Mongabay.co.id

Keadilan Agraria dan Krisis Regenerasi Petani: Dua Tantangan Besar di Hari Tani

“Bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun ke sawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”

 

Begitulah yang tertuang dalam konsideran menimbang Keputusan Presiden RI tentang penetapan Hari Tani yang pertama kali di tahun 1963.

Kita layak bersyukur kepada Sang Pencipta dan berterimakasih kepada petani. Sebab, dari rahmat Sang Penguasa Alam serta peluh keringat petani itulah bulir-bulir nasi ataupun sepotong ubi masih dapat kita santap untuk kebutuhan pokok saban hari.

Tanggal 24 September pun dipilih atas dasar tanggal lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA), Hari ini pun diasosiasikan sebagai hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia.

Dengan lahirnya UU PA, maka telah diletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan Landrefrom untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan. Harapannya, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Penetapan Hari Tani Nasional yang berdasarkan pada Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas dan soko guru (tulang punggung) bangsa yang kerap dilupakan. Saban tahun ribuan petani turun ke jalan untuk memperingati Hari Tani Nasional di berbagai daerah di Indonesia. Perayaan yang kerap memilukan untuk suatu teritorial yang disebut tanah air.

Baca juga: Hari Tani Nasional: Pulihkan Hak Petani

 

Poster Hari Tani 2020. Agenda tahun ini yang diusung Serikat Petani Indonesia (SPI): Meneguhkan Reforma Agraria untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Sumber: SPI

 

Konflik Agraria

Ada dua masalah besar yang dihadapi petani saat ini. Yaitu, konflik agraria dan krisis regenerasi. Setengah abad lebih UUPA diluncurkan (dengan semangat menciptakan keadilan sosial di sektor agraris), situasi agraria nasional belum sepenuhnya lepas dari feodalisme, kolonialisme, dan kapitalisme.

Ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih kerap terjadi.  Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, monopoli kekayaan agraria terjadi hampir di semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah darat Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen oleh korporasi perkebunan, 7 persen oleh para konglomerat, sisanya baru rakyat kecil, yaitu 4 persen wilayah darat Indonesia.

Ditengah mandek dan biasnya pelaksanaan reforma agraria, perampasan dan kriminalisasi petani masih marak terjadi. Pada tahun 2019, menurut catatan KPA, telah terjadi 279 letusan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 KK yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air.

Dalam rentang waktu tersebut, KPA juga mencatat sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan; 229 petani mengalami kekerasan; dan 18 orang petani tewas di medan konflik agraria. Sedangkan reformasi agraria jalan di tempat.

Ada dua faktor yang menyebabkan mengapa ledakan-ledakan konflik agraria seringkali diikuti korban-korban kekerasan dan kriminalisasi.

Pertama, pendekatan represif yang dilakukan oleh polisi dan militer dalam penanganan konflik agraria.  Kedua, diskriminasi hukum/ pendekatan hukum positif (legal formal). Cara pandang yang kedua ini seringkali melahirkan tuduhan pemerintah kepada masyarakat korban sebagai kelompok yang anti-pembangunan dan kriminal.

Baca juga: Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19

 

Jro Artawan salah satu petani di Kintamani di tengah kebun sayurnya. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Krisis Regenerasi Petani

Ada sedikit kemajuan, data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan upah nominal harian buruh tani nasional pada April 2020 naik sebesar 0,12 persen dibanding upah buruh tani Maret 2020. Yaitu dari Rp55.254,00 menjadi Rp55.318,00 per hari, sementara itu, upah riil buruh tani cenderung tidak mengalami perubahan.

Namun, nilai tersebut masih dibawah rata-rata kebutuhan hidup layak. Dibanding  upah nominal harian buruh bangunan pun, upah nominal harian buruh tani nasional masih berada jauh dibawah.

Ihwal ini membuat sektor pertanian menjadi tidak begitu menarik bagi angkatan kerja. Ditambah lagi lahan pertanian juga kian menyusut yang hampir merata di setiap daerah.

Data Dinas Kabupaten Bekasi misalnya, lahan pertanian menyusut sekitar 1.500 hektar per tahun, pada 2014 masih ada 52.000 hektar, sementara pada tahun 2017 jumlahnya berkurang menjadi 48.000 hektar.

Lahan-lahan pertanian tersebut umumnya beralih menjadi kawasan perumahan ataupun industri. Tatkala menggarap sawah menjadi begitu melelahkan dengan hasil yang tak mencukupi, banyak petani yang menyerahkan lahan mereka pada pengembang.

Baca juga: Nasib Petani Belum Menjadi Prioritas di Negara Agraris

Data Kementerian Pertanian mencatat, setiap tahun jumlah rumah tangga petani yang hilang sekitar 2 persen karena mereka beralih menekuni usaha lain di luar sektor pertanian.

Dalam sensus pertanian terakhir tahun 2013 (sensus mendatang akan dilaksanakan pada 2023), pada tahun 2013 terdapat sebanyak 26,13 juta keluarga petani di Indonesia, turun 5,04 juta keluarga (16 persen) dari tahun 2003 atau 10 tahun sebelumnya. Pengurangan ini terjadi karena banyak petani yang beralih ke pekerja industri atau profesi lainnya.

Perubahan iklim pun membuat musim hujan dan musim kemarau berganti tak menentu pada dekade terakhir ini membawa dampak besar pada sektor pertanian.

Menurut Profesor Bagong Suyanto, kondisi-kondisi tersebut akan membuat kita menghadapi pada kondisi yang tidak mendukung adanya tanda-tanda terjadi proses regenerasi petani di Indonesia.

Lalu kemana para sarjana pertanian? Mengapa tidak berkontribusi untuk membuat pertanian Indonesia menjadi lebih modren.

Presiden Jokowi sempat menyentil para sarjana pertanian lulusan IPB yang lebih gemar berkarir di bank alih-alih bidang pertanian. Perihal itu disampaikan Jokowi dalam pidatonya beberapa waktu yang lalu pada Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54.

“Maaf Pak Rektor. Tapi mahasiswa [lulusan] IPB banyak yang kerja di Bank,” kata Jokowi disambut tawa sejumlah mahasiswa.

Presiden Jokowi berkata seperti itu sebab sebelumnya ia sempat mengecek sendiri di jajaran direksi perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan menemukan banyak sarjana pertanian IPB.

Profesor Dwi Andreas Santosa dari IPB juga mengakui ihwal tersebut.

“Ya, memang kenyataannya seperti itu. Dulu saja waktu di [angkatan] kami, 50 persen lebih kerja di perbankan,” ujar Dwi kepada wartawan.

Namun meskipun bekerja di perbankan diakui relatif lebih menjanjikan, menurut Dwi tidak menariknya sektor pertanian bagi sarjana lulusan baru, utamanya disebabkan karena kebijakan pemerintah itu sendiri.

Tantangan petani di Hari Tani ini akan terus berlangsung. Selain persoalan lahan dan keadilan agraria, maka masalah kebijakan harga (pricing policy) di tingkat produsen on farm menjadi kendala. Tentu hal ini membuat petani muda memiliih untuk bekerja di sektor lain yang lebih menguntungkan seperti industri dan jasa.

Ditambah keterbatasan lahan dan konflik agraria yang marak membuat disinsentif, tidak merangsang daya tarik sektor pertanian di Indonesia.

 

Referensi:

[1] Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani.

[2] Badan Pusat Statistik RI, Sensus Pertanian 2013 (ST2013).

[3] Alek Karci Kurniawan, Krisis Regenerasi Petani, Koran Jakarta, 27 September 2017.

[4] Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-konflik Agraria, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), dipublikasikan oleh ELSAM, 25 September 2019.

[5] Jumlah Petani Terus Turun Setiap Tahun, Republika.co.id, 23 Augustus 2017.

[6] Dari Aceh Sampai Papua – Urgensi Penyelesaian Konflik Agraria Struktural dan Jalan Pembaruan Agraria ke Depan, Catatan Akhir Tahun 2019 Konsorsium Pembaruan Agraria, dipublikasikan di laman website kpa.or.id.

[7] Guru Besar Jelaskan Alasan Lulusan IPB Banyak Kerja di Bank, Kompas.com, 7 September 2017.

 

* Tri Wahyuni, penulis adalah Peneliti di Institute for Population and National Security. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Petani dengan kerbau sedang membajak sawah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version