Mongabay.co.id

Bonifasius Soge, Lelaki Muda Penggerak Sentra Sorgum Likotuden 

 

Dusun Likotuden, Desa Kawalelo berada di Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kawalelo merupakan kependekan dari Kawa Liko Tuden Lelo Herin Lela yang berarti “tenteram dalam benteng pertahanan”.

Dulu, dusun ini asing di telinga orang. Berkat sorgum, nama Likotuden termasuk Kawalelo mulai dikenal dimana-mana.

Membicarakan Sorgum di Dusun Likotuden tentu tak bisa lepas dari peran Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) dan Maria Loretha.

Namun di balik semua itu, daerah gersang yang kini terkenal dengan julukan Kampung Sorgum, ada seorang lelaki tegap berperawakan tinggi yang ikut andil. Dia tampak bersemangat sekali bila bicara tentang sorgum.

“Dulunya saya nelayan yang menangkap ikan dengan peralatan seadanya dan menjual di

Kota Larantuka. Sehari hanya bisa dapat uang Rp50 ribu,” tutur Bonifasius Soge Kolah (36) saat berbincang di kebun sorgum Likotuden, awal Agustus 2020.

baca : Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama

 

Ketua Kelompok Tani Sorgum Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT, Bonifasius Soge Kolah saat berada di kebun sorgumnya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Bagi masyarakat etnis Lamaholot, sorgum atau watablolon lekat pada ingatan generasi tua. Hingga tahun 80-an sorgum dan jewawut masih memenuhi ladang petani selain padi ladang dan jagung.

Awal pengembangan sorgum di Likotuden terjadi tahun 2014. Boni sapaannya, mengaku langsung didapuk menjadi Ketua Kelompok Petani Sorgum Likotuden oleh anggota.

Dia mau jadi ketua karena berpikir harus ada anak muda yang memberi pemahaman kepada orang tua di kampungnya mengapa menanam sorgum. Padi dan jagung tidak bisa menghasilkan lagi akibat curah hujan menurun.

“Sorgum sudah pasti dan sekali tanam dipanen berulang kali. Khusus di Likotuden, dengan curah hujan rendah produksi sorgum melimpah. Padi dan jagung sering gagal panen,” ungkapnya.

Alasan ini yang membuat dirinya sebagai anak muda ingin agar pemahaman orang tua berubah. Ritual adat tetap dilakukan, namun perubahan iklim membuat musim hujan tidak menentu. Hama pun kerap menyerang dalam skala besar seperti belalang dan ulat grayak.

Lelaki kelahiran Likotuden 28 April 1984 ini mengaku awalnya hanya memiliki lahan sorgum 0,5 hektare. Kini, tahun 2020 lahan sorgumnya berlipat ganda mencapai 2,5 hektare.

“Lahan saya luas karena Yaspensel menyarankan kebun khusus padi dan jagung tidak boleh ditinggalkan, sementara lahan sorgum harus tersendiri. Karena sorgum jarang gagal panen maka saya lebih memilih menanam sorgum karena ditanam sekali bisa tiga kali panen,” ucapnya.

Tahun 90-an masyarakat Likotuden kata Boni masih menanam sorgum jenis lokal sebagai penghambat atau pengusir hama dan ditanam di bagian luar kebun. Kini sorgum jadi tanaman pangan utama.

Kelompok tani sorgum Likotuden memiliki anggota 45 orang terdiri atas 32 laki-laki dan perempuan 13 orang. Kelompok ini menjadi pioner dan magnet sehingga masyarakat Likotuden dan Kawalelo mulai menanam sorgum.

baca juga : Boro Tinggalkan Kemapanan di Belanda, Garap Sorgum di Pulau Adonara, Apa yang Dicarinya?

 

Hamparan lahan sorgum yang telah panen dan memasuki ratun pertama di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary.Mongabay Indonesia.

 

Syarat Satu Hektare

Perjalanan sorgum di Likotuden menginjak umur 6 tahun. Perubahan mulai nampak karena pangan lokal ini mulai dilirik. Awalnya kelompok tani memiliki Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) tapi kini berkembang menjadi Koperasi Petani Sorgum Likotuden.

Boni mengakkui mengubah kebiasaan agar masyarakat mulai mengkonsumsi sorgum awalnya sulit. Tantangan datang dari keluarga, orang tua serta warga kampung.

Kini ia bangga karena semua orang di Dusun Likotuden sudah mulai menanam sorgum. Masyarakat pun mengakui ada peningkatan pendapatan dalam keluarga berkat menanam sorgum. Meskipun saat ini masih ada kendala pengembangan sorgum.

“Syarat menjadi anggota kelompok tani, setiap orang harus mempunyai kebun minimal sehektare tetapi masih ada sembilan orang yang belum memenuhinya. Ini tantangan buat saya,” ucapnya.

Suami Kornelia Rumat Kiwan (35) ini beralasan bila lahan sorgum sehektare maka  hasil panen dan pendapatan juga bisa meningkat.

Panen awal 2014 hanya menghasilkan 9 ton. Pada 2019 hasil panen hanya 27 ton. Ada peningkatan oada 2020, panen sudah melebihi target diatas 35 ton.

“Tahun ini di tengah pandemi corona, serangan hama ulat grayak dan kekeringan, hasil panen sorgum melimpah. Banyak yang heran karena panen pertama kami meningkat belum terhitung panen ratun pertama nanti yang hasilnya pun terlihat bagus,” terangnya.

Saat hama ulat grayak menyerang, tegas Boni, petani sorgum tidak menggunakan pestisida kimia membasminya tetapi hanya dengan membuat ritual adat pengusir hama (ulet ulat).

perlu dibaca : Pakar: Jika Kembangkan Sorgum, NTT Bakal Daulat Pangan

 

Sorgum jenis kuali merupakan jenis yang paling banyak ditanam petani di Dusun Liukotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Minim Sentuhan Pemerintah

Meski sudah menjadi sentra produksi sorgum, tetapi perhatian pemerintah masih minim. Boni mengatakan pada 2019 ada dana Desa Kawalelo Rp120 juta bagi setiap kepala keluarga untuk membuka lahan.

Satu hektare dapat dana Rp1 juta. Namun hanya terealisasi 45 Ha atau Rp45 juta. Dia menyayangkan hal ini sebab lebih baik dana diberikan kepada kelompoknya yang sudah terbukti bekerja.

“Saya bangga kelompok kami besar berkat pendampingan dari Yaspensel. Harapan saya, pemerintah memberikan bantuan dana bagi kelompok kami sebab selama ini tidak ada bantuan dana meskipun sudah menjadi Koperasi Petani Sorgum Likotuden,” harapnya.

Boni tegaskan sudah membesarkan nama desa hingga kabupaten berkat menanam sorgum. Meski masyarakat sudah banyak yang menjadi anggota koperasinya, tetapi masih ada yang belum menjadi anggota karena terganjal syarat minimal lahan sorgum.

“Harapan saya masyarakat Likotuden menanam sorgum  dan menjadi komoditi andalan dan ketahanan pangan. Daerah kami gersang sehingga tidak bisa lagi menanam jagung dan padi,” pesannya.

Sedangkan Maria Loretha, pelopor pengembangan sorgum menilai Boni merupakan orang muda yang mau belajar, mau menerima kritik, tangguh dan pekerja keras.

Likotuden sebut Loretha, terdiri atas 58 Kepala Keluarga dan saat ini ada 6 Kepala Keluarga (KK) yang belum bergabung di kelompok petani sorgum.

Menurutnya, perkembangan kelompok dinamis dan mulai belajar tertib membayar angsuran di USBP dan mendapat penguatan kapasitas meskipun ada tantangan.

“Ada petani yang melempar isu bahwa kami menjual dengan harga tinggi di luar sehingga ada anggota yang menjual sorgum di luar UBSP. Boni konsisten sehingga kadar air sorgum dibawah 9 persen tidak bisa dibeli koperasi,” ucapnya.

 

Exit mobile version