Mongabay.co.id

Nelayan Minta Perizinan Melaut dalam Satu Atap, Mungkinkah?

 

 Lalu lintas kapal baik besar dan kecil terlihat di pintu masuk Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Kebanyakan masyarakat awam hanya melihat kalau kapal berangkat melaut itu hanya membutuhkan bahan bakar minyak (BBM), alat tangkap dan logistik sesuai dengan lamanya waktu melaut. Tetapi ternyata lebih dari itu. Mereka harus mengantongi berbagai macam perizinan. Ada surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin usaha perikanan (SIUP), Pas besar atau Pas kecil, serta Surat Kelaikan Kapal. Keempat dokumen itu harus benar-benar berlaku semua, sebab kalau tidak bisa-bisa tersandung hukum.

Ketua KUD Mino Saroyo Cilacap Untung Jayanto mengungkapkan sebagai pemilik kapal dan setiap hari berhubungan dengan nelayan atau pemilik kapal, salah satu kendala bagi nelayan tangkap adalah persoalan perizinan.

“Misalnya, untuk SIUP itu masa berlakunya tiga tahun, kemudian SIPI satu tahun. Sedangkan untuk Pas besar, misalnya, selama satu tahun. Sedangkan untuk kelaikan kapal enam bulan sekali. Yang jadi masalah adalah, masing-masing izin tersebut ada yang diurus di pemerintah pusat di dua kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Ada juga yang diurus di tingkat provinsi,” ujarnya pada Rabu (5/8).

baca : Potensial, KKP Komitmen Kembangkan Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap

 

Aktivitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Izin melaut itu masih terlalu berbelit. Sebagai contoh, empat dokumen melaut yang selama harus dimiliki oleh nelayan atau pemilik kapal menjadikan nelayan terbebani. Bagaimana tidak, keempat dokumen itu, masa berlakunya berbeda-beda. Apalagi, harus mengurus satu per satu. “Seharusnya, seluruh perizinan tersebut dapat dilayani dalam satu atap. Katakanlah seperti mengurus kendaraan. Itu kan bisa dilakukan dalam satu atap. Inilah yang masih harus kami perjuangkan,” katanya.

Sementara Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Sarjono mengakui bahwa tidak sinkronnya masa berlaku keempat perizinan tersebut membuat nelayan khawatir jika berada di laut. “Dengan masa berlaku yang tidak sama, itu yang menyulitkan nelayan. Misalnya, ada satu atau dua yang masih berlaku, tetapi mungkin ada satu yang sudah tak berlaku. Tentu hal seperti ini berpotensi munculnya persoalan hukum. Yang kasihan yang membawa kapal baik nahkoda atau anak buah kapal (ABK),” kata Sarjono.

Ia menjelaskan jika terjadi masalah hukum, maka yang bertanggung jawab bukanlah pemilik kapal, melainkan para nahkoda dan ABK. “Tentu hal ini menjadi keprihatinan kami semua. Oleh karena itu, HNSI mendorong kepada pihak-pihak terkait untuk duduk bersama, misalnya KKP, Kemenhub maupun provinsi. Sehingga, selain ada sinkronisasi masa berlaku, kami juga ingin agar perizinan dalam satu atap. Sehingga kami tidak perlu ke Jakarta atau ke Semarang jika itu menjadi kewenangan provinsi,” ujarnya.

Dia mengaku telah melaporkan masalah tersebut kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan para pejabat KKP yang sempat berkunjung ke Cilacap. “Kami mengusulkan hal tersebut, supaya nelayan, ABK atau nahkoda tidak terjerat permasalahan hukum terkait dengan perizinan. Kasihan kan, kondisi saat sekarang sudah cukup berat ditambah dengan masalah perizinan,”ungkapnya.

baca juga : Memanen Ikan dan Lobster di Tengah Ancaman Gelombang Tinggi dan Angin Kencang

 

Salah satu temnpat parkir di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

KKP Siap Berkomunikasi

Terkait usulan tersebut, ketika berkunjung ke PPS Cilacap, staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Pamuji Lestari mengatakan bahwa pihaknya akan membicarakan persoalan ini dengan kementerian lainnya. “Kita akui, KKP tidak bisa sendiri, karena melibatkan kementerian lainnya seperti Kemenhub. Pada prinsipnya, kami akan membangun komunikasi lintas kementerian,” katanya.

Sementara Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ridwan Mulyana mengungkapkan saat sekarang KKP terus mensosialisasikan sistem informasi layanan cepat (Silat). Silat merupakan terobosan KKP dalam memangkas birokrasi perizinan. Hal ini sesuai dengan instruksi presiden bahwa dalam masa pandemi seperti sekarang, harus ada percepatan dan penyederhanaan presiden.

“Sesuai dengan instruksi presiden, salah satu yang sekarang didorong terus oleh KKP adalah Silat. Dengan adanya Silat, maka akan memangkas jalur birokrasi,”jelas Ridwan.

Menurutnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, pengurusan perizinan membutuhkan waktu paling lama 14 hari. “Namun, saat sekarang paling hanya satu jam. Itu pun, tidak perlu menggunakan berkas fisik, cukup scan saja. Jadi, 30 menit awal merupakan pengurusan berbagai dokumen yang masih berlaku. Setelah itu, 30 menit berikutnya adalah pemeriksaan berbagai macam dokumen. Sudah, hanya membutuhan waktu satu jam, perizinan bisa selesai,” katanya.

Dengan terobosan ini, diharapkan para nelayan akan lebih mudah dalam mengurus perizinan khususnya terkait dengan KKP. Kalau perizinan cepat, maka proses melaut pun juga bisa lancar. Karena sebelumnya, tidak mungkin bisa dirampungkan hanya dalam waktu satu jam, bisa beberapa hari, bahkan dalam peraturan menteri, maksimal 14 hari.

perlu dibaca : Meski Hasil Tangkapan Stabil, COVID-19 Berdampak pada Turunnya Permintaan dan Harga Ikan

 

Acara kunjungan kerja dan bakti nelayan di Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bantuan Nelayan di Cilacap

Saat kunjungan rombongan kerja KKP bersama anggota Komisi IV DPR Sunarna akhir Juli lalu, KKP memberikan bantuan sebanyak 1.000 paket sembako kepada nelayan kecil di Cilacap yang terdampak pandemi COVID-19. Paket sembako tersebut terdiri dari beras, minyak goreng, gula pasir, mi instan, masker dengan nilai paket Rp150 ribu.

“Secara total, nilai bantuan sembako mencapai Rp150 juta. Selain itu, juga diberikan bantuan premi asuransi nelayan (BPAN) dengan klaim asuransi senilai Rp298 juta lebih, untuk para ahli waris dan nelayan yang mengalami kecelakaan di laut,”kata staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Pamuji Lestari.

Ia menambahkan, KKP juga terus mendorong digulirnya permodalan untuk sektor perikanan khususnya di Cilacap. Secara total, hingga akhir Juli, permodalan yang digulirkan senilai Rp7,56 miliar melalui BNI. Sedangkan yang melalui BRI mencapai Rp8,6 miliar.

“Sebelumnya, KKP melalui program Bakti Nelayan di Cilacap pada masa pandemi di bidang kesehatan telah melakukan penyemprotan disinfektan di Kawasan PPS Cilacap, pembagian 2.800 masker, 275 hand sanitizer, 350 vitamin dan herbal, serta 500 alat pelindung diri (APD). Untuk bakti sosial, dilaksanakan pemasangan tempat cuci tangan dan pembagian sembako 792 paket. Sedangkan bakti usaha, KKP memfasilitasi kendala usaha nelayan seperti perizinan, akses permodalan di Pos Pelayanan Terpadu,” tambahya.

 

Exit mobile version