- Sedotan purun merupakan langkah kreatif masyarakat Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memanfaatkan tanaman yang tumbuh di lahan gambut.
- Purun[Lepironia articulata] merupakan jenis rumput liar yang biasa tumbuh di sekitar danau maupun rawa. Purun sering dimanfaatkan sebagai bahan anyaman seperti tikar, topi dan bakul.
- Selain purun, masyarakat juga memanfaatkan perumpung [Phragmites karka], sejenis rumput lebih besar yang juga melimpah di desa tersebut untuk dijadikan sedotan minuman
- Ketika masyarakat sadar akan nilai dan manfaat purun beserta perumpung, otomatis mereka menjaga tumbuhan ini tidak hilang, sekaligus menjaga agar tidak terbakar di lahan gambut ketika musim kemarau tiba.
Inilah sedotan purun. Sebuah langkah kreatif sejumlah ibu rumah tangga di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, memanfaatkan tanaman yang tumbuh di lahan gambut. Desa ini merupakan desa peduli gambut [DPG] prioritasnya Badan Restorasi Gambut.
Purun [Lepironia articulata] merupakan jenis rumput liar yang biasa tumbuh di sekitar danau maupun rawa. Purun sering dimanfaatkan sebagai bahan anyaman. Sesungguhnya, sejak lama masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah menjadikan purun sebagai tikar, topi maupun bakul. Namun, seiring perkembangan zaman, kerajinan purun mulai ditinggalkan. Kalah bersaing dengan produk berbahan plastik, terutama tikar.
Fasilitator DPG, Febriani menceritakan ide awal pembuatan sedotan minuman dari purun ini. Sebuah keinginan membuat produk ramah lingkungan yang tidak merusak ekosistem gambut.
“Saat melihat video di Youtube cara membuat sedotan dari purun, saya berpikir untuk mengembangkan di Tumbang Nusa. Mengingat, desa ini memiliki potensi purun menjanjikan,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia baru-baru ini.
Baca: Rawan Terbakar, Penyelamatan Gambut Harus Terus Dilakukan
Selain sedotan, para ibu yang dibentuk melalui Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] ini, coba membuat sedotan jenis lain, yaitu untuk jenis minuman boba atau cendol maupun jeli. Tentu saja dengan ukuran lebih besar, sementara tanaman purun rata-rata hanya 0,5 mm. Lalu, dapatlah perumpung [Phragmites karka], sejenis rumput lebih besar yang juga melimpah di desa tersebut.
“Penganyam purun di desa masih banyak, kemampuan mereka menjadi modal utama,” tuturnya.
Indu Nita [39], perajin sedotan purun, mengaku senang. Menurut dia, sedotan ini jauh lebih menguntungkan, karena pembuatannya tidak terlalu rumit. Sejauh ini, penjualan dilakukan berdasarkan permintaan.
“Kami menjual per ikat, harganya Rp5.000 hingga Rp6.000 saja,” terangnya, akhir April lalu.
Indu Nita melanjutkan, jika tidak ada permintaan mereka berhenti produksi, mengingat sedotan ini tidak tahan lama karena alami tanpa pengawet. “Sekarang ada 800-an pesanan, semoga setelah wabah corona [COVID-19] berlalu, jumlahnya semakin banyak,” ujarnya.
Baca: Geliat Trans Lahan Gambut Desa Sidodadi Pasca Karhutla
Mengapa sedotan?
Febriani menambahkan, dari segi bisnis jangka panjang, produk ramah lingkungan sangat diminati masyarakat, seiring kampanye pencegahan kerusakan lingkungan hidup.
“Salah satu kampanye yang gencar ialah pengurangan plastik. Sedotan menjadi alasan kuat kami membuat produk berbeda, memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada,” katanya.
Selama ini, masyarakat menjual dengan harga sangat murah ke pengepul, selain dianyam mejadi tikar, topi, dan keranjang. Namun, karena kalah bersaing dengan produk sejenis, usaha ini tidak banyak diminati. “Kami berupaya membantu masyarakat, terutama kelompok perempuan, dengan harapan menaikkan nilai jual purun,” lanjutnya.
Kendala saat ini adalah mindset masyarakat yang menginginkan usaha menghasilkan uang dengan cepat. Misal, mencari ikan pagi hari lalu dijual siang atau sore dan mendapatakan uang. Sementara, sedotan purun penuh ketelitian untuk menghasilkan sedotan berkualitas, layak jual.
“Penjualan selama ini dilakukan melalui BUMDes. Permintaan sebelum COVID-19 merebak cukup tinggi, baik dari Pulau Jawa maupun luar negeri seperti Norwegia dan Australia,” ungkap Febriani.
Kendala lain, lanjut Indu Nita, adalah cuaca. “Kalau harinya cerah, bagus untuk panen purun dan langsung dijemur. Jika hujan/tidak panas, meskipun di-oven, hasilnya tidak maksimal,” jelasnya.
Untuk menghasilkan sedotan siap pakai, para ibu memanen lalu memilih dan memilah purun dengan ukuran 20 cm, sebagaimana panjang sedotan. Selanjunnya, purun direbus dengan serai dan kayu manis, lalu dikeringkan dan terakhir di-oven. Mereka juga membuat tempat sedotan yang juga dianyam dari purun.
“Kami menyesuaikan kemampuan dan kemauan ibu-ibu agar semua produktif,” jelas Febriani.
Baca juga: Berikut Penjelasan BRG soal Kemajuan Restorasi Lahan Gambut di Kalteng
Penyadartahuan dampak karhutla
Febriani berharap, ketika masyarakat sadar akan nilai dan manfaat purun beserta perumpung, otomatis mereka menjaga tumbuhan ini tidak hilang. Menjaga agar tidak terbakar saat kemarau sehingga bisa memproduksi sedotan yang membuat ekonomi mereka berjalan.
Sebelum produk ini dibuat, umumnya anggota kelompok [para ibu] belum memahami arti dan isu lingkungan. “Seiring waktu, sedikit demi sedikit mereka mengerti kenapa membuat produk ramah lingkungan,” ujarnya.
Desa Tumbang Nusa, merupakan kawasan gambut cukup luas yang menjadi daerah resapan air dan terhubung dengan Taman Nasional Sebangau [TNS]. Jaraknya hanya 32 kilometer dari Palangka Raya, menuju arah Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Setiap tahun, wilayah desa ini mengalami kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Dampak yang paling dirasakan masyarakat adalah berkurangnya jumlah ikan akibat rusaknya ekosistem gambut serta banjir yang merusak tanaman warga.
“Melarang masyarakat membakar tanpa solusi adalah percuma. Tetapi, bila mereka bisa memanfaatkan potensi yang ada, otomatis mereka akan menjaga dan merawat lingkungan,” kata Febri.
Luas gambut di Pulang Pisau adalah 3.265,64 hektar atau 11,74 persen dari luas kabupaten. Berdasarkan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut [KHG] di Kalimantan Tengah, Pulang Pisau masuk KHG 14, 15, dan 16.