Mongabay.co.id

Bahaya Mengancam di Balik Pembangunan Bumi Perkemahan di Tahura Abdul Latief Sinjai

 

Pemerintah Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan tengah membangun pusat perkemahan di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Abdul Latief seluas satu hektare. Upaya ini mendapat kritikan dari komunitas pencinta alam karena dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan sosial di kemudian hari.

“Dengan adanya pembangunan pusat perkemahan yang tidak mempertimbangkan kelangsungan ekologis ini akan mengancam habitat flora dan fauna serta sosio kultural masyarakat setempat,” ungkap Fandi, Sekretaris Jenderal Forum Pencinta Alam (FPA) Sinjai, Sabtu (1/8/2020).

Lokasi pembangunan kawasan perkemahan ini sendiri masuk dalam zona pemanfaatan I yang luasnya sekitar 113 Ha, yang letaknya berdampingan dengan blok Koleksi. Selain itu, kawasan perkemahan juga berbatasan dengan areal perlindungan dan kawasan lindung.

“Sehingga pembangunan pusat perkemahan secara tidak langsung membuka akses menuju areal hutan primer yang selama ini dijaga agar tidak mengalami kerusakan,” tambahnya.

Selain itu, adanya SK.362/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2019 tanggal 28 Mei 2019 tentang Peta Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan menunjukkan bahwa lokasi pembangunan kawasan perkemahan masih dalam areal konservasi.

baca : Kasus Penebangan Pohon Milik Sendiri, Petani di Sinjai Dijemput Paksa Polisi

 

Untuk kepentingan wisata Pemda Sinjai membangun pusat perkemahan seluas 1 ha di kawasan Tahura. Pembukaan lahan tidak hanya dilakukan di kawasan perkemahan tetapi juga pada pembukaan akses jalan menuju lokasi. Foto: FPA Sinjai

 

Menurut Afandi, penggunaan lahan Tahura Abdul Latief sebagai pusat perkemahan telah direstui oleh Dirjen KSDAE KLHK dan penggunaan alat berat dalam pembangunan kawasan perkemahan tersebut.

“Kami menduga Dirjen KSDAE memberikan izin tanpa mengetahui kondisi di lapangan terutama terkait areal yang masih berhutan dan berbatasan dengan areal lindung.”

Fandi menjelaskan bahwa pembangunan bumi perkemahan ini dikhawatirkan bisa memicu longsor, karena letaknya yang berada pada ketinggian dan jalan menuju lokasi melewati jurang yang karakter tanahnya berbatu dan mudah lepas, dengan kemiringan sekitar 30-45 derajat.

Dampak lain, vegetasi yang ada pada areal tersebut masih berhutan, sehingga pembukaan lahan dengan alat berat menyebabkan kerusakan bentang alam dan perubahan fungsi.

“Pembukaan akses juga akan memudahkan tindakan perambahan dan perusakan pohon yang ada dan mengancam ekosistem gunung Bawakaraeng,” tambahnya.

Untuk dampak sosial, terdapat dua anak sungai di tepi lokasi perkemahan tersebut yang selama ini menjadi salah satu sumber air masyarakat yang ada di sekitar Tahura.

Selain itu, sanitasi dan pembuangan sampah perkemahan berkontradiksi terhadap areal penangkaran yang berada di sekitarnya juga perkampungan yang berada di bawah area bumi perkemahan.

“Lokasi pembangunan bumi perkemahan merupakan daerah yang disakralkan masyarakat setempat sehingga berpotensi merusak tatanan sosial kebudayaan yang telah berjalan turun temurun.”

baca juga : Berkonflik Lahan dengan Dinas Kehutanan, Warga Sinjai Ditangkap

 

Vegetasi yang ada pada areal tersebut masih merupakan kawasan hutan sehingga pembukaan lahan dengan alat berat menyebabkan kerusakan bentang alam dan perubahan fungsi. Selain itu juga dikhawatirkan memicu bencana longsor. Foto: FPA Sinjai

 

Selain itu ada juga potensi kebakaran hutan, dimana hampir setiap tahun terjadi di pegunungan Lompobattang- Bawakaraeng. Pembukaan bumi perkemahan tersebut meningkatkan potensi kebakaran hutan dan lahan.

“Kami paham hal ini karena selama ini merupakan bagian dari relawan yang setiap tahun bersiap siaga dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut.”

Fandi juga menilai pembukaan lahan untuk bumi perkemahan ini kontradiksi dengan penegakan hukum kehutanan di Sinjai, karena selama ini Sinjai termasuk daerah dengan tingkat kriminalisasi petani yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan yang cukup tinggi.

“Sejak tahun 1990-an, masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan menjadi sasaran empuk penegakan hukum dengan tuduhan perambahan kawasan hutan.”

Beberapa kasus yang mencuat adalah kasus Barambang-Katute dan kasus Bahtiar bin Sabang dan terakhir Kampung Boja di Desa Puncak Sinjai Selatan.

“Pembukaan lahan berhutan untuk bumi perkemahan dengan mendapatkan izin dari KLHK sangat berkontradiksi dengan upaya KLHK membatasi akses masyarakat yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kawasan hutan, baik secara sosial maupun secara ekonomi.”

Fandi berharap Pemkab Sinjai dalam melakukan pembangunan pembangunan perkemahan ini seharusnya mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, Tahura Abdul Latief merupakan salah satu dari tiga kawasan habitat anoa yang tersisa di Sulawesi Selatan.

“Jika ingin menjadikan Tahura Abdul Latief sebagai kawasan wisata alam, hendaknya Pemkab Sinjai mempertimbangkan keberadaan anoa sebagai hewan endemik Sulawesi yang berdiam di sekitar Tahura.”

perlu dibaca : Melacak Leluhur Anoa di Sulawesi

 

Di dalam Tahura Abdul Latief terdapat Anoa yang merupakan satwa endemik Sulawesi, yang dikhawatirkan terancam dengan adanya pembangunan bumi perkemahan ini. Foto: FPA Sinjai

 

Kedua, Tahura Abdul Latief merupakan bagian dari Pegunungan Lompobattang-Bawakaraeng yang memiliki peran penting sebagai penyangga kawasan hutan yang berada di atasnya.

Ketiga, hutan yang tersisa di Tahura Abdul Latief adalah hutan basah yang masih primer dan menjadi pembeda dengan kawasan wisata alam lain seperti Malino dan Bantimurung, Maros.

Keempat, paradigma bahwa tempat wisata mesti dengan modernitas yang tidak mempertimbangkan kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem akan melahirkan dampak yang besar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Baik terhadap ekosistem alam maupun terhadap masyarakat setempat.

Oleh karena itu, FPA Sinjai menyatakan sejumlah pernyataan sikap. Pertama, menyesalkan tindakan pembukaan lahan pada areal berhutan di Tahura Abdul Latief seluas satu hektare untuk pembangunan bumi perkemahan. “Hal tersebut menunjukkan konsep tidak ramah lingkungan dan sosial kemasyarakatan,” katanya.

Kedua, mendesak kepada pihak Pemkab Sinjai untuk menghentikan pengerjaan bumi perkemahan tersebut dan membangun dialog yang transparan dengan para pihak.

Ketiga, mendesak Kepada Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan untuk meninjau laporan penugasan personilnya atas penggunaan alat berat di Tahura Abdul Latief.

Keempat, mendesak kepada KLHK untuk meninjau ulang izin penggunaan alat berat di areal Tahura untuk pembangunan bumi perkemahan.

Kelima, mendesak KLHK untuk memverifikasi berkas pengajuan izin pembangunan bumi perkemahan dengan mempertimbangkan dampak-dampak lingkungan dan sosial termasuk adanya indikasi kepemilikan villa pribadi pada areal Tahura Abdul Latief.

baca juga : Menitip Asa di Hutan Mangrove Tongke-Tongke

 

Bupati Sinjai Andi Seto Asapa (dua dari kiri) saat meninjau lahan yang akan dijadikan pembangunan Bumi Perkemahan di Kawasan Tahura Abdul Latief Sinjai, Kamis (16/7/2020). Foto : beritabersatu.com

 

Tidak Melanggar Aturan

Menurut Kepala Seksi Pemanfaatan Taman Hutan Raya Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sinjai, Yusuf Palulla, pembangunan bumi perkemahan di dalam kawasan Tahura Abdul Latief memang merupakan salah satu program yang tertuang dalam dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Tahura Abdul Latief 2016-2025.

Hal ini juga diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 tentang Sarana dan Prasarana dalam Wisata Alam Tahura.

“Tak ada aturan yang dilanggar dalam pembangunan bumi perkemahan ini, semuanya sesuai regulasi. Lokasi dipermasalahkan tersebut memang diperuntukkan untuk bumi perkemahan. Yang dipermasalahkan teman-teman adalah adanya penebangan pohon yang dikhawatirkan terjadi erosi,” ujar Yusuf.

Menurut Yusuf, meski ada penebangan pohon namun jumlahnya tak banyak dan bahkan segera dilakukan penanaman kembali bibit pohon sengong dan pembuatan teras.

“Kalau dilihat sekarang dengan kasat mata orang berpikiran itu pengrusakan, terlihat gundul, tapi jangka panjangnya kan tidak seperti itu. Ada penataan, ada perencanaan, kita menata kembali pohon-pohon untuk kenyamanan kegiatan-kegiatan di atas.”

Terkait penebangan pohon untuk pembukaan jalan menuju lokasi perkemahan, Yusuf menjelaskan bahwa pembukaan jalan tersebut diperuntukkan untuk jalur alat berat menuju lokasi pembangunan bumi perkemahan. Ada sejumlah pohon yang ditebang namun jumlahnya sedikit dan kecil.

“Pembuatan jalan menuju lokasi perkemahan di atas harus menggunakan alat berat. Sebelumnya memang ada jalan rintisan sebagai jalan patroli, kami survei layak dan tak begitu banyak vegetasi yang dikorbankan. Jalan ini nantinya akan kami gunakan sebagai jalan patroli dan jalur joging.”

 

Exit mobile version