Mongabay.co.id

Warga Sikka Mengkonsumsi Ubi Beracun. Apa Penyebabnya?

 

Sebanyak 27 Kepala Keluarga (KK) di Desa Done, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak bulan Agustus 2020 mulai mengkonsumsi ubi hutan beracun atau Ondo dalam bahasa Lio.

Dampak kekeringan dan gagal panen membuat warga terpaksa mengkonsumsinya karena persediaan bahan pangan seperti padi dan jagung menipis. Bahkan, beberapa KK lainnya di desa tersebut pun mulai bersiap mencari ubi hutan beracun ini.

Untuk Kabupaten Sikka, kejadian ini merupakan kasus kedua dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, 16 KK di Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, sejak bulan Agustus 2017 mulai mengkonsumsi ubi hutan beracun.

Bagi Etnis Tana Ai itu, ubi yang dinamakan Magar ini dikonsumsi karena persedian beras dan jagung menipis. Sementara tanaman perkebunan seperti kakao, mente dan kemiri tidak tidak menghasilkan.

Ondo atau Magar sebenarnya ubi hutan, biasa disebut Gadung (Dioscorea hispida Dennst), termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae. Bentuk bulat lonjong, mirip sirsak berwarna coklat muda, dengan bintik-bintik pada umbi.

Di banyak hutan, tanaman ini mudah ditemukan, meski dengan nama berbeda-beda. Sejumlah nama lokal ubi hutan ini antara lain Siaffa (Sinjai Sulsel), Kolope (Bau-bau). Ada juga menyebut O Wikoro (Konawe Selatan), Bitule (Gorontalo), Gadu (Bima), Iwi (Sumba) dan Kapak (Sasak).

baca : Meski Mengandung Racun, Ubi Magar Jadi Pangan Alternatif di Sikka

 

Warga Desa Done, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT mengumpulkan ubi beracun atau Ondo untuk dibawa ke rumah dan diolah. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Gagal Panen

Adanya warga Desa Done yang mengkonsumsi Ondo atau ubi beracun tentu sangat memprihatinkan. Desa ini memiliki jumlah penduduk sekitar 1.500 dan mayoritas petani. Hasil pertanian berupa padi, jagung, mete dan kemiri.

Ketua RT 10 RW 04, Desa Done, Kecamatan Magepanda, Petrus Nanga saat ditanyai Mongabay Indonesia, Kamis (10/9/2020) menyebutkan, sejak sebulan lebih warga di kampungnya mengkonsumsi ubi beracun.

Petrus menyebutkan sebanyak 25 KK dari total 59 KK di RT-nya, Dusun Ladubewa dan 2 KK di Dusun Watuwa telah mengkonsumsi Ondo. Warga lainnya pun terancam mengkonsumsi juga karena persediaan bahan makanan menipis.

“Tahun ini kami mengalami gagal panen karena adanya kekeringan sehingga padi ladang dan jagung banyak yang rusak. Sekarang sudah banyak orang mau gali untuk makan karena persediaan bahan makanan sudah menipis,” ungkapnya.

Petrus mengaku mengkonsumsi Ondo merupakan pilihan terakhir apabila tidak ada bahan pangan lagi yang dikonsumsi. Ondo sebutnya, bisa dimakan tetapi racunnya harus dibuang dulu.

Direktur Wahana Tani Mandiri, Carolus Winfridus Keupung mengaku, pihaknya secara tidak sengaja menemukan kenyataan tersebut saat turun ke desa-desa melakukan penelitian termasuk ke Desa Done, Sabtu (5/9/2020).

Win sapaannya mengatakan, penelitian bekerjasama dengan Inobu yang dilakukan terkait ‘Dampak dan Adaptasi Perubahan Iklim’ serta penelitian ‘Perlindungan Sumber Daya Air’.

“Kami lakukan kegiatan ini  di beberapa desa dan kelurahan di Kabupaten Sikka dengan narasumber diantaranya kelompok tani dan petani. Setelah menemukannya kenyataan ini, kami pun memberikan bantuan beras 27 karung,” ucapnya.

Dia menjelaskan sudah hampir dua tahun ini dengan perubahan cuaca yang tidak menentu, para petani mengalami gagal panen. Akibatnya di tahun 2020 ini para petani tersebut kehabisan ketersediaan pangan.

“Kami akan melakukan pendampingan kepada petani terkait pola bertani saat perubahan iklim. Selain itu kami juga akan melakukan pengembangan ternak di kelompok tani agar ada cadangan dana saat hasil pertanian mengalami gagal panen,” sebutnya.

baca juga : Ubi Hutan Ini Beracun Tetapi Banyak Manfaat

 

Warga Desa Done, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT sedang mengiris ubi hutan beracun atau Ondo yang sudah dibersihkan untuk dikonsumsi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 

Menghilangkan Racun

Lusia Sela dan Sisilia Lajo warga lainnya mengatakan sudah sebulan warga mengkonsumsi ubi beracun ini. Keduanya mengaku sudah seminggu tidak menggali Ondo karena tangan gatal sehingga harus istirahat dahulu.

“Sudah sebulan kami gali (ondo) karena tahun ini panas berkepanjangan sehingga hasil panen berkurang. Sekali menggali dalam jumlah banyak sehingga bisa buat stok untuk beberapa hari.” tutur Lusia.

Sisilia mengaku sehari mengkonsumsi Ondo selama tiga kali, pagi, siang dan malam. Dirinya mengaku tidak takut mengkonsumsi ubi beracun ini karena sudah sering mengkonsumsinya saat stok pangan tidak ada.

Dia katakan proses mengolah Ondo beracun hingga aman dikonsumsi tergolong mudah dan warga di desanya sudah terbiasa melakukannya. Ondo berukuran besar bisa ditemukan di bukit sejauh sekitar satu km sebelah selatan desanya.

“Setelah dikupas, Ondo diiris tipis-tipis dan direndam di dalam air garam selama sehari lalu diangkat dan dibersihkan. Kita harus melapisi tangan dengan kain agar tidak gatal,” ucapnya.

Sisilia melanjutkan sesudahnya Ondo dibersihkan lalu dimasukan ke dalam karung dan dibawa ke kali. Ondo pun direndam di air mengalir selama sehari agar racunnya hilang.

Usai itu, Ondo dibersihkan dan dijemur hingga benar-benar kering. Bila ingin dikonsumsi, Ondo bisa langsung dikukus hingga matang  dan dimakan.

“Pengolahannya harus benar dan tidak semua orang bisa mengolahnya sebab kalau salah mengolah maka saat dimakan kepala akan pusing, mual bahkan muntah-muntah karena racunnya masih ada,” ucapnya.

Sisilia mengaku banyak warga yang mulai menjemur Ondo dan menyimpannya untuk dikonsumsi. Ondo yang dibuat berbentuk bulat ini bila hendak dimakan baru diambil dan diiris kecil-kecil lalu dicampur air dan dikukus.

“Kami disini hanya petani penggarap lahan milik Mosalaki atau tuan tanah dan tidak boleh memiliki. Kami  hanya menggarap  saja dengan menanam padi ladang dan jagung,” terangnya.

baca juga : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Umbi beracun atau Ondo yang sudah dimasak dan siap dikonsumsi warga di Desa Done, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Cari Solusi

Kepala Desa Done, Petrus Muju menjelaskan tahun 2020  maupun sebelumnya, saat memasuki bulan September debit air di persawahan berkurang dan hasil pertanian menurun. Ia akui tahun 2020 petani alami gagal panen dan sekitar 78 hektare sawah terdampak kekeringan.

“Sejak dahulu saat memasuki musim kemarau, pekerjaan petani tidak terlalu sibuk sehingga masyarakat mencari ubi hutan untuk makan tiga kali sehari. Bahan pangan di lumbung disiapkan untuk dikonsumsi Bulan Januari sampai Maret,” terangnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sikka Kristianus Amstrong kepada Mongabay Indonesia, Kamis (10/9/2020) membantah hal ini.

Menurut Kristianus, ada dua warga yang menderita penyakit diabetes sehingga mengkonsumsi ubi beracun. Sementara warga lainnya ia sebutkan hanya ikut-ikutan mengkonsumsi saja.

“Ada keluarga dari PPL Pertanian juga mengkonsumsi Ondo tapi hanya mau senang-senang makan saja, bukan rawan pangan. Karena ada yang makan maka yang lain ikut-ikutan makan,” ungkapnya.

Amstrong tegaskan memakan Ondo bukan berarti warga tidak ada stok pangan sebab stok beras mereka ada dan selama ini sering dapat bantuan.

Anggota DPRD NTT Yeni Veronika Deno dan Leonardus Lelo saat mengunjungi dan berdialog dengan warga menyebutkan seharusnya sejak awal pemerintah mengetahui agar warga tidak sampai sebulan konsumsi Ondo.

“Saya prihatin sebab masih ada masyarakat yang mengkonsumsi ubi beracun. Pemerintah Kabupaten Sikka harus mencari solusinya agar ke depannya jangan sampai permasalahan serupa terjadi lagi,” harap Yeni.

Yeni meminta agar mengatasinya harus lintas sektor jangan ego sektoral agar masyarakat yang ada di desa-desa di Kabupaten Sikka bisa mengatasi dampak kekeringan dan rawan pangan.

 

Exit mobile version