Mongabay.co.id

Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Upaya memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan di dalam dan luar negeri, terus dilakukan Pemerintah Indonesia melalui berbagai cara. Upaya itu dilakukan, karena ada banyak kasus yang menimpa para AKP selama ini.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia belum lama ini merilis data jumlah AKP yang menjadi korban saat bekerja di atas kapal perikanan. Sepanjang periode 22 November 2019 hingga 19 Juli 2020, tercatat sedikitnya ada 13 orang AKP Indonesia yang menjadi korban di kapal perikanan berbendera Tiongkok.

Dari jumlah tersebut, 11 orang diketahui harus meregang nyawa dan sisanya dinyatakan hilang. Data terkini, pada 19 Juli 2020 ada AKP bernama Fredrick Bidori yang harus menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Peru, karena mengalami kecelakaan kerja di atas kapal ikan berbendera Tiongkok.

Data di atas hanya menjadi sebagian saja dari total jumlah AKP asal Indonesia yang sempat mengalami berbagai kejadian saat sedang bekerja di atas kapal. Dari semua itu, paling dominan adalah kasus kerja paksa dan juga tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

baca : Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan

 

Ilustrasi. Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan, TPPO akan memengaruhi setiap negara di dunia, baik itu sebagai negara asal, transit, dan atau negara tujuan.

“Bahkan kombinasi ketiganya. Implikasi pandemik COVID-19 juga telah menyebabkan peningkatan perdagangan manusia di laut, karena memicu ketidakpastian ekonomi bagi para AKP,” jelas dia dalam sebuah diskusi daring yang digelar Yayasan Plan Indonesia pada akhir pekan lalu.

Basilio yang juga Kepala Tim Nasional untuk Perlindungan AKP itu mengungkapkan, untuk mencegah terus berulangnya kejadian tidak menyenangkan yang menimpa para AKP asal Indonesia di kapal perikanan, Pemerintah Indonesia sedang melaksanakan proses ratifikasi Konvensi ILO tentang kerja di bidang penangkapan ikan Nomor 188 Tahun 2007.

Menurut Basilio, kerangka peraturan tersebut akan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum terhadap pelanggaran hak-hak dasar pekerja pada sektor perikanan di Indonesia, baik yang ada di dalam atau luar negeri.

Dari situ, diharapkan bisa tercipta sinergi yang lebih baik lagi antar lembaga kementerian untuk menyelaraskan peraturan yang ada, sekaligus menerapkan prosedur standar perekrutan pekerja sektor perikanan. Semua itu bisa dilakukan sejak dari keberangkatan, penempatan, tempat kerja, dan proses kembali ke rumah masing-masing.

Basilio menambahkan, sebagai negara berpenduduk besar, Indonesia menjadi penyumbang pelaut terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Filipina. Dari catatan Kementerian Perhubungan RI hingga 7 Juni 2020, jumlah pelaut di Indonesia mencapai total 1.172.508 orang.

baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

 

Reynalfi dan Joni Juniansyah, awak kapal perikanan kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901 melaporkan kasus perdagangan manusia yang mereka alami kepada petugas keamanan di Batam. Foto : TribunBatam.id/Elhadif Putra

 

Integrasi

Di sisi lain, agar pengawasan terhadap para AKP yang sudah menjalani pendidikan dan sedang bekerja pada kapal perikanan bisa berjalan baik, Pemerintah Indonesia melaksanakan integrasi data kependudukan dan dokumen pelaut yang ada saat ini.

Kemudian, melaksanakan penelusuran mekanisme identifikasi AKP dari mulai sekolah sampai sudah bekerja di atas kapal perikanan.

Pada kesempatan sama, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Goenaryo menjelaskan tentang pentingnya penegakan hak asasi manusia (HAM) di atas kapal perikanan.

Menurut dia, usaha perikanan harus menegakkan HAM karena ada dasar hukum yang kuat di Indonesia, yaitu:

  1. Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
  2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan
  3. Permen KP No.42/2016 tentang Perjanjian Kerja Lapangan bagi Awak Kapal Perikanan
  4. UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
  5. Permen KP No.2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan
  6. Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap KKP No.15/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan

Dengan adanya regulasi di atas, diharapkan seluruh produk perikanan bisa terbebas dari praktik HAM, dan meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku usaha juga pekerja pada sektor perikanan. Dari situ, pelaku usaha diharapkan bisa menghormati HAM, dan itu akan mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.

perlu dibaca : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Kanit PPA Direktorat Kriminal Umum Polda Sulut Kompol Elisabeth P. Geroda (kiri), awak kapal Adrianus Kawengian (tengah) dan Manajer lapangan DFW-Indonesia untuk progam SAFE Seas Laode Hardiani (kanan) memperlihatkan dokumen nelayan yang berhasil dikembalikan dari perusahaan. Foto : DFW Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Pada kesempatan berbeda, Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, Pemerintah Indonesia memang harus mengambil langkah progresif untuk melakukan perbaikan total dalam upaya melindungi AKP yang berasal dari Indonesia.

Prinsip memberikan perlindungan itu, sudah diatur dengan tegas dalam UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dengan peraturan tersebut, seharusnya tidak akan ada lagi AKP yang terkena praktik kerja paksa ataupun menjadi korban perdagangan orang di atas kapal perikanan.

“Mereka yang meninggal mayoritas disebabkan karena kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal,” sebut dia.

Selain modus-modus tersebut, modus penyelundupan orang juga ditemukan pada kasus yang menimpa korban bernama Eko Suyanto. AKP malang itu diketahui ditransfer dari kapal ikan FV Jin Shung berbendera Tiongkok ke kapal nelayan Pakistan dalam kondisi sakit.

 

Penindasan

Setelah berada di atas kapal nelayan Pakistan, Eko kemudian terlantar dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Pelabuhan Karachi, Pakistan pada Mei 2020 lalu. Tak berhenti di situ, urusan Eko masih tetap berlanjut karena ternyata korban mengalami pemotongan upah dan gaji selama bekerja.

Selain Eko, Abdi Suhufan menyebutkan bahwa saat ini masih ada puluhan orang AKP lain asal Indonesia yang terjebak dan bekerja pada kapal perikanan berbendera Tiongkok yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut internasional.

“Mereka terjebak pada kondisi kerja yang tidak adil dan tertindas serta minta dipulangkan,” ujarnya.

baca juga : Eksploitasi Tenaga Kerja Perikanan yang Tak Pernah Usai

 

Ilustrasi. Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu, DFW Indonesia berpendapat kalau Pemerintah Indonesia perlu segera mencegah dan menghentikan praktik kekerasan yang menimpa AKP Indonesia, terutama yang bekerja pada kapal perikanan berbendera Tiongkok. Untuk melakukannya, perlu langkah yang tegas dan jelas.

Pertama, Pemerintah bisa melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan asosiasi manning agent untuk pendataan keberadaan AKP perikanan yang bekerja di atas kapal Tiongkok, baik yang legal atau ilegal. Kemudian, Pemerintah juga harus memastikan status dan keberadaan mereka saat ini.

“Untuk mengambil langkah antisipasi seperti repatriasi untuk AKP yang bekerja di kapal ikan bermasalah, dimana mereka mengalami kekerasan dan penyiksaan,” jelas dia.

Kedua, Pemerintah perlu untuk menjamin dan memastikan hak-hak para korban dari AKP untuk bisa tetap ada dan diterima oleh ahli waris masing-masing. Oleh karena itu, keluarga korban juga pada akhirnya harus mendapatkan pendampingan dan perlindungan, supaya mereka tidak jadi objek oleh calo atau broker kasus.

Ketiga, aparat penegak hukum Indonesia perlu melakukan peyelidikan terhadap sejumlah manning agent pengirim AKP yang sudah meninggal, karena ikut bertanggungjawab atas kematian mereka. Dengan kata lain, para agen membawa AKP ke luar negeri untuk dieksploitasi.

perlu dibaca : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Ilustrasi. Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Koordinator Program SAFE Seas Project DFW Indonesia Muhamad Arifuddin menambahkan, diperlukan strategi pencegahan melalui pemberian edukasi kepada manning agent dan calon AKP Indonesia yang akan bekerja pada kapal perikanan asing.

“Mereka perlu diberikan edukasi tentang resiko, indikator kerja paksa dan perdagangan orang, agar tidak terjebak dalam pekerjaan yang beresiko dan praktik perbudakan di kapal ikan asing,” tegasnya.

 

Exit mobile version