Mongabay.co.id

Harga Tuna Anjlok Terdampak COVID-19, Nelayan Maluku Minta Pemerintah Atur Pasar Penjualan

 

COVID-19 memang sangat berdampak sistemis dan menggerogoti aktivitas masyarakat, termasuk nelayan. Tidak terkecuali di Provinsi Maluku, dimana sejumlah nelayan di daerah-daerah kepulauan sangat resah terdampak kehidupannya, seperti kesehatan dan kondisi ekonomi yang terus memburuk.

Yusran Tomia, salah satu nelayan tuna asal Kabupaten Pulau Buru mengaku, dampak terbesar yang dirasakan adalah turunnya harga ikan secara signifikan. Sebelum COVID-19 menyebar hingga seantero Maluku, katanya, harga tuna bisa mencapai Rp1.000.000/ekor. Kini turun drastis sampai 50%.

“Harga ikan turun, sementara Bahan Bakar Minyak (BBM) tetap pada harga standar. Harga tuna yang mulanya Rp50.000/kg kini turun sampai Rp29.000/kg. COVID-19 berdampak sekali,” kata Yusran kepada Mongabay Indonesia, Jumat (4/9/2020).

Anjloknya harga ikan, kata Yusran, berdampak pada perekonomian keluarga. Meski demikian, mereka tetap melaut dengan menangkap ikan jenis lain agar laku dijual untuk kebutuhan sehari-hari.

“Agar tidak rugi, kami tetap melaut. Kami pakai alternatif lain, yakni mencari jenis ikan-ikan kecil seperti cakalang, tongkol dan lainnya. Kami juga ingin menggunakan alat tangkap rumpon,” ungkapnya.

baca : Menteri KKP Berjanji Wujudkan Wacana Lama Lumbung Ikan Nasional di Maluku

 

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Indah Rufiati/MDPI

 

Sebelumnya mereka mengejar lumba-lumba untuk menangkap tuna, karena pada kawanan lumba-lumba terdapat tuna. Cara itu membutuhkan BBM besar. Namun lantaran mewabahnya COVID-19 dan harga BBM yang tidak berubah, membuat para nelayan kesulitan beraktivitas.

“Rumpon mempermudah kami saat melaut. Hanya alat ini yang bisa kami gunakan untuk mengefisienkan operasi penangkapan dan menghemat BBM,” katanya.

Tetapi pemakaian alat ini terkendala setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang dan menertibkan rumpon di perairan laut Indonesia. Dia berharap pemerintah bisa mengizinkan nelayan di Pulau Buru mencari ikan menggunakan rumpon.

“Pasca moratorium, nelayan tak lagi mencari ikan pakai rumpon. Semoga pemerintah buka izin itu lagi, supaya mengatasi masa-masa sulit seperti sekarang ini,” pinta Yusran.
Prinsipnya, para nelayan di Pulau Buru, tetap taat dan mengikuti peraturan pemerintah, namun sisi lain pemerintah juga harus memahami kondisi nelayan saat ini.

Menurut Yusran, kelompok nelayan di Pulau Buru memiliki rantai pasok, yakni dari nelayan, pengumpul kemudian ke perusahaan dan selanjutnya diekspor. Sebelum COVID-19 melanda, banyak perusahaan ikan beroperasi di Pulau Buru. Kini tinggal satu perusahaan yang membeli hasil tangkap nelayan.
Pemerintah diharapkan mengintervensi pasar, dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar hasil tangkap nelayan di Maluku layak dijual. Sejauh ini memang, katanya, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) sudah menjembatani nelayan dengan pihak perusahaan maupun komite.

baca juga : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil [Bagian 1]

 

Seorang nelayan tuna saat aktivitas di laut Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Foto : MDPI

 

Bantuan Sosial

Yusran mengaku, sejauh ini dirinya belum mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah meski masuk Program Keluarga Harapan (PKH). Tetapi nelayan di Pulau Buru mendapat pengembalian dana premium dari yayasan yang membina mereka, yakni MDPI.

Dana premium ini merupakan kebijakan program Fair Trade Amerika kepada nelayan sebagai dana darurat diluar aturan untuk respon dampak COVID-19. Dana premium itu katanya, digunakan untuk membeli sembako, peralatan protokol kesehtan seperti masker, sabun, dan vitamin, serta peralatan melaut.

Menurut Yusran, hadirnya MDPI di tengah-tengah nelayan Pulau Buru sejak 22 Februari 2015 silam, cukup membantu. Selain melakukan pendampingan dari sisi administrasi, mereka juga membantu dan mengatur pengelolaan keuangan. “MDPI juga selalu memberikan  pengetahuan kepada kelompok nelayan di Buru,” katanya.

Husein, nelayan lain di Kabupaten Seram Bagian Barat juga mengaku kesulitan melaut karena takut bepergian disaat pandemi COVID-19. Dia bukan pencari tuna, hanya nelayan pencari ikan-ikan kecil. Dia biasa menjual hasil lautnya secara door to door, karena tidak ada pasar atau pengepul di kampungnya.

Menurutnya, biasanya ada nelayan yang menggunakan jaring bobo (mini purse seine) untuk menangkap ikan. Hasil tangkapnya dijual kepada masyarakat setempat dan dibawa ke penadah di Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah. Namun di masa COVID-19, mini purse seine tidak lagi beraktivitas.

Para nelayan di kampungnya, lanjut Husein, belum mendapat peningkatan kapasitas melaut, sehingga tidak tahu cara tangkap yang baik yang ramah lingkungan. “Semoga pandemi ini segera hilang, agar kami bisa beraktivitas kembali,” harapnya.

perlu dibaca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Begini Praktiknya untuk Nelayan Kecil [Bagian 2]

 

MDPI mencatat data perikanan di Pulau Buru, Maluku. Foto : MDPI

 

Peran MDPI

Yasmine Simbolon, Direktur Eksekutif MDPI mengatakan mereka mempunyai program pendampingan dengan nelayan di Pulau Buru dan Pulau Seram, Maluku.  Program ini demi mempertahankan sertifikasi Fair Trade USA untuk perikanan tangkap yang sudah didapatkan sejak 2014.

“Jadi pendampingan itu tetap dilakukan pada beberapa kelompok di Maluku, 6 kelompok di Pulau Seram dan 8 kelompok di Buru,” kata Yasmine saat dihubungi Selasa (8/9/2020).

Pendampingan itu menjaga standar pembinaan dan pengelolaan kelompok. Target MDPI saat ini, adalah menaikan status dari kelompok nelayan menjadi koperasi. “Itu menjadi agenda tahun ini, jika tidak ada COVID,” katanya.

Dari program Fair Trade itu, terdapat dana premium yaitu intensif dari penjualan ikan tuna untuk nelayan yang masuk dalam rekening kelompok (komite) nelayan. Penggunaan dana premium 70% untuk kebutuhan nelayan, sosial dan desa. Sementara 30% untuk pelestarian lingkungan.

“MDPI memastikan, dana itu digunakan dan dilaporkan secara tepat dan akuntabel, karena setiap tahun diaudit,” tegasnya.

Dia bilang, MDPI juga meningkatkan pengetahuan serta kapasitas para nelayan melalui pengurus kelompok di wilayah-wilayah binaan. Apalagi yang nelayan di Pulau Buru sudah punya sertifikasi Internasional Ecolabelling Marine Stewardship Council (MSC).

“Jadi memang standar-standar yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan karena tujuannya harus melakukan perikanan yang berkelanjutan,” katanya.

Dia mengatakan MDPI tetap membuka dan menjaga hubungan antara kelompok-kelompok nelayan binaan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten maupun provinsi, dengan tetap mengadakan forum untuk koordinasi dan diskusi.

baca juga : Fokus Liputan: Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru, Makin Sejahteranya Nelayan kecil [Bagian 3]

 

Seorang remaja di Pulau Buru, Maluku, memperlihatkan potongan tuna yang baru diturunkan dari perahu. Sejak program fair trade Yayasan MDPI dipraktikkan, nelayan kecil mulai merasakan dampak positifnya bagi mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dana Premium

Yasmine menjelaskan, dana premium nelayan tidak ada hubungannya dengan dinas pemerintah. Dana itu merupakan bagian dari paket sertifikasi Fair Trade USA yang punya aturan pemakaian melalui rapat kelompok nelayan, yaitu untuk membantu para nelayan membeli kebutuhan pokok.

Dana premium juga digunakan untuk renovasi atau sumbangan rumah ibadah, tabungan pendidikan anak, biaya berobat rekan nelayan yang alami sakit, membeli peralatan memancing yang lebih aman seperti Global Positioning System (GPS), jaket pelampung, rambu-rambu darurat.

Biasanya proses pencairan dana dilakukan dua tahun sekali. Tapi kemarin prosesnya di luar jadwal pencairan reguler, dengan pelaporan penggunaan yang akuntabel. “Mengenai COVID ini, Fair Trade USA memperbolehkan adanya program-program tanggap darurat,” ungkapnya.

Sisi lain, sambung Yasmine, para nelayan perlu berkoordinasi dengan pemerintah untuk program-program pemerintah yang banyak belum sampai ke nelayan. Dia menduga program pemerintah belum sampai nelayan karena keterbatasan penyuluh lapangan untuk Maluku wilayah yang luas. “Harus ada penyuluh yang bisa menerangkan mengenai program-program pemerintah, agar menguntungkan nelayan kecil,” ujarnya.

Yasmine juga menyebut, sejak COVID-19 mewabah, banyak pabrik-pabrik di Ambon tutup sehinga harga ikan turun drastis sampai 30 hingga 40 persen.

Sebenarnya, katanya, pabrik rekanan MDPI masih menerima, tapi karena mengalami penurunan sehingga kemampuan daya belinya menurun.

“Untuk pelaksanaan program Fair Trade USA di Maluku, MDPI mendapat dukungan penuh dari Harta Samudra serta Anova Seafood, pabrik pengolah tuna hasil tangkapan nelayan serta perusahaan pembeli di Amerika,” ungkapnya.

Dia merincikan harga tuna sebelum COVID-19 berkisar antara Rp50.000 hingga Rp60.000/kg. Berkat mediasi MDPI, harga ikan yang turun berkisar Rp25.000/kg, kini seharga Rp30.000.

baca juga : Pengelolaan Laut Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Nelayan Kecil

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rumpon

Terkait rumpon, kata Yasmine, ada pembahasan yang belum final di tingkat kementerian. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26/2014, membahas mengenai rumpon yang dimiliki kapal-kapal besar. Misalnya, satu kapal boleh memiliki tiga rumpon, dimana jarak satu rumpon dengan yang lainnya diperkirakan sekitar 10 mil.

MDPI sedang meregistrasi rumpon milik nelayan dan sudah komunikasi dengan pemerintah terkait penempatan rumpon milik nelayan dan kapal besar agar tidak mengganggu jalur atau arus transportasi. Selanjutnya, MDPI ingin memastikan nelayan rutin mengecek rumponnya agar tidak hanyut dan menjadi sampah di laut.

MDPI juga ingin agar rumpon tidak boleh melingkar. “Jika rumpon yang dipasang melingkar, semua jenis ikan dan semua ukuran ikan masuk di situ. Itu artinya keberlanjutan ikan tidak berjalan,” jelasnya.

Yasmine juga berpesan, jika nelayan masih ingin melihat tuna sebagai hasil ekspor yang bisa menghidupi dan menjanjikan di masa mendatang, maka para nelayan harus merubah praktek memancing dari yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan.

“Bagaimana kita dengan pemerintah, peneliti dan nelayan berpikir bijak agar laut di Maluku tetap menghasilkan. Harus ada koordinasi yang menyeluruh dari semua stakeholder,” tambahnya.

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Greenpeace

 

Harga Tuna dan BBM

Sedangkan Sa’adiah Uluputty, Anggota DPR RI asal Provinsi Maluku menyebut, pemerintah daerah harus turun intervensi untuk menjaga pasar penjualan tuna dengan tata kelola ekspor, kemudian pro aktif membuka jejaring baik skala besar maupun kecil meski ditengah pandemi COVID-19. Hal itu sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjaga pasar penjualan dan bisa memenuhi kebutuhan nelayan

“Pemerintah harus membuka jejaring ke luar negeri dan juga domestik. Jadi kalau terhambat COVID, lalu proses ekspor tidak bisa dilakukan ke luar negeri, maka bisa dilakukan ke berbagai provinsi di Indonesia,” jelasnya kepada Mongabay, Jumat (11/9/2020).

Mengenai BBM bagi nelayan, politisi PKS ini mengatakan realisasi BBM satu harga masih jauh dari target dan harapan masyarakat. Untuk itu BPH Migas harus kerja keras.

“Dari target 253 lembaga penyalur BBM satu harga pada 2020 di Indonesia, Komisi VII mencatat, baru terealisasi 175 lembaga penyalur. Ini masih jauh dari target, baru mencapai 69 persen,” katanya

Saadiah memaparkan, pencanangan kebijakan BBM satu harga dilatarbelakangi oleh mahalnya harga BBM di beberapa daerah terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), termasuk Indonesia Bagian Timur.

Penyediaan BBM satu harga oleh lembaga penyalur, memudahkan masyarakat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah, sesuai Peraturan Menteri ESDM No.36/2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional.

“Permen  tersebut mengamanatkan penyalur BBM tersedia di lokasi tertentu yaitu lokasi-lokasi yang belum terdapat Penyalur Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan. BPH harus bekerja lebih keras untuk memastikan target 253 lembaga penyalur dapat terpenuhi,” desaknya.

Apalagi, kata Saadiah, dalam catatannya BBM satu harga di wilayah–wilayah 3T  baik premium maupun solar belum terwujud sepenuhnya. Dititik serah terima yang lebih rendah seperti di tingkat penyalur atau Agen Premium & Minyak Solar (APMS) BBM satu harga, belum dinikmati oleh masyarakat, termasuk nelayan di Maluku.

Dia menegaskan, jangkauan kebijakan BBM satu harga di wilayah 3T bisa membantu menumbuhkan ekonomi masyarakat setempat, dan biaya operasional melaut nelayan lebih rendah.

Nelayan dengan pancing ulur sedang menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. Sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : MSC Indonesia

Sertifikat Internasional

Sebanyak 123 kelompok nelayan penangkap tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di Kabupaten Buru, Maluku, meraih sertifikat internasional di bidang perikanan, yakni MSC.

Sertifikat ini diterbitkan langsung oleh lembaga MCS yang berkantor di London. Diberikan kepada Anova Food LLC dan PT. Harta Samudera serta Asosiasi Nelayan Buru sebagai pemegang sertifikat, pada 13 Mei 2020.

baca : Pertama di Dunia, Ratusan Nelayan Tuna Pulau Buru Maluku Raih Sertifikat Ekolabel MSC

Abdul Haris, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku dikutip dari beritabeta.com menyambut gembira capaian tersebut, karena proses sertifikat itu melalui proses dan negosiasi yang cukup melelahkan.

“Keberhasilan sertifikat MSC ini merupakan bukti kerjasama antara Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan lembaga swadaya masyarakat yang sudah membina nelayan kecil,” kata Abdul di Ambon, Rabu (13/5/2020).

Ini merupakan sertifikasi terhadap usaha perikanan yang ramah lingkungan, tidak merusak biota dan habitat ikan serta tidak membahayakan hewan lain dalam ekosistem perairan. Jadi pemberian sertifikat MSC kepada kelompok nelayan di Pulau Buru tersebut menambah daftar sertifikat tingkat internasional mereka.

Menurut dia, dengan adanya berbagai sertifikat tersebut, maka produk tuna kuning yang dihasilkan oleh para nelayan akan memiliki lebel sertifikasi Internasional seperti Fair Trade dan MSC. Sertifikat ini juga dapat memberikan manfaat positif bagi perikanan tuna di Provinsi Maluku.

“Yang pertama bahwa 123 nelayan kecil tuna handline di Pulau Buru mampu memenuhi standar tertinggi untuk mewujudkan keberlanjutan. Kedua, menunjukan komitmen Pemerintah Provinsi Maluku kepada dunia Internasional dalam pemberdayaan nelayan kecil,” katanya.

Sisi lain juga, dapat memperluas akses pasar ekspor ke manca negara dan meningkatkan daya saing produk tuna kuning handline dari 123 nelayan kecil Pulau Buru. Kemudian menjadi inspirasi bagi dunia luar, dimana Pemerintah Daerah dan pelaku usaha dapat bekerjasama dalam membina nelayan kecil.

Exit mobile version