- Profesor Johan Iskandar memang identik dengan burung-burung di Citarum. Dia telah meneliti burung-burung di sungai sepanjang 297 kilometer ini sejak 1977.
- Johan Iskandar merupakan Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran [Unpad], Bandung, Hasil risetnya menunjukkan, ada sekitar 232 jenis burung di Citarum yang sebanyak 46 jenis dominan di semua area pantauan yaitu di DAS Hulu, DAS Tengah, dan DAS Hilir.
- Namun, sebanyak 70 jenis dari seluruh burung yang ada di Citarum itu justru diperdagangkan di pasar burung di Kota Bandung. Kondisi ini menyebabkan perburuan burung liar, terutama jenis kicau kian marak.
- Citarum adalah sungai dengan daerah aliran sungai [DAS] terpanjang di Provinsi Jawa Barat. Sungai ini mengalir dari hulu Situ Cisanti di Gunung Wayang, selatan Kota Bandung, menuju utara dan bermuara di Laut Jawa.
Nama Profesor Johan Iskandar identik dengan burung-burung di Citarum. Di aliran sungai sepanjang 297 kilometer itu, dia menemukan cinta sejatinya. Sejak pertama kali riset tahun 1977, hingga kini semangatnya tetap membara.
Sepanjang penelitiannya, Johan yang merupakan Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran [Unpad], Bandung, telah mengenali sebanyak 232 jenis burung di Citarum. Dia mengelompokkannya dalam tiga wilayah: DAS Hulu, DAS Tengah, dan DAS Hilir.
Dari jumlah tersebut, ada 46 jenis yang dominan di semua area pantauan. Sebut saja blekok sawah [Ardeola speciosa], wiwik kelabu yang nama lokalnya uncuing [Cacomantis merulinus], bondol jawa [Lonchura leucogastroides], bondol peking [Lonchura punctulata], cinenen pisang [Orthotmus sutorius], tekukur biasa [Streptopelia chinensis], dan kacamata biasa [Zosterops palpebrosus].
“Namun, sebanyak 70 jenis dari seluruh burung yang ada di Citarum itu justru diperdagangkan di pasar burung Kota Bandung. Kondisi ini menyebabkan perburuan burung liar, terutama jenis kicau, marak,” terang Johan, Senin, 11 Mei 2020.
Baca: Jangan Pergi Lagi, Bondol Haji

Umumnya, harga burung di pasar murah jika belum jinak dan bukan jenis pengoceh. Predikat mahal akan diberikan bila burung tersebut sudah jadi dan berkicau. Cucak rawa [Pycnonotus zeylanicus], kucica hutan [Copsychus malabaricus], dan anis merah [Zoothera citrina] merupakan individu yang banyak dicari.
“Hasil penelitian saya di Pasar Sukahaji, Bandung, ada pemasok burung yang datang seminggu sekali, bahkan dua kali. Tangkapan itu berasal dari desa wilayah Citarum. Semua dijual tanpa pandang jenis, usia, dan status dilindungi atau tidak,” ungkap lelaki kelahiran Purwakarta, 7 Agustus 1953.
Sesungguhnya, membiarkan burung hidup di alam bebas adalah tindakan terpuji. “Kalaupun ada pemanfaatan untuk pemeliharaan, aturannya harus jelas,” ujarnya.
Baca: Jumlah Jenis dan Risiko Kepunahan Burung di Indonesia Meningkat

Citarum adalah sungai dengan daerah aliran sungai [DAS] terpanjang di Provinsi Jawa Barat. Sungai ini mengalir dari hulu Situ Cisanti di Gunung Wayang, selatan Kota Bandung, menuju utara dan bermuara di Laut Jawa. Airnya dimanfaatkan sebagai sumber air baku, irigasi pertanian, perikanan, dan pasokan kegiatan industri.
Tiga waduk besar [Jatiluhur, Cirata, Saguling] yang mengandalkan aliran air Citarum dibangun, untuk dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik [PLTA] skala besar. Ada PLTA Jatiluhur [dikelola Perum Jasa Tirta II, total daya 175 MW], PLTA Saguling [dikelola Indonesia Power, total daya 1.008 MW], dan PLTA Cirata [dikelola PT. PLN PJB 11/UP Cirata, total daya 1.008 MW].
Baca: Di Balik “Pelepasan” Burung Itu…

Tidak sengaja
Johan menuturkan, penelitiannya di DAS Citarum itu awalnya sebuah “kecelakaan”. Maksudnya? Johan muda, pada 1977 hanya diminta menemani penelitian burung di DAS Citarum, tepatnya di daerah Cikidang, Lembang, Cilangkap, Curug, Purwakarta, dan Jatiluhur.
Saat itu, Johan yang berstatus mahasiswa jurusan Biologi, Universitas Padjadjaran Bandung, mendampingi Bastian van Helvoort, mahasiswa Universitas Wagenigen Belanda.
Tidak disangka, kepedulian Johan pada burung liar meningkat setelah riset tersebut. Dia pun bergabung dengan HIMBIO [Himpunan Mahasiswa Biologi] guna mengasah kemampuannya mengenali berbagai jenis burung.
“Tahun 1982-1983 saya ikut training Bird Ecology and Ornithology di Nature Conservation Department, Agricultural University, Wageningen, Belanda. Sembilan bulan saya dibimbing Dr.W. Bongers dan Prof. Dr.C.W. Stortenbeker,” kenang suami Budiawati Supangkat.
Baca: Kakatua, Paruh Bengkok Sejuta Pesona yang Merana

Dulu, menurut Johan, mengamati burung dianggap orang aneh. Bawa binokluer kemana-mana, seperti juru foto. Bahkan ada yang bilang petugas survei listrik masuk desa.
“Kini, pengamat dan peneliti burung meningkat pesat. Tidak harus berlatar biologi, ekologi atau ornithologi. Siapa saja yang senang bisa dilibatkan, termasuk masyarakat,” ujarnya.
Apa yang membuat Johan tetap semangat meneliti burung liar? Cinta, rahasianya.
“Meski saya tidak muda lagi, semangat untuk memantau selalu ada. Paling gampang di sekitar rumah. Saya juga mengajar mata kuliah khusus ornitologi, perihal burung,” papar Staf Peneliti PPSDAL/Lembaga Ekologi Unpad yang kini berganti nama menjadi Pulik [Pusat Unggulan Ilmu Lingkungan] atau Center for Environment and Sustainability Science [CESS].
Baca: Hah, Dari Portugal ke Indonesia Paulo Hanya Ingin Melukis Burung?

Padat penduduk
Berdasar data kependudukan Provinsi Jawa Barat 2012, jumlah penduduk yang tinggal di wilayah sungai Citarum sekitar 15.950.299 jiwa. Persentasenya, 35,8% dari total penduduk Jawa Barat [44.548.431 jiwa] yang tentu saja data ini terus berkembang.
Dikutip dari Citarum.org, jumlah penduduk ini tersebar di 10 kabupaten dan 3 kota di Jawa Barat. Ada Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Cimahi.
Bila dirinci lagi, jumlah penduduk terbanyak ada di Kabupaten Bandung [3.307.396 jiwa] dan Kota Bandung [2.461.931 jiwa]. Namun, distribusi penduduknya justru lebih terkonsentrasi pada pada wilayah industri seperti di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi.
Baca: Budaya Leluhur Sunda Telah Ingatkan Masyarakat untuk Rawat Citarum

Bertambahnya penduduk tentu saja mengubah bentang alam di Citarum dan sekitar. Menutur Johan, medio 1970-an, hutan di hulu DAS Citarum begitu alami, primer. Kualitas airnya bagus. Masyarakat tidak berani mengusik hutan karena sistem kepercayaan yang kuat, menyatu dalam kehidupan mereka. Ada pandangan “angker” atau menakutkan bila masuk hutan Gunung Wayang.
“Kepercayaan ini sudah luntur, seiring meningkatnya kebutuhan ekonomi,” terang lelaki yang ketika kecil ingin jadi guru.
Berdasarkan sejarah ekologinya, dahulu di hulu DAS Citarum, masyarakatnya dikenal dengan pola tanam tradisional yang dilakukan turun-temurun. Kebun campuran yang dinamakan talun ini, perpaduan tanaman pohon kayu, pohon buah, dan sayuran yang menjadi satu membentuk hutan. Bambu juga banyak.
“Kondisi ini menciptakan keseimbangan ekosistem alam dan juga sangat baik bagi habitat burung.”
Baca juga: Citarum, Sungai Harum yang Pernah Menjadi Pusat Peradaban Manusia

Namun, seiring waktu, pola tanam sistem kebun komersil datang. Produk sayur dikembangkan skala besar, seperti cabai, kentang, tomat dan bawang. Perubahan drastis ini, yang tadinya banyak jenis pohon menjadi monokultur. Penggunaan pupuk kimia dilakukan, yang dulunya hanya mengandalkan pupuk alami.
“Meski produksi meningkat, akan tetapi pembelian benih, pupuk, dan obat pembasmi hama/pestisida juga melonjak,” tutur ayah tiga putra ini.

Berubahnya sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat di hulu, sangat berpengaruh terhadap keragaman jenis burung di alam. Burung kuntul kerbau [Bubulcus ibis] misalnya, populasinya berkurang sejak hutan bambu hilang. “Faktor lain, ada juga jenis elang yang telurnya tidak menetas akibat pengaruh pestisida.”
Artinya, ekosistem lingkungan saling berkaitan. Tidak bisa berdiri sendiri. Setiap perubahan lingkungan yang kita lakukan, berdampak pada makhluk hidup lainnya.
“Burung banyak memberi manfaat bagi manusia. Mari berbuat demi kelestariannya,” tegas Johan.