Mongabay.co.id

Rencana Pembangunan Jalan Tol di Labuan Bajo Jangan Mengabaikan Masyarakat dan Lingkungan

 

Saat ini ramai dibicarakan rencana pembangunan jalan tol di Labuan  Bajo Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Rencana itu berawal ketika Menteri Koordinator Bidang Kamaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono berkunjung di Labuan Bajo pada 10 – 11 September 2020.

Adanya Asean Summit dan KTT G-20 pada tahun 2023 ikut memantik keinginan ini. Hal ini mengingat jarak antara Bandara Komodo di Labuan Bajo menuju lokasi pertemuan di Tanah Mori berjarak ± 30 Km.

Kepala Biro Humas dan Protokoler Setda Provinsi NTT Marius Ardu Djelamu kepada Mongabay Indonesia, Senin (21/9/2020) membenarkan adanya rencana pembangunan jalan tol ini.

Menurut Marius, apabila nantinya dinamika sosial dan ekonomi di Kota Labuan Bajo meningkat, maka tidak menutup kemungkinan akan dibangun jalan tol. Tapi dilakukan kajian terlebih dahulu apakah jalan tol ini perlu sesuai dengan kemajuan.

“Contohnya Bali, sebelumnya tidak pernah terencana ada jalan tol tetapi sekarang sedang dikaji pembangunan jalan tol dari utara ke selatan. Kalau nanti Labuan Bajo semakin berkembang dan semakin maju maka tidak menutup kemungkinana akan dibangun jalan tol di Labuan Bajo,” ungkapnya.

baca : Begini Tren Pariwisata di Labuan Bajo Pasca Pandemi

 

Areal pelabuhan peti kemas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Marius mengatakan, untuk sementara karena dinamika sosial ekonomi lebih banyak di Labuan Bajo mengingat status yang disandang Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium.

Mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTT ini mengatakan bila pariwisata berkembang seperti Bali maka tidak menutup kemungkinan dibangun jalan tol sesuai kebutuhan.

“Saat ini sedang dilakukan pengkajian dan kalau tahun 2020 ini belum maka tidak menutup kemungkinan 5 atau 10 tahun ke depan akan dibangun. Apalagi Labuan Bajo kan berkembang terus. Untuk sementara hanya di Labuan Bajo saja karena dinamika sosial ekonomi lebih banyak di sana,” ungkapnya.

Marius menyebutkan Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Barat akan mendukung penuh jika di Labuan Bajo dibangun jalan tol. Hal ini kata dia mengingat akan adanya dua pertemuan internasional yakni Asen Summit dan KTT G20 tahun 2023 nanti.

Dirinya mengaku ini sebuah kesempatan baik bagi Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi NTT. Sehingga apabila telah disetujui pemerintah pusat sebutnya, maka pemerintah daerah tentu akan menyiapkan pembebasan lahan.

“Kalau keputusan sudah diambil oleh pemerintah pusat maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk melakukan pembebasan lahan. Ini kesempatan baik bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi NTT,” ucapnya.

baca juga : Wawancara Marta Muslin: Turisme Labuan Bajo Harus Buat Warga Lokal Sejahtera

 

Sebuah bangunan hotel berbintang yang dibangun di pesisir pantai Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kesepakatan Yang Adil

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga yang meliputi kabupaten di Pulau Flores dan Lembata, Philipus Kami menyebutkan, pihaknya mendorong pemerintah pusat untuk membangun komunikasi dengan seluruh pihak terlebih para pihak yang terkena dampak dari pembangunan jalan tol dimaksud.

Mereka berharap rencana jalan tol dianalisa secara baik agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan juga pemiskinan baru dari sebuah sistem.

“Hal yang tidak kalah pentingnya adalah komunikasi dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat,” pinta Lipus saat ditanyai Mongabay Indonesia, Selasa (22/9/2020).

Lipus mengharapkan dibangun kesepakatan yang adil dari para pihak, terlebih pihak pemerintah pusat sampai daerah dengan pihak masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat .

AMAN juga berpesan agar dihindari keputusan sepihak oleh pemerintah yang berdampak pada konflik dengan pemegang hak ulayat. Belajar dari berbagai masalah, justru masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat yang terus mendapat diskriminasi dari  pemerintah dengan alat-alat negara lainnya.

“Kita berharap di pembangunan jalan tol Labuan Bajo tidak lagi terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Hal yang penting yang selalu diabaikan oleh perencanaan pemerintah adalah membangun kesepakatan yang adil,” sarannya.

Hal ini penting menurut AMAN sehingga ketika tanah diserahkan untuk pembangunan, masyarakat adat tidak jatuh miskin dan generasi berikutnya lebih melarat lagi.

perlu dibaca : Protes Kelola Wisata TN Komodo, Mereka Kirim Surat ke Badan Kebudayaan dan Lingkungan PBB

 

Pemandangan gugusan pulau di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Kusnanto/WWF Indonesia

 

Lipus juga menekankan adanya sosialisasi secara berkala kepada masyarakat agar masyarakat mengerti dan kemudian ikut berpartisipasi dalam berbagai diskusi perencanaan maupun pelaksanaannya.

Selain itu, ia sarankan kearifan-kearifan lokal yang mendukung kehidupan ekologi kepulauan Labuan Bajo maupun Flores pada umumnya adalah juga hal yang penting didiskusikan,

“Bukan hanya infrastruktur yang di bangun tapi lingkungan serta seluruh isinya juga mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Hindarilah penggusuran yang  belum mendapatkan kepastian keputusan dari para pemegang hak ulayat,” tegasnya.

 

Hindari Perampasan

Hampir senada, WALHI NTT juga menekankan perlunya konsultasi public bila pemerintah pusat menyetujui pembangunan jalan tol di Labuan Bajo.

WALHI NTT tidak menolak rencana pembangunan jalan  tol ini tetapi bakal menolak apabila dalam proses pembangunan jalan tol ini terjadi perampasan ruang hidup masyarakat, baik kawasan pemukiman atau lahan pertanian dan peternakan.

“Perencanaan ini harus dengan kajian yang benar-benar tepat sehingga tidak merugikan masyarakat terutama masyarakat terdampak,” kata Dominikus Karangora, Divisi Media dan Komunikasi WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Rabu (23/9/2020).

baca juga : Menyoal Kebijakan Kontroversi di Taman Nasional Komodo

 

Kapal-kapal pesiar yang melego jangkar di perairan Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT yang berpotensi merusak terumbu karang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dominikus menggarisbawahi perlu dilakukan konsultasi publik dengan jujur, mengingat bahwa konsultasi publik yang selama ini dilakukan hanya formalitas sebagai sebuah syarat. Pada saat konsultasi publik sebutnya, masyarakat terdampak harus dilibatkan sehingga mereka bisa menyampaikan aspirasinya.

Jika masyarakat menolak untuk mengorbankan lahannya dia sarankan agar pemerintah perlu menghargai itu dengan langkah mencari alternatif lain. Jika masyarakat rela, maka perlu ganti rugi yang sesuai sehingga masyarakat dapat membeli lahan baru untuk kebutuhannya.

“Selama ini masyarakat selalu ditakuti dengan alasan pembangunan nasional sehingga masyarakat banyak yang terpaksa menyerahkan lahannya. Kita perlu belajar dari beberapa kasus besar di Indonesia yang dengan alasan pembangunan nasional akhirnya merampas ruang hidup masyarakat,” ucapnya.

Dominikus menyoroti, dalam urusan pembebasan lahan, bagaimana proses ganti rugi yang tidak dilakukan hingga tuntas. Biasanya ganti rugi hanya dilakukan kepada satu atau dua pemilik lahan, beberapa pemilik lahan lainnya hanya dibayar setengah dan sisanya tidak dibayar.

“Kami meminta agar jangan lagi ada saling tolak menolak tanggungjawab  untuk urusan pembebasan lahan,” tuturnya.

Dominikus mengatakan kepentingan pembangunan jalan tol ini bukan murni dari aspirasi masyarakat tapi kepentingan pariwisata super premium.

 

Exit mobile version