Mongabay.co.id

Kalimantan Tengah Banjir, Indikasi Rusaknya Hutan di Kawasan Hulu?

 

 

Banjir menerjang Kalimantan Tengah [Kalteng]. Sejumlah kabupaten terendam air yaitu Lamandau, Katingan, Seruyan, Kotawaringin Timur, Gunung Mas, Murung Raya, dan Kapuas. Terhitung 11 hingga 26 September 2020, status tanggap darurat banjir diberlakukan di provinsi ini.

Sugianto Sabaran, Gubernur Kalteng, pada Kamis [17/9/2020], dengan helikopter BNPB memantau langsung ke lokasi sekaligus memberikan bantuan sembako dan obat-obtan, terutama ke beberapa daerah terisolir. Pemerintah Kalteng, menyalurkan 20 ribu paket bantuan ke lokasi bencana melalui udara maupun darat.

Darliasjah, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran [BPBPK] Kalteng mengatakan, sejauh ini lebih dari 6.445 kepala keluarga atau 17 ribu jiwa terdampak banjir.

Baca: Cetak Sawah Baru di Kalteng, Babak Baru Bencana Ekologi?

 

Banjir yang terjadi di Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Save Our Borneo [SOB]

 

Esau Tambang, Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, kepada Mongabay Indonesia mengatakan banjir sangat mungkin terjadi disebabkan rusaknya hutan di bagian hulu, sehingga kemampuan hutan untuk menampung dan menyerap air hujan sangat kecil.

“Curah hujan yang tinggi tidak diimbangi dengan kemampuan hutan menyerap air,” terangnya.

Untuk itu, diperlukan tindakan komprehensif sejumlah pihak, seperti BNPB di sejumlah kabupaten, DLH Provinsi, BMKG Provinsi, dan Bappenas untuk melihat water cactchment area bagian hulu agar bisa dipulihkan lagi hutannya,” kata Esau.

Baca: Sedotan Purun, Kreativitas Masyarakat Tumbang Nusa Jaga Lahan Gambut

 

Lamandau merupakan wilayah yang menderita banjir cukup parah. Foto: Dok. SOB

 

Alih fungsi lahan

Safruddin, Direktur Save Our Borneo, mengatakan banjir di Kalteng biasanya berlangsung 2 hingga 3 hari, tapi tahun ini di beberapa lokasi hingga satu minggu lamanya. Banjir juga terjadi di saat seharusnya musim kemarau yang dampaknya begitu luas.

“Rusaknya hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan di Kalteng, merupakan dampak yang harus dirasakan sekarang,” terangnya, Kamis [19/9/2020].

Baca: Banjir di Hulu Kalimantan Tengah, Pertanda Apa?

 

Banjir yang terjadi di Lamandau tidak hanya merendam rumah tetapi juga menimbulkan kerusakan. Foto: Dok. SOB

 

Dia melanjutkan, jutaan hektar kawasan hutan dibuka dan diberikan izin untuk HPH, HTI, pertambangan, hingga paling masif adalah perkebunan sawit di hampir di semua wilayah Kalteng, terutama wilayah hulu yang hutannya semakin terbuka.

“Selain itu, daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tidak pernah diperhitungkan membuat bencana ekologis semakin cepat terjadi.”

Hutan yang merupakan penyangga kehidupan karena memiliki fungsi penting menjaga keseimbangan alam, sudah sepatutnya kita jaga. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi hutan yang ada, dengan tidak dengan mudahnya memberikan dalam berbagai bentuk izin.

Baca juga: Food Estate Melaju, Walhi Kalteng: Jangan Buka Lahan Baru

 

Lingkungan yang rusak akibat ulah manusia merupakan awal bencana banjir datang. Foto: Dok. SOB

 

Pemerintah juga harus mendukung upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dalam melindungi hutan dan wilayahnya melalui kearifan lokal.

“Termasuk juga pemerintah mempertimbangkan kembali rencana membuka lahan untuk program food estate yang akan di kembangkan di beberapa wilayah di Kalteng dengan cara membuka kawasan hutan,” ujar Safruddin.

 

Masyarakat yang menderita akibat terdampak banjir mendapat bantuan dari Pemerintah Kalteng. Foto: Dok. Yusho

 

Pantauan

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, banjir yang terjadi di Lamandau berawal dari wilayah Kina, yang berada kawasan hulu sungai. Begitu pula dengan di Katingan, banjir mulai menggenangi perumahan warga di Tumbang Hiran dan Desa Habangoi, lalu ke bagian hilir sepanjang aliran Sungai Katingan.

Di Desa Tumbang Sanamang, sebuah rumah guru SMP hanyut. Banjir juga merendam Desa Tumbang Napoi yang berada di Kecamatan Mini Manasa, Gunung Mas bagian hulu.

 

Rusaknya hutan merupakan awal mula bencana banjir menerjang sejumlah wilayah di Kalimantan Tengah. Foto: Dok. SOB

 

Rano, warga Desa Sepayang, Kabupaten Kotawaringin Timur, yang merasakan banjir mengatakan, untuk sampai ke Palangkaraya, ia dan keluarganya harus menempuh perjalanan selama 13 jam. Padahal, kondisi normal, diperlukan waktu sekitar 5 jam perjalanan darat.

Dia mengatakan, untuk mendapatkan kendaraan [mobil] dari desa, mereka harus berjalan kaki sejauh dua kilometer.

“Kami berangkat jam 11 siang. Jalan kaki dahulu ke bukit dan berenang di daerah banjir, tiba Palangkaraya jam 23.00 WIB malam. Banjirnya dalam, ada yang melewati kepala. Untuk menyelamatkan barang kami membuat rakit, tidak ada perahu karena itu di hutan,” tuturnya.

 

 

Exit mobile version