Mongabay.co.id

Menguji Pergub Energi Bersih Bali, Bagaimana Implementasinya?

Greenpeace dan nelayan Celukan Bawang Bali utara melakukan aksi menolak PLTU Celukan Bawang pada Selasa (18/4/2018). Foto : Made Nagi/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Provinsi Bali mengklaim sebagai daerah pertama yang memiliki regulasi energi bersih. Bagaimana rencana implementasinya? Apakah bisa memastikan transisi energi pada perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara tahap kedua Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng yang masih beroperasi dengan batubara?

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali membahas hal itu dalam diskusi pada Kamis (30/7/2020), yang menghadirkan Mangku Wijana (Paguyuban Masyarakat Peduli Lingkungan Celukan Bawang), Prof. Dr. R. Budi Haryanto (Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia), dan Grita Anindarini Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Mangku Wijana menyebut saat ini PLTU Celukan Bawang tahap pertama ini masih menggunakan batubara terlihat dari adanya cerobong asapnya. “Sudah ditolak empat desa karena sudah ada buktinya, air sumur bisa tercemar, pengangkutan batubara buat polusi, kami merasakan langsung dampaknya,” sebutnya.

Ia menagih janji tahap kedua ekspansi PLTU agar tak menggunakan batubara. “Tak akan tercapai clean and green kalau PLTU (menggunakan) batubara. Kenapa Amdal lama tak dicabut untuk tahap kedua?” pinta pria yang ikut menggugat PLTU ini pada 2018 lalu. Wijana menyebut akan menolak PLTU jika batubara digunakan lagi. Ia berharap ada kontrak manajemen agar warga yakin tak dibangun PLTU batubara lagi.

Janji atau wacana energi bersih di Bali memang belum mewujud jadi kisah nyata, karena terus dijanjikan Gubernur sebelumnya sejak 2015.

baca : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali yang menggunakan batubara menyebabkan emisi dan pencemaran udara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dampak Buruk Batubara

Sedangkan Prof Dr. Budi Haryanto yang juga terlibat dalam Research Center for Climate Change UI mengingatkan dampak batubara yang sangat buruk. Emisi batubara menyumbang 29% gas rumah kaca global dan penyebab pencemaran udara. Ia mengingatkan ada 4,2 juta kematian dini dibandingkan usia harapan hidup karena sakit akibat polusi di antaranya jantung dan stroke, gangguan paru, dan saluran nafas bagian bawah seperti asthma dan penemonia. Polutan PLTU batubara bisa melewati udara dan air, mencemari tanah, tanaman, atau langsung manusia. Juga melalui jalur makanan, minuman, langsung terhirup hidung, dan kulit. “Senyawa kimianya banyak sekali dalam batubara, dipilih karea lebih murah dibanding minyak tanah dan solar. Paling efisien (murah) dari sisi bisnis,” jelas Budi.

Ia memaparkan riset pada 2018 di 88 PLTU di negara maju dan berkembang ditemukan potensi gangguan kesehatan sangat luas, dimulai dari jarak PLTU, 0-1000 km. Kematian akibat penyakit jantung sekitar 5700-10.000 orang dan kanker 300-700 kasus. Tiga negara terparah di PLTU yang berlokasi di dua kota di India dan satu di China menyebabkan 2200 kematian. Riset lain adalah polutan PM2,5 di 16 PLTU di negara Balkan Eropa pada 2016, dengan sebaran debu luas sekali. Sampai Turki dan Italia. “Jadi tempat yang jauh dari PLTU Celukan Bawang juga kena (imbas polutannya),” sebutnya.

Budi juga mengutip data Kemenkes bahwa biaya pengobatan penyakit tak menular sekitar Rp20 triliun. Kasusnya juga terus naik sejak 1990-2014, dari 37% jadi 73%.

Selama pandemi COVID-19 ini, Budi juga memaparkan data menarik jika daerah dengan polusi PM2,5 akan mendorong kasus kematian akibat COVID-19 sekitar empat kali lipat dibanding wilayah dengan polusi rendah. Ia mengutip riset tahun ini dari penelitian di 3000-an kota di Amerika, riset di Eropa dan negara lainnya. “WHO menyarankan negara yang punya polusi udara tinggi, penanganan COVID-19 harus mempertimbangkan risiko tinggi itu,” papar Budi. Semua pasien COVID-19 di Filipina juga disebutkan terpapar penyakit bawaan dampak polusi udara.

Di Indonesia, sumber penyumbang polutan diperkirakan akan terus naik bersumber dari berbagai sektor seperti transportasi. Karena itu sejak 2004, terjadi gerakan masif di negara maju untuk menghapus PLTU yang berbahan bakar batubara. Sebanyak 30 negara setuju menghapusnya melibatkan 300 ribu ahli.

Apakah riset-riset di luar negeri itu relavan di Indonesia? Ia mengatakan hidung kita dan hidung orang di luar negeri sama, fungsi paru-paru sama. Pandemi COVID-19 menunjukkan hal sama. “Kita gampang terinfeksi juga. Yang tidak sama, tak banyak penelitiannya karena terkait pendanaan, dan lainnya,” keluh Budi.

baca juga : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali

 

Surayah, warga setempat mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Energi Bersih di Bali

Sedangkan I Made Teja, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali menyebut Celukan Bawang masuk kawasan industri. Saat ini sedang dinegoisasikan untuk menggunakan gas. “Sedang berproses. Masih dinegoisasi dan pengawasan bersama KLHK, menindaklanjuti pembuangan air limbah ke laut,” lanjutnya. Penindakan menurutnya tak mudah, ada bukti dulu baru ditindaklanjuti.

Warga diminta berkoordinasi dengan kepala desa untuk akses hasil pemantauan polutannya. Data temuan sejauh ini terkait izin pembuangan limbah ke laut, sementara polutan di air dan udara masih ada perbedaan hitung-hitungan.

Sementara Grita Anindarini dari ICEL mengapresiasi Pergub Bali No.45/2019 tentang Bali Energi Bersih namun mempertanyakan peta jalan transisi energi bersih Bali ini. Menurutnya implementasi belum nampak. Pergub pertama di Indonesia untuk energi bersih ini tak sepenuhnya terbarukan karena masih ada gas alam. Sementara sampai kini 40% sumber energi listrik di Bali masih batubara, belum termasuk ekspansi PLTU Celukan Bawang yang akan beroperasi.

“Masih sedikit energi terbarukan padahal potensinya tinggi seperti energi surya,” ujar peneliti muda perempuan ini. Ia mengkhawatirkan inisiatif baru Pergub ini akan terhambat RUU Omnibus Law karena kewenangan kembali ke pusat.

Pelaku usaha ketenagalistrikan harus melakukan konversi berbahan batubara atau minyak ke energi bersih. Dalam Pergub disebutkan konversi ini dalam jangka waktu yang disepakati pelaku usaha dan pemerintah atau paling lama sesuai umur ekonomis pembangkit. “Bagaimana cara Pemda memastikan terkonversi? Apakah ikut negoisasi dengan PLN dan pelaku usaha? Atau justru klausul menyesuaikan umur ekonomis. Akan perlu waktu lama 30 tahun jika menunggu habisnya umur ekonomisnya,” ingat Grita.

perlu dibaca : Sengketa PLTU Batubara di Bali Utara [Bagian 3]

 

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ida Bagus Setiawan, Kepala Bidang ESDM Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali menjelaskan sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara gubernur dengan penyedia energi seperti PLN dan diturunkan dalam perjanjian kerjasama (PKS) pada 2019 sebelum Pergub disahkan. Kerjasama menguatkan ketenagaklistrikan dengan prioritas energi bersih. Pada 21 Juli 2020 sudah ditetapkan Ranperda RUED dan konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri yang difasilitasi pemerintah pusat dan Dewan Energi Nasional.

“Sudah ada pijakan kuat energi bersih. Backbone kita masih fosil, Celukan Bawang 45%, kabel laut 37%, gas 16%, porsi energi baru terbarukan (EBT) saat ini kecil,” paparnya. Di antaranya minihdro di Buleleng sekitar 2 MW, PLTS Bangli dan Kubu-Karangasem masing-masing sekitar 1 MW kapasitas terpasang. Tantangannya, PLTS intermiten karena tak bisa full 24 jam, sementara warga perlu listrik fulltime.

Pergub No.45/2019 ini, menurutnya, membuka peluang kesempatan kerja SDM lokal untuk kompetensi EBT, namun implementasi mundur karena pandemi. “Target 23% bombastis bagi kami, ini jadi perdebatan dengan Dewan Energi Nasional. Bauran EBT pada 2025 ditargetkan baru 11% dan pada 2050 menjadi 20%,” paparnya. EBT dinilai masih mahal, SDM belum kompeten, dan pembiayaan.

Gubernur Bali Wayan Koster kerap menyebut Bali perlu mandiri energi dan memiliki pembangkit listrik yang memenuhi kebutuhan dengan tingkat pertumbuhan 6% per tahun. Di antaranya untuk kebutuhan infrastruktur dan sarana prasarana pembangunan industri pangan dan sandang, pabrik kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (mobil dan sepeda motor), pembangunan kereta api dan LRT, dan pembangunan bandara baru Bali Utara di Buleleng.

Rencana aksinya adalah menyiapkan penggantian semua pembangkit tenaga listrik berbasis bahan bakar batu bara dan minyak yang ada saat ini dengan bahan bakar gas. Mendorong percepatan RUKD dan implementasi PKS Pemprov dengan PLN. Mengkoordinasikan program pembangunan pembangkit tenaga listrik berbasis gas di Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, dengan kapasitas 700 MW mulai tahun 2020.

baca juga : Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 3]

 

Sejumlah titik panel surya diletakkan di tengah laut untuk menghasilkan energi listrik bagi teknologi biorock untuk mempercepat tumbuhnya karang di perairan Teluk Pemuteran, Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

***

Keterangan foto utama : Greenpeace dan nelayan Celukan Bawang Bali utara melakukan aksi menolak PLTU Celukan Bawang pada Selasa (18/4/2018). Foto : Made Nagi/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version