di Gunung Dunga. Sejak awal tahun ini, karena himpitan ekonomi, warga mulai menambang di tambang ‘milik’ perusahaan. Foto: AMAN Maluku Utara

 

Di Halteng, regulasi memperkuat petani itu tak ada. Untuk itu, perlu ada usaha memperjuangkan hak masyarakat termasuk masyarakat adat. “Ini sangat urgen. Di Halteng ada 66 izin tambang. Artinya, separuh dari luas Halteng diisi izin tambang. Lahan-lahan pertanian akan habis.”

Untuk itu, katanya, penting mendorong perda masyarakat adat dan perlindungan pangan seperti sagu. “Kita mendorong kebijakan yang berkaitan dengan kekuatan masyarakat dalam penguasaan ruang,” katanya.

Karakteristik petani Malut, mereka punya perkebunan musiman juga ada tanaman sela seperti pisang dan ubi. Keadaan ini, berbeda dengan perkebunan skala besar seperti sawit yang mengusahakan tanaman monokultur. Dampaknya, lahan pangan lokal habis bahkan memunculkan serangan hama bagi tanaman kelapa rakyat di sekitar perkebunan.

Beberapa waktu lalu ada kasus serangan hama seksava   kelapa warga di sekitar perkebunan sawit Gane, Halmahera Selatan. Petani pun gagal panen. Hingga kini, warga masih menderita dengan hama ini. Meski begitu pemerintah tidak peduli dan menganggap ini biasa.

Belum lagi soal regulasi di daerah yang belum mengatur perlindungan komoditas lokal. Di Halteng dan Haltim, misal, sebagai penghasil pala dari zaman kolonial belum ada regaluasi khusus mengatur ini.

“Ada kasus di Patani, Halteng, daerah pala, kelapa dan cengkih masuk izin sawit. Ini tidak boleh terjadi lagi. Butuh langkah strategis ke depan karena berkaitan langsung dengan petani.”

 

Kelapa di Pesisir Pantai Rorasa, Desa Buho-buho, Morotai Utara. Foto: Faris Bobero/Mongabay Indonesia

 

Sebagian lahan-lahan produktif pala dan cengkih warga di sekitar perusahaan skala besar pun ada yang dijual.

Mohtar Adam,  pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate mengatakan, dari perkembangan ekonomi Malut, kelapa jadi sumber kehidupan utama masyarakat.

Bicara komoditas lokal, kelapa, cengkih dan pala di Malut tidak sekadar komoditas tetapi alat perjuangan. Dia bilang, ada gudang kelapa Dakomib memiliki sejarah penting dalam perjuangan pembebasan Irian Barat pada 1960-an. Di situ ada kontribusi besar kelapa.

Kelapa, katanya, tak hanya jadi sumber ekonomi, juga konsumsi petani. Kelapa juga untuk dana haji dan pendidikan.

Dalam 10 tahun terakhir, katanya, terjadi penurunan. Pemasukan terbesar Malut datang dari pertambangan. Sawit malah lebih ekstrim, tidak punya kontribusi sama sekali.

Untuk peremajaan kelapa juga tidak berjalan sama sekali dalam 10 tahun terakhir. Walau di Malut, ada satu jenis kelapa lokal dengan nama bido dari Morotai, tetapi peremajaan juga tak menunjukkan peningkatan.

Harga kelapa pun, beberapa tahun terakhir, mengalami penurunan hingga berimplikasi pada nilai tukar petani (NTP) sangat rendah di sektor perkebunan.

Di Halmahera Tengah, masyarakat kehilangan lahan diikuti industri tambang masuk. Jadi, masyarakat kehilangan momentum pengembangan usaha di sektor pertanian dan perkebunan, malah tersubstitusi tambang dan usaha tak berkelanjutan. Kondisi serupa terjadi di Halmahera Timur.

Selain kelapa, rempah-rempah seperti cengkih dan pala juga sama.  Rempah rempah ini sudah begitu dikenal tetapi tidak jadi andalan. Peremajaan tanaman lambat bahkan mengalami penurunan produksi. Saat ini, katanya, kelapa, cengkih dan pala rata rata berusia lebih 40 tahun, warisan turun menurun.

Ardy Simpala, dari Komunitas Sahabat Kelapa Indonesia mengatakan, kelapa adalah harta karun yang terlupakan meski punya peranan penting. Kelapa punya sejarah sosial budaya dan sangat dekat dengan rakyat.

“Hampir semua etnis punya budaya kelapa terkait kuliner dan rumah tangga,” katanya.

Sayangnya, 40 tahun lebih kelapa terlupakan. “Jadi, mungkin karena kelapa sudah jadi bagian dari hidup, akhirnya sudah jarang diperhatikan,” katanya.

Bagi pemerintah, tanaman ini juga tak begitu menarik. “Terakhir program revitalisasi kelapa tahun 90-an. Ada program dari Bank Dunia untuk revitalisasi kelapa ekspor. Setelah itu tidak ada lagi hingga kini.”

Kelapa di Indonesia tidak pernah peroleh perawatan serius, berbeda dengan negara lain semisal Filipina, India, Srilanka dan Malaysia. Padahal, kelapa adalah tanaman sangat berarti.

Secara lingkungan, katanya, kelapa juga berkelanjutan. Kelapa tumbuh apa adanya terutama di pesisir hingga tidak mengancam lingkungan. Kelapa juga punya sejarah dan kedekatan sosial budaya.

“Di Candi Borobudur terukir relief tergambar kelapa yang subur. Dari dulu kelapa adalah bagian dari kehidupan masyarakat dan sangat dekat dengan masyarakat. Ini bukti kelapa bagian integral dari masyarakat Indonesia.”

 

Cengkih atau cengkeh kita sebut merupakan tanaman rempah yang biasanya digunakan untuk membuat pedas masakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ardy bilang, pada 2017 mereka sempat menghitung nilai ekspor turunan kelapa mencapai Rp30 triliun. Jauh dibanding komoditas lain seperti kopi sebesar Rp19 triliun. Belum lagi bicara perdagangan domestik, misal, kelapa muda, santan kelapa dan produk turunan lain.

Kalau lakukan perbaikan perkebunan kelapa, yang didorong sebenarnya usaha rakyat. Kurang lebih 98,2% tanaman kelapa punya warga.   Sisanya perkebunan besar swasta dan negara.

“Peluang Rp30 triliun itu dari hanya 15 macam produk dari kelapa. di Filipina mereka sudah mengolah kelapa menjadi 35 hasil turunan. Jadi sebenarnya masih banyak peluang yang didorong diversifikasi untuk ekspor kelapa.”

Dia bilang, kelapa masih sangat prospektif. Dia imbau petani kelapa tak putus asa. “Kami hitung selama rentang 15 tahun ada lima puncak naik harga. Siklus tiap tiga tahun naik turun. Saat-saat tertentu ada naik, ada juga turun.”

Dia lantas membandingkan Indonesia, India dan Srilanka. Di dua negara itu konsumsi dalam negeri lebih besar dibanding ekspor jadi harga stabil bahkan tiga kali lipat dari Indonesia.

“Di India 80% kelapa dikonsumsi dalam negeri. Konsumsi Indonesia sangat kecil hanya sekira 20%.”

Saat ini , harga kelapa dunia itu gunakan standar CNO Rotterdam, Belanda. Untuk itu, perlu ada usaha mengendalikan acuan atau bursa harga kelapa itu ke Asia, sebagai negara penghasil kelapa. Kalau bisa, katanya, jangan lagi acuan di Rotterdam. Perlu juga meningkatkan konsumsi domestik. Kalau konsumsi tinggi, harga kelapa bisa naik.

 

Warga Tobelo Dalam, sedang bikin kelapa jadi kopra. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, katanya, perlu lembaga otoritas kelapa Indonesia. Di India, puluhan tahun lalu sudah punya lembaga negara khusus mengurusi kelapa.

Guna penguatan di tapak, perlu ada koperasi untuk mengurusi kelapa-kelapa petani. Petani tetap petani, katanya, tetapi ada lembaga yang mengelola usaha itu dengan pemilik petani. Kebun kelapa juga campuran, atau dengan tanaman sela yang bisa jadi sumber pangan petani.

Sahrin Hamid, pengiat kelapa di Malut menyarankan, perlu mengubah istilah sawit dan kelapa. Penyebutan sawit, katanya, tak perlu ada kelapa. Ada kebun sawit dan kebun kelapa. Sawit milik korporasi, sedang kelapa mayoritas rakyat.

Kemudian, perlu mengembangkan kelapa untuk menghadang pertumbuhan perkebunan sawit. Kehadiran perkebunan sawit di Gane Halmahera Selatan, misal, justru mengurangi kebun kelapa rakyat. Dia sarankan, setop perusahaan sawit masuk.

Dia bilang, perlu mendorong industri hilir kelapa berbasis rakyat demi mengangkat kesejahteraan petani kelapa. “Perlu dibangun usaha rakyat, bagaimana pemilik kelapa bersatu dan dorong usaha pengolahan sendiri.”

Luasan kebun kelapa Indonesia, sekitar 3 juta hektar lebih, di Malut ada 240.000 hektar dengan hampir semua kebun rakyat.

 

Keterangan foto utama: Panen pala. Warga Baneno, hidup dari pala, cengkih, kelapa dan melaut. Warga menolak keras dan melawan kala perusahaan sawit mau menguasai lahan-lahan kebun dan hutan mereka. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Tampak perkebunan sawit memenuhi hamparan begitu luas, hingga pebukitan di Gane. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Warga panen cengkih di Tidore, Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version