Mongabay.co.id

Strategi Rehabilitasi Mangrove bersama Perguruan Tinggi

 

Pencabutan Peraturan Presiden RI No.73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove tak menyurutkan langkah Pemerintah Pusat untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan bakau (mangrove), termasuk di dalamnya adalah melaksanakan program rehabilitasi kawasan bakau yang sudah mengalami kerusakan.

Sebagai ganti dari Perpres yang sudah dicabut, diterbitkan Perpres No.82/2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Demikian dijelaskan Ketua Umum Indonesian Mangrove Society (IMS) Sahat Panggabean saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual pada Rabu (29/7/2020).

Diskusi daring berjudul “Optimisme Rehabilitasi Mangrove di Tengah Pandemi COVID-19 Menuju New Normal” ini diselenggarakan oleh Mongabay Indonesia bersama dengan Yayasan KEHATI, Indonesia Mangrove Society (IMS) dan Universitas Islam Asyafiiyah

Menurut dia, penggantian regulasi Perpres tersebut membuat pelaksanaan di lapangan menjadi berubah. Saat masih berlaku Perpres 73/2012, ada sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) yang terlibat dalam pengelolaan mangrove secara nasional.

“Namun kini, melalui Perpres No.82/2020 pengelolaannya dilaksanakan secara spesifik oleh dua kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” jelas Sahat yang juga Staf Ahli Kemenko Maritim dan Investasi Manajemen Konektivitas itu.

baca : Masa Depan Mangrove Bergantung kepada Kesadaran Manusia

 

Nelayan dari Suku Bajo di pesisir Teluk Tomini, tepatnya di kampung Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dengan peralihan kewenangan tersebut, Pemerintah Pusat ingin pengelolaan mangrove bisa berjalan lebih baik lagi. Terutama, saat situasi seperti sekarang di mana wabah COVID-19 masih belum menghilang dari Indonesia.

Dalam melaksanakan pengelolaan mangrove, Pemerintah mengarahkan agar bisa dihasilkan nilai ekonomi dari setiap pohon yang sedang dikelola. Cara tersebut akan diyakini akan menarik minat masyarakat lokal yang selama ini tidak yang tertarik untuk ikut mengelola kawasan hutan bakau.

Sahat menyebutkan, luasan kawasan mangrove secara nasional yang sekarang mencapai 3,4 juta hektare, menyimpan potensi karbon biru yang sangat besar. Dengan luasan tersebut, kawasan mangrove menyimpan potensi 3,14 miliar ton karbon yang efektif untuk menyerap seluruh karbondioksida (CO2).

Tak cukup di situ, dengan luasan 3,4 juta ha, kawasan mangrove di Indonesia mencakup 23 persen dari total kawasan mangrove yang ada di seluruh dunia. Fakta tersebut menegaskan bahwa mangrove memiliki peranan sangat penting bagi ekosistem pesisir di Indonesia.

Menurut Sahat, untuk mangrove yang kondisinya baik akan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dengan menghasilkan nilai ekonomi yang tepat. Sementara, untuk mangrove yang kondisinya rusak akan dilakukan rehabilitasi dengan program jangka panjang.

baca juga : Indonesia Dapat Dana 20 Juta Euro untuk Pembentukan World Mangrove Center

 

Kondisi alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jabar.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Degradasi

Saat ini, kawasan mangrove yang kondisinya dinyatakan baik mencapai luas 1,6 juta ha dan yang kondisinya rusak luasnya mencapai 1,8 juta juta. Khusus untuk kawasan hutan mangrove yang ada di wilayah Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa, kerusakan mangrove mencapai 85 persen.

Khusus untuk potensi karbon biru yang ada pada kawasan hutan mangrove, Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyiapkan regulasi baru berupa Perpres yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon. Dengan regulasi tersebut, diharapkan pengelolaan bisa menjadi lebih hidup lagi dan melibatkan lebih banyak pihak.

“Mudah-mudahan menjadi payung hukum, supaya tidak lagi menebang mangrove. Tapi bisa menjualnya kepada negara-negara yang membeli emisi gas rumah kaca (GRK). Jadi, nilai karbon dari mangrove akan menghasilkan nilai ekonomi yang utuh,” jelas Sahat.

Dengan cara tersebut, masyarakat diharapkan bisa cepat beradaptasi dengan kondisi sekarang, di mana perubahan iklim adalah sesuatu yang harus dihadapi melalui adaptasi dan mitigasi yang sangat mungkin dilakukan pada berbagai aspek kehidupan.

Perlunya dilakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, karena saat ini di Indonesia tercatat ada 10.664 desa pesisir yang rawan dan rentan terhadap bencana alam. Tak hanya itu, hampir 80 persen populasi masyarakat di Indonesia juga diketahui hidup di daerah rawan dan rentan bencana.

“Juga, 32 persen ekonomi masyarakat pesisir yang jumlahnya mencapai 7,6 juta jiwa ada di bawah garis kemiskinan,” paparnya.

perlu dibaca : Silvofishery, Alternatif Pelestarian Hutan Mangrove

 

Akibat reklamasi oleh PT Pelindo, sebagian mangrove di sisi utara pelabuhan kini mati. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sahat menambahkan, perlunya pengelolaan mangrove dilakukan secara bersama dan melibatkan banyak pihak, karena kondisinya memang terus menurun dari tahun ke tahun. Sepanjang periode 2000-2010 saja, pengurangan luas mangrove mencapai 60 persen dari jumlah total luas saat itu.

Kemudian, berdasarkan data yang dirilis Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), laju pengurangan luasan mangrove untuk periode 2010-2015 mencapai 52.000 ha per tahun. Kondisi itu sangat memprihatinkan, karena mangrove menjadi habitat bagi ikan, kepiting, udang, dan juga burung.

“Dan juga menjadi sumber nafkah bagi nelayan lokal dan sumber utama penahan abrasi dan juga tsunami,” jelas dia.

 

Riset

Kerusakan kawasan hutan mangrove yang terus terjadi dari tahun ke tahun tersebut, menegaskan bahwa ada banyak faktor yang bisa terjadi dan itu memerlukan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Untuk, penanganan cepat mutlak untuk segera diakukan oleh Pemerintah dengan menggandeng banyak pihak.

Salah satu yang dilakukan, adalah dengan membentuk World Mangrove Center yang sudah dibicarakan sejak 1,5 tahun lalu. Lembaga tersebut akan menjadi pusat riset tentang mangrove yang bisa dipelajari oleh seluruh negara di dunia.

Kehadiran world mangrove center diharapkan bisa memicu banyaknya penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan sekaligus membentuk hub penelitian di setiap wilayah. Dengan demikian, nantinya akan ada hasil penelitian yang bisa dibawa ke tingkat internasional.

“Bicara mangrove yang (paling luas wilayahnya ada di) Indonesia, karena memang negara lain kecil sekali luasannya,” tegas dia.

menarik dibaca : LIPI : Jejak Peradaban Nusantara Ternyata Terkait Erat dengan Mangrove

 

Perlu didorong upaya-upaya pengelolaan mangrove berkelanjutan di tingkat tapak, karena bekerja bersama dengan semua pihak adalah kunci dari pengelolaan mangrove berkelanjutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Manajer Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Yasser Ahmed pada kesempatan yang sama mengatakan, dalam mengelola kawasan hutan mangrove yang luasnya mencapai 3,4 juta ha, akademisi atau perguruan tinggi memiliki peranan yang penting untuk ikut terlibat di dalamnya.

Dalam pandangan dia, perguruan tinggi menjadi penting karena ada potensi riset yang bisa dilaksanakan oleh masing-masing yang mencakup riset untuk ketersediaan pangan, industri, kesehatan, komunitas lokal, dan juga karbon biru.

Kehadiran perguruan tinggi akan selaras dengan fokus dari lembaga world mangrove center yang akan mengembangkan konsepsi tentang pengelolaan mangrove secara detail. Kekuatan dari lembaga tersebut tersebut adalah dukungan dari perguruan tinggi yang melakukan riset.

Mangrove ini simbol peradaban Indonesia. Jadi kita sama-sama harus bisa menjaga. Sehingga pemanfaatannya bisa maksimal dan dirasakan oleh masyarakat bawah,” tutur dia.

Tentang karbon biru, KKP dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melaksanakan penelitian. Dari penelitian tersebut, diketahui fakta bahwa melaksanakan konservasi di atas lahan seluas satu ha pada kawasan mangrove dan padang lamun secara sekaligus, akan berdampak baik.

“Dampak itu, adalah akan menghasilkan 52,85 ton karbondioksisa (CO2) per tahun dari lahan mangrove dan 24,15 ton CO2 per tahun dari lahan padang lamun,” papar dia.

 

Mangrove yang berada pesisir Padang Tikar ini harus dijaga ekosistemnya. Foto: Putri Hadrian

 

Dalam Target Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dicantumkan bahwa potensi reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) bisa mencapai 59 juta ton CO2e pada 2045. Jumlah tersebut ditargetkan dari 34,9 juta ha luasan mangrove.

Akan tetapi, walau konservasi mangrove menjadi aktivitas yang penuh tantangan, namun jika hanya dilakukan dengan aktivitas penanaman saja, maka dampaknya tidak akan terlalu signifikan. Dari penelitian yang dilakukan KKP pada 2019, emisi yang akan diturunkan jika dengan penanaman saja itu hanya mencapai antara 5,99 sampai 6 persen.

“Jadi harus ada kombinasi dengan penanaman dan konservasi,” tegas dia.

 

Exit mobile version