Mongabay.co.id

Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

 

 

“Inilah tempat timah terkaya yang tidak ada bandingannya di dunia, seluruh pulau akan menjadi tambang timah besar,” tulis Raffles menggambarkan potensi timah di Pulau Bangka dan Belitung kepada Gubernur Jenderal Lord Minto [Penguasa Inggris di Asia] tahun 1812.

Timah di Bangka dan Belitung sudah dimanfaatkan sejak era Kedatuan Sriwijaya. Namun, di masa kolonial [Inggris dan Belanda] eksplorasi mulai dilakukan besar-besaran hingga hari ini, yang berdampak rusaknya lingkungan dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Sebagian besar masyarakat Bangka Belitung [789.708 jiwa] merupakan keturunan pekerja tambang timah, dan kehidupan mereka hingga saat ini masih bergantung dengan timah.

Bahkan, saat dampak krisis moneter 1997-1998 dirasakan seluruh masyarakat Indonesia, penduduk Pulau Bangka dan Belitung menjadikan timah sebagai alternatif mata pencaharian, yang terbukti bisa meminimalisir atau bahkan “menyelamatkan” mereka.

Ketergantungan masyarakat terhadap timah sebagai sumber ekonomi masih sangat tinggi. Hal ini tergambar dari jajak pendapat yang dituliskan dalam buku Ekonomi Politik Sumber Daya Timah [Kronik Bangka Belitung] yang ditulis Ibrahim, Dwi Haryadi dan Nanang Wahyudin pada 2018. Akumulasi responden di wilayah Bangka sebesar 69%, dan Belitung 63%, menyatakan sangat setuju bahwa ekonomi Bangka Belitung sangat bergantung pada komoditas timah.

Sektor pertambangan juga memberikan kontribusi cukup tinggi bagi pertumbuhan ekonomi di Bangka Belitung [Babel], dibandingkan perkebunan dan pariwisata.

“PDRB [Produk Domestik Regional Bruto] timah menyumbang 40% dari total PAD [Pendapatan Asli Daerah] Provinsi Babel. Apalagi dalam kondisi wabah COVID-19 saat ini, sektor perkebunan dan pariwisata mengalami penurunan drastis. Sektor pertambangan, khususnya timah juga mengalami sedikit penurunan namun tidak sebagaimana pariwisata,” kata Suci Lestari, Humas Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu [02/9/2020].

Baca: Menanti Penertiban Tambang Timah Ilegal di Teluk Kelabat

 

Tambang timah yang masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

59 tewas di tambang timah

Ironinya, di balik jasa besar yang disumbangkan timah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, terdapat juga berbagai persoalan. Mulai dari kerusakan lingkungan yang belum teratasi hingga saat ini, serta puluhan nyawa melayang akibat kecelakaan karena tidak adanya peralatan keselamatan memadai.

Berdasarkan catatan WALHI Babel dari 2017 hingga 2020, ada 59 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang timah yang didominasi tambang timah rakyat [ilegal] baik di darat maupun di laut. Korban tertinggi pada 2019 dengan 25 jiwa sementara di 2020 sudah 19 jiwa.

Terbaru, Sabtu [29/8/2020], kecelakaan tambang timah ilegal terjadi di kawasan lindung Sarang Ikan, Desa Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, yang merenggut enam nyawa sekaligus. Beberapa hari kemudian, kecelakaan tambang timah ilegal kembali memakan korban, di Desa Celuak, Kabupaten Bangka Tengah, satu orang meninggal dunia dan dua luka-luka.

Dr. Ibrahim, penulis buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila” mengatakan, penambang tertimbun pasir, galian yang runtuh, kehabisan oksigen [tambang timah laut], terjepit mesin, dan jaminan sosial yang tidak ada adalah deretan cerita yang lazim terjadi dalam kehidupan tambang.

“Kecelakaan seringkali terjadi karena banyak masyarakat kita yang diiming-imingi keuntungan besar menambang timah, makanya aspek penting seperti keselamatan kerja seringkali diabaikan,” kata Dr. Ibrahim, kepada Mongabay Indonesia, Senin [14/9/2020].

Kurangnya edukasi teknis juga menjadi faktor terjadinya kecelakaan tambang timah rakyat [ilegal], ditambah pertambangan sering dilakukan di lahan yang sama.

“Tanah di Bangka adalah ultisol yang liatnya tinggi sehingga lebih stabil. Berbeda jika lahan yang ditambang, yang sebelumnya sudah ditambang, maka teksturnya sudah didominasi fraksi pasir, sehingga tidak stabil dan mudah longsor. Masalah utamanya adalah teknis penambangan yang tidak memperhatikan aspek K3. Misal, dalam menggali harusnya kontur tanah diatur membentuk tangga atau terasering tidak tegak lurus,” kata Dr. Ismed Inonu, pakar tanah dari Universitas Bangka Belitung.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Potret aktivitas pertambangan timah inkonvensional di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tambang timah rakyat yang mengabaikan keselamatan kerja terus memakan korban. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Siapa tanggung jawab?

Siapa yang bertanggung jawab atas kematian pekerja tambang ilegal di Pulau Bangka? Sekali lagi, melalui buku tersebut Dr. Ibrahim coba mengurai, bagaimana proses awal munculnya tambang ilegal di Pulau Bangka.

Berakhirnya masa Orde Baru menjadi titik awal berkembangnya pertambangan timah rakyat, dimulai dari diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang membuka luas peluang desentralisasi, diikuti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan. Kedua UU ini menetapkan kewenangan otonomi kepada daerah untuk mengelola atau memanfaatkan kekayaan naional secara adil, dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kemungkinan komoditas timah bisa dikelola daerah kian besar, ketika Memperindag mengeluarkan Keputusan Nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang tidak memuat timah, sebagai barang yang diatur dan diawasi ekspornya.

Memperindag mengeluarkan lagi Keputusan Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 yang juga tidak memuat ketentuan timah, sebagai komoditas strategis yang penambangan dan perdagangannya diatur pemerintah pusat. Kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Memperindag Nomor 294/MPP/Kep/10/2001 yang tidak memuat tata niaga timah.

Peluang pengelolaan timah tersebut disambut Pemerintah Provinsi Bangka-Belitung dengan diterbitkannya Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum yang disusul dengan SKEP Bupati Bangka No. 6 Tahun 2001 tentang Tata Cara dan Prosedur Perizinan Usaha Pertambangan.

Lalu, diikuti Perda Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan Barang Strategis, Perda Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, serta SKEP Bupati Bangka No. 540.K/271/Tamben/2001 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk Pengolahan dan Penjualan. Empat aturan tersebut disusul dengan Perda Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kolong.

Keluarnya aturan tersebut, memicu berkembangnya model pertambangan rakyat yang disebut dengan Tambang Inkonvensional [TI]. Tidak konvensional karena praktik pengelolaan biji timah tidak mengantongi izin resmi, menambang dilokasi kawasan lindung, peralatan yang tidak memenuhi standar, dan kegiatan setelahnya yang tidak memperhatikan galian bekas penambangan.

Baca: Dampak Radioaktif Tambang Timah, Masyarakat Bangka Rentan Terpapar Corona?

 

Hidup di lingkungan tambang yang mengandung unsur radioaktif, dapat mengancam kesehatan masyarakat Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sejak saat itu, masyarakat menambang di mana saja dan kapan saja tanpa batas. Investor dalam dan luar daerah atau negeri berdatangan, begitu juga dengan ribuan pekerja dari luar daerah. Akibatnya, eksplorasi timah besar-besaran yang melibatkan masyarakat luas memunculkan kerugian besar bagi produksi PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin saat itu.

Hasil tambang masyarakat dijual bebas kepada kolektor [Individu yang membeli timah dari para pelimbang, TI, atau penyelewengan timah dari mitra untuk dijual kembali kepada perusahaan pelebur atau smelter], karena harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan daya beli perusahaan PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin.

Dari kolektor, timah dijual ke beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura tanpa membayar pajak atau royalti kepada negara, yang menyebabkan kerugian pada 2001 hingga 49,4 miliar Rupiah.

“Saat itu, kecelakaan tambang timah rakyat sudah sering terjadi. Meski demikian, bayangan mendapatkan bayaran secara instan dalam jumlah besar seakan menjadi candu, sementara pengusaha terus memupuk keuntungan,” tulis Dr. Ibrahim, dalam bukunya yang diterbitkan 2013 lalu.

Baca: Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

 

Proses evakuasi korban akibat kecelakaan tambang di kawasan Sarang Ikan, Desa Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Dok. Humas Kantor Pencarian dan Pertolongan Kelas B Pangkalpinang

 

Era smelter

Merespon kerugian yang dialami negara, Memperindag kemudian mengeluarkan Kepmenperindag Nomor 57/MPP/KEP/I/2002 yang mengatur bijih timah diawasi ekspornya, yang segera diperkuat dengan Kepmenperindag Nomor 443/MPP/KEP/5/2002 yang memuat larangan ekspor bijih timah dan pekatannya.

Kepmenperindag diperkuat SK Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DJPLN/KP/II/2002 tentang Tata Cara dan Persyaratan Ekspor Biji Timah. Kepmenperindag Nomor 519/MPP/KEP/8/2003 tahun 2003, Kepmenperindag Nomor 385/MPP/KEP/6/2004 tahun 2004, serta Kepmeperindag Nomor 07/M-Dag/PER/4/2005 tahun 2005 yang memperkuat larangan ekspor bijih timah.

Dengan adanya larangan tersebut, ekspor dalam bentuk bijih timah sudah jarang dilakukan. Tetapi, para pengusaha tidak kehabisan akal, mereka beralih mendirikan pabrik peleburan timah baru [smelter]. Dengan demikian, produksi timah batang, resmi menggantikan produksi dalam bentuk bijih timah, proses penyelundupan terus berlanjut. Timah yang mereka peroleh, lagi-lagi berasal dari para kolektor, yang membeli dari penambangan yang dilakukan rakyat, tanpa ada jaminan keselamatan sama sekali.

Merespon hal tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Permendag Nomor 04/M-DAG/PER/1/2007 tentang Ketentuan Ekspor Timah Batangan. Aturan tersebut mempersulit ekspor timah, sehingga hanya ada 13 perusahaan Ekportir Timah Terdaftar [ETT] termasuk PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin.

Pada 2009, pemerintah pusat mengesahkan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini memberi wewenang gubernur dan bupati untuk mengeluarkan izin pertambangan, sehingga menjadi pintu masuk operasional kapal isap yang kerap memiciu konflik di tingkat masyarakat.

UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini kemudian mengalami perubahan, yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, disahkan 12 Mei 2020 lalu, yang menuai banyak kritik dari sejumlah kalangan. Termasuk, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung [Babel] Erzaldi Rosman Djohan yang ikut menggugat Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara ke Mahkamah Konstitusi.

Salah satu poin perubahan yang menjadi perdebatan adalah pemerintah pusat kembali mempunyai kewenangan menetapkan jumlah produksi, penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan batubara, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Baca juga: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Proses penambangan timah ilegal mulai merambah laut Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Buruknya tata kelola

Direktur WALHI Babel, Jessi Amundian mengatakan kerusakan lingkungan dan banyaknya korban jiwa akibat tambang ibarat dua sisi mata uang. Di balik semua itu, ada pelanggaran HAM yang tidak pernah terungkap dari rantai bisnis tambang timah dari hulu sampai hilir.

“Korporasi tambang, baik BUMN maupun swasta mutlak dimintai pertanggungjawaban. Di sisi lain, korporasi tambang yang terlibat menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan atau pemurnian, serta menjual pasir timah yang bukan dari wilayah IUP-nya, mutlak di minta pertanggungjawaban juga,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Senin [14/09/2020].

Berdasarkan catatan kompilasi WALHI Babel, terdapat 611 izin usaha skala besar yang menguasai kurang lebih 1.261.316,41 hektar dari luas 1.642.423 hektar wilayah daratan Provinsi Kepulauan Babel.

Dari total luas izin tersebut, sekitar 862.299,81 hektar atau 68,37 persen dikuasai IUP korporasi tambang. Babel juga kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam waktu 10 tahun. Akibatnya, fungsi ekologis lingkungan terus terganggu dan terancam keberlanjutannya.

“Babel [Bangka-Belitung] rentan bencana seperti banjir, kekeringan dan angin puting beliung sebagai akibat rusaknya kawasan hutan dan DAS yang merupakan wilayah resapan air dan sumber mata air tanah,,” lanjutnya.

Masih menurut Jessix, flora dan fauna endemik ikut terancam punah, pun tanpa terkecuali merusak kearifan lokal masyarakat setempat. Bekas-bekas lubang tambang tidak dilakukan reklamasi, dibiarkan menganga begitu saja.

“Keselamatan masyarakat dipertanyakan. Sampai kapan lingkungan dan masyarakat di Bangka Belitung menjadi korban buruknya tata kelola sumber daya alam di sektor tambang timah ini,” tegasnya.

 

Data-Korban-Kecelakaan-Tambang-2017-2020_WALHI-Babel.pdf

 

 

Exit mobile version