Mongabay.co.id

Melindungi Generasi Terakhir Blekok di Kampung Rancabayawak

 

Kenangan selalu saja datang tiba-tiba. Pada sore temaram di musim kemarau yang basah, kenangan itu mampir dilamunan Ujang Safaat. Celotehan burung di atas rumpun bambu haur setinggi 12 meter di depan rumahnya, mengingatkan banyak kenangan.

“Suasana kampung ini makin beda saja,” kata Ujang beberapa waktu lalu. Di hadapan pria 45 tahun itu, geliat pembangunan kawasan elit tengah berlangsung.

Ia cemas tentang masa depan kampung itu karena terancam tergusur pembangunan kawasan Bandung Teknopolis yang sedang dikerjakan di empat sisi luar kampung. Luasnya lebih dari 300 hektar atau setara dengan 12 kali luas Stadion Gelora Bandung Lautan Api yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Harum sawah jelas berubah. Begitu pula dengan bau bacin kotoran burung blekok sawah (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis), perlahan-lahan memudar dari indera penciuman Ujang. Padahal dulu, bau bacin satu-satunya masalah di kampung itu. “Populasinya juga sudah berkurang,” katanya.

Selama bertahun-tahun, warga di Kampung Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, hidup rukun dengan ratusan burung penikmat sawah itu. Meski bukan perkara mudah, mereka rela keberadaan blekok melekat pada “identitas” kampung seluas 2,1 hektare berpenduduk 238 jiwa itu.

baca : Burung-burung yang Mulai Tergusur dari Bandung

 

Burung liar juga bisa tergusur hidupnya akibat habitat yang ditempatinya beralih fungsi menjadi perumahan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kala dunia sedang susah payah mengembalikan keseimbangan ekologi antara manusia dan alam. Di Rancabayawak seakan rentan kehilangan kampung dengan ‘identitas’ khas burung-burungnya.

Cerita dari sesepuh kampung, blekok dan kuntul datang tak diundang sejak setengah abad lalu. Di kampung itu pula, kemungkinan cerita burung itu rentan tiada karena ancaman alih fungsi lahan.

Tahun 2017, data Badan Statistik Kota Bandung mencatat sisa lahan sawah tersisa 725 hektare. Setahun berikutnya, Dinas Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung sudah menghitung jumlah sawah yang tersisa 628 hektare.

Angka tersebut menunjukan bahwa hanya dalam waktu satu tahun, ibukota Jabar ini kehilangan lahan nyaris 100 hektare yang setara dengan 3 kali luas Gedung Sate. Boleh jadi Bandung bakal mirip Jakarta. Tak lagi bersawah.

Apalagi, kampung Ujang masuk kawasan Bandung timur. Kawasan itu merupakan lahan tersisa pertanian yang sedang dan akan dikembangkan untuk kota baru. Kota berbasis teknologi Bandung Teknopolis, misalnya, sudah direncanakan saban tahun oleh pemerintah setempat.

baca juga : Begini Kondisi Habitat Blekok Di Tengah Pembangunan Bandung Teknopolis

 

Foto udara di Kampung Blekok, Kelurahan Rancabayawak, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Alih fungsi lahan pertanian di Bandung timur ini kian masif seiring rencana pemerintah kota Bandung menjadikan kawasan itu jadi pusat kota kedua. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Generasi Terakhir

Semakin tua kota, semakin beragam kebutuhan kotanya. Pesatnya jumlah penduduk menjadikan teknologi menjawab pelbagai kebutuhan itu dengan beragam tawaran. Dan teknologi, tentu saja, berimbas pada semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan.

Awal tahun 2020, Peraturan Daerah (Perda) No.18/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2011-2031 direvisi. Hasilnya, kawasan Bandung timur tetap dijadikan pusat kota kedua karena memiliki 800 hektare. Lansekap segitu cukup untuk mengalihkan keramaian dari pusat kota ke sana.

Selayaknya orang kampung, Ujang dirundung gelisah. Tatapannya kosong. Rupanya, rumpun bambu di sini tinggal delapan, katanya.

“Menjaga kelestarian burung blekok dan kuntul serta rumpun bambu bukan sekadar mencegah kepunahan satwa-satwa tersebut. Tetapi manfaatnya lebih dari itu,” suaranya meninggi.

Rumpun bambu itu sengaja ditanami buyutnya untuk melindungi kampung. Sebab, lokasi kampung dulunya berada di tengah area pesawahan. Rumpun bambu berfungsi sebagai mitigasi bencana sekaligus menjamin ketersediaan air dan udara bersih bagi mereka.

“Apakah rumpun bambu dapat kembali melindungi?” Ujang menggerutu. Ia sadar modal besar jelas bukan lawan setara bagi warga. Sekalipun, kuntul dan blekok mampu memberikan banyak hal baik, “Tetapi siapa yang peduli?”

perlu dibaca : Banjir Cekungan Bandung dan Keberlanjutan Sungai Citarum

 

Sejumlah burung kuntul (Bubulcus ibis) dan blekok (Ardeola speciosa) terbang dan bertengger di rimbunya pohon bambu di kampung Ranca Bayawak, Cisarinten Kidul, Gedebage, Kota Bandung, Jabar, Rabu (13/04/2016). Habitat burung itu terganggu oleh rencana pembangunan pembangunan dan alih fungsi lahan di kawasan tersebut, seperti rencana kawasan Bandung Teknopolis. Foto : Donny Iqbal

 

Agaknya, blekok-kuntul yang saat ini tersisa boleh jadi merupakan generasi terakhir. Begitu juga dengan nasib kampung Rancabayawak. Lambat laun, penduduk asli akan tersingkir. Namanya akan ikut terhapus dari ingatan kolektif warganya bahwa di sana pernah ada perairan sisa Danau Bandung Purba.

Menurut, Geolog Belanda Van Bemmelen (1949) dalam buku Geologi Cekungan Bandung, menyebut, dataran Bandung merupakan sisa danau yang terbentuk akibat terbendungnya Sungai Citarum purba oleh letusan Gunung Tangkuban Parahu.

Sisa – sisa itu masih ada. Setidaknya, hingga tahun 1970-an. Ketika Bandung dan sekitarnya mudah ditemukan ranca (rawa) dan pesawahan yang membentang luas. Dan tempat-tempat yang menjadi saksi perjalanan sejarah dataran tinggi Bandung itu cukup banyak jumlahnya.

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia T. Bachtiar menyebut terdapat sekitar 20 tempat yang menggunakan kata depan ranca atau situ. Ada yang namanya Rancanumpang, Rancabolang, Rancaekek dan lainnya. Namun satu per satu tempat-tempat tersebut mulai berubah fungsi menjadi permukiman, industri, maupun properti.

Oleh sebab itu, ekosistem burung kian terancam. Ditandai dengan perilaku blekok dan kuntul menjadi pulang ke sarang semakin petang. Hingga daya jelajah mereka jadi lebih jauh kadang mencapai lebih dari 20 kilometer jelas Ujang.

baca juga : Krisis Lingkungan : Cekungan Bandung Kian Rentan

 

Foto udara di Kampung Blekok, Kelurahan Rancabayawak, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jabar. Kawasan burung kuntul dan blekok ini terancam hilang karena pembangunan kawasan Bandung Teknopolis. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Masalah Kota

Ornitolog Universitas Padjajaran, Johan Iskandar, menaruh kekhawatiran. Bentang alam seperti ranca mudah sekali diubah. Padahal, keberadaan lahan basah juga penting secara ekologi, berperan sebagai penampungan air hujan. Dan Gedebage adalah daerah terendah di Kota Bandung.

Johan bilang, Kota Bandung sudah dan akan menghadapi ancaman serius berupa bencana dampak krisis iklim makro. Jika tidak diantisipasi, persoalan terkait menurunnya curah hujan bisa memicu bencana ekologis berupa krisis air bersih secara masif bagi penduduk kota. Johan tidak berani membayangkan dampak yang terjadi selanjutnya bagi kota semacam Bandung.

Apalagi, hutan di kawasan Bandung utara kondisinya kritis resapan air. Data Walhi Jabar menyebut, di lahan konservasi 38.548 hektare di utara itu dikuasai sekitar 350 pengembang.

Di sisi lain, Pemerintah Kota Bandung tengah berupaya mengatasi ancaman tersebut dengan sejumlah program diantaranya membuat embung atau danau buatan. Tapi solusi untuk menanggulangi bencana, lanjutnya, semisal banjir di kota belum diupayakan secara seksama.

“Tampaknya, walaupun ada aturan tata ruang tapi pada pelaksanaan banyak pelanggaran terhadap RTRW,” katanya, “Kadang alih fungsi tak sebanding dengan daya dukung wilayahnya.”

menarik dibaca : Kesetiaan Johan Iskandar pada Burung-burung Citarum

 

Foto udara di Kampung Blekok, Kelurahan Rancabayawak, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jabar. Kawasan burung kuntul dan blekok ini terancam hilang karena pembangunan kawasan Bandung Teknopolis. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pandangan senada diungkapkan ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi. Menurutnya, perlu persiapan matang kawasan baru, pemerintah perlu memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) terutama di Bandung utara.

Kota ini baru memiliki RTH 12 persen dari 16.770 hektare luas wilayahnya. Padahal Pasal 29 Undang-Undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, proporsi RTH paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

Pantas saja, apabila tingkat polusi udara di beberapa wilayah padat kendaraan bermotor di Bandung berada di atas ambang batas normal. Tingkat polusi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Hal ini berpotensi menurunkan produktivitas dan kualitas kesehatan warga.

Hasil penelitian Denny di Kawasan Gedebage pada 2006 menyimpulkan bahwa banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum mengembangkan kota di sana. Untuk mengantisipasi banjir secara optimal, setidaknya dibutuhkan danau buatan seluas 110-135 hektare.

Sejauh ini, Pemkot Bandung baru merencanakan pembuatan danau seluas 800 meter persegi di Gedebage. Memang, sangat kecil. Dan meski sudah tertuang dalam RTRW, namun belum ada roadmap resminya.

Di hadapan Ujang, terdapat secuil danau buatan yang dibikin minimalis oleh pengembang. Luasnya kira-kira 30 x 30 meter. Tapi susah untuk menjangkau danau itu, karena dipagari tembok setinggi 2 meter yang memagari kampung. Repot juga.

Senja semakin tua dan Ujang masih termenung. Dan benar saja, burung-burung sawah itu belum juga datang. Semuanya berbeda. Tak ada hembus angin gunung lagi ke kampung. Kota ini tak pandai menyimpan kenangan batinnya.

 

 

Exit mobile version