Mongabay.co.id

Ekologi Gunung Merapi: Degradasi Lahan Versus Konservasi

Jeep wisata Merapi melintas di jalan berbatu dengan latar belakang Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Setiap 10 Agustus kita memperingati Hari Konservasi Alam Nasional [HKAN], yang telah ditetapkan sejak 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu. Tujuan HKAN adalah mengampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat, disamping mengedukasi dan mengajak masyarakat berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem.

Salah satu ekosistem alam yang membutuhkan sentuhan konservasi adalah kawasan Gunungapi Merapi, yang sebagian wilayahnya telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunungapi Merapi [TNGM]. Merapi merupakan gunungapi strato paling aktif di dunia. Erupsinya memberikan risiko dan dampak kebencanaan sekaligus manfaat ekonomi.

Dampak positif pascaerupsi adalah meningkatnya kesuburan tanah dan melimpahnya material pasir dan batu. Wilayah sekitar Merapi merupakan kawasan subur untuk pertanian. Kegiatan usaha lain yang berkembang adalah penambangan pasir dan batu.

Seiring berjalan waktu, ketersediaan pasir dan batu di sungai mulai menipis. Implikasinya, penambangan mulai merambah ke pekarangan. Kegiatan penambangan juga semakin liar dan tidak menggunakan kaidah atau tata kelola yang baik. Hasilnya, rentan terjadi kerusakan lingkungan berupa lahan kritis yang berdampak negatif bagi pertanian yang sebenarnya subur.

Baca: Menjaga Hidup Selaras dengan Merapi

 

Kondisi tanah ambles dengan latar belakang Gunung Merapi akibat erupsi. Di area ini warga biasa melakukan penambangan pasir. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Degradasi lahan

Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air. Akibatnya, lahan mengalami kerusakan, kehilangan, atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang telah ditentukan atau diharapkan [Romenah, dkk., 2010].

Secara umum lahan kritis merupakan indikator degradasi lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana [Nugroho dan Prayogo, 2008]. Ciri utamanya lahan gundul, terkesan gersang dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan topografi lahan berbukit atau berlereng curam [Prawira, dkk., 2005; Herdiana, 2008].

Daerah yang rentan terjadi kekritisan lahan adalah lereng selatan dan tenggara Merapi, yang masuk Sleman dan Klaten. BLH Klaten [2018] telah melakukan pemetaan lahan kritis, hasilnya lahan tergolong sangat kritis sekitar 696,43 hektar atau 4,48 persen dari total luas wilayah kajian. Sebarannya mencakup 24 desa di 3 kecamatan [Kemalang, Karangnongko, dan Jatinom].

Untuk lahan kritis seluas 133,02 hektar atau 0,85 persen dari total luas wilayah kajian. Sebarannya mencakup 7 desa di Kecamatan Kemalang saja. Sementara lahan agak kritis/sedang seluas 80,35 hektar atau 0,52 persen dari total luas wilayah kajian. Sebarannya mencakup 23 desa di semua kecamatan [Kemalang, Karangnongko, Manisrenggo, dan Jatinom].

Lahan yang tergolong potensial kritis seluas 527,17 ha atau 3,39 persen dari total luas wilayah kajian, yang sebarannya mencakup 7 desa di 2 kecamatan [Kemalang dan Karangnongko]. Terakhir, lahan yang tidak kritis sekitar 14,123 ha atau 90,77 persen dari total luas wilayah kajian yang sebarannya mencakup 61 desa di semua kecamatan.

Baca: Memori Bencana Merapi di Museum Warga

 

Warga melakukan penambangan pasir bekas erupsi Gunung Merapi secara manual. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi konservasi

Rekomendasi konservasi dapat dilakukan melalui rehabilitasi lahan kritis yaitu dengan vegetasi dan teknik sipil. Secara umum pemilihan vegetasi semaksimal mungkin menggunakan vegetasi yang telah ada di wilayah tersebut [lokal/in situ] sedangkan teknik sipil secara umum bisa menggunakan sistem terasering.

Pada daerah dengan kelerengan > 40 persen dan disertai adanya tanah longsor yaitu wilayah penambangan pasir yang ditambang sangat dalam, rekomendasinya adalah secara vegetatif yaitu dengan menggunakan pupuk organik dan vegetasi permanen.

Rehabilitasi lahan kritis pada tebing sungai secara teknik sipil dengan flood, control and/or river bank protection serta secara vegetasi dengan menanami rerumputan. Pada wilayah dengan kelerengan yang disertai jurang, rekomendasinya adalah secara teknik sipil dengan menyumbat jurang tersebut sedangkan secara vegetasi menanami rerumputan.

Sedangkan pada lahan kritis di permukiman yang terdapat penambangan pasir, rekomendasinya adalah dengan vegetasi menggunakan strip rumput sedangkan secara teknik sipil mengontrol erosi dan limpasan permukaan, memperbanyak lubang-lubang penyerapan air/biopori dan memperbaiki saluran pembuangan air.

Foto: Menjejak Merapi, Gunung Aktif Penuh Misteri

 

Jeep wisata Merapi melintas di jalan berbatu dengan latar belakang Merapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Untuk rekomendasi tiap pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut. Lahan kritis yang menampati lapangan atau ruang terbuka rekomendasinya adalah memindahkan pada lokasi yang tidak kritis. Demikian pula yang menempati pemakaman, tentu dengan mempertimbangkan aspek sosial budaya setempat.

Untuk lahan kritis di sempadan sungai dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsinya melindungi sungai. Pada sungai yang tidak bertanggul pada jarak 3-20 meter hanya boleh berdiri jembatan, pipa gas, dan jalur kabel listrik. Di luar bangunan tersebut termasuk tempat tinggal atau tempat usaha, dilarang. Pada areal bekas penambangan pasir yang sangat dalam [> 40 meter] dibuat terasering untuk mempermudah akses ke bawah dan untuk konservasi tanah dan airnya.

Vegetasi rumput [vetiver] bisa digunakan untuk tahap awal. Bila kondisi lingkungan semakin baik baru dicoba vegetasi lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi yang ditumpangsarikan dengan tanaman keras.

Baca juga: Mengenal Anggrek Unik Endemik Merapi

 

Anggrek merapi [Vanda tricolor] ini unik, memncarkan aroma harum pada jam-jam tertentu dan tahan panas. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, lahan kritis di tegalan secara umum dapat diperbaiki melalui pemilihan tanaman semusim yang bertajuk rapat dan mempunyai nilai ekonomi. Disesuaikan juga dengan lahan: terasering bila memungkinkan atau menanam dengan cara menyabuk lereng.

Pada lahan sangat kritis dengan beberapa penciri seperti tebing sungai dan jurang pada rekomendasi vegetatif disarankan menanam rumput. Pada tanah longsor rekomendasinya secara vegetatif yaitu dengan menggunakan pupuk organik. Vegetasi permanen ini termasuk tanaman industri, perkebunan, kebun hutan lindung, hutan kemasyarakatan, hutan suaka alam dan hutan wisata. Sedangkan rekomendasi teknik sipilnya bisa ditanggul atau bisa dijadikan embung untuk cadangan air.

Rekomendasi ini penting sebagai masukan kebijakan pembangunan wilayah. Sinergi dapat dilakukan melalui dokumen RTRW dan RPJP/M yang adaptif guna menjamin pembangunan berkelanjutan di lereng Merapi.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA [Center for Public Capacity Acceleration]. Artikel ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version