- Kalangan organisasi masyarakat sipil di Labuhan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 10 September 2020, mengirimkan surat resmi kepada badan dan program khusus PBB, UNESCO dan UNEP, mengenai kekhawatiran pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo, bakal mengancam komodo dan habitatnya.
- Akan ada pembangunan sarana dan prasarana berkonsep geopark di Loh Liang, Pulau Rinca dengan anggaran Rp67 miliar pada 2020. Ia terdiri dari gedung-gedung dan konstruksi beton. Bangunan ini dinilai tak selaras prinsip konservasi. Juga ada pengeboran sumur dalam yang berpotensi merebut sumber air satwa dan merusak vegetasi bentang alam asli di Pulau Rinca.
- Dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana, kalangan organisasi masyarakat sipil di Flores menilai, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pembangunan yang mengancam keutuhan ekosistem Taman Nasional Komodo.
- Organisasi masyarakat sipil di Flores mendesak UNESCO dan UNEP mengambil langkah-langkah, dengan melalukan kunjungan monitoring lapangan ke Taman Nasional Komodo, mengevaluasi program-program pembangunan dan investasi, serta berbicara dengan warga dan masyarakat sipil setempat. Mereka juga meninta, badan dan program PBB ini dialog konstuktif dengan Pemerintah Indonesia dan mengingatkan status Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi serta mencegah kebijakan serampangan yang membahayakan konservasi dan merugikan komunitas lokal.
Pemerintah berencana mengembangkan pariwisata di Taman Nasional Komodo, sebagai kawasan tujuan wisata alam eksklusif. Akan ada pengaturan dan pembangunan sarana dan prasarana pendukung. Kalangan organisasi masyarakat sipil di Labuhan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 10 September 2020, mengirimkan surat resmi kepada badan dan program khusus PBB mengenai kekhawatiran pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo, bakal mengancam komodo dan habitatnya.
Surat mereka layangkan lewat Badan Pendidikan dan Kebudayaaan atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Program Lingkungan Hidup (UN Environment Programme/UNEP). Harapannya, lembaga PBB ini bisa segera bertindak sesuai wewenang mereka dalam menyelamatkan komodo, satwa endemik di Flores ini.
Surat-surat itu ditandatangani perwakilan organisasi masyarakat sipil, yaitu, Aloysius Suhartim Karya mewakili Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Mabar, Gregorius Afioma dari Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo, Juga Akbar Alyubi dari Garda Pemuda Komodo-Kampung Komodo-Pulau Komodo.
Baca juga: Menyoal Kebijakan Kontroversi di Taman Nasional Komodo
Venan Haryanto, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo-Flores Barat, sebuah lembaga advokasi berbasis penelitian mengatakan, UNESCO menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site atau situs warisan dunia dan Man and Biosphere Reserve pada tahun 1991.
“Tujuan penetapan ini, katanya, tentulah untuk melindungi satwa langka komodo dan lingkungan hidup mereka,” katanya, dalam rilis kepada media, pekan lalu.
UNESCO mendeklarasikan, Taman Nasional Komodo memiliki “nilai universal luar biasa,” Dikatakan pula, komodo tidak ada di tempat lain di dunia, dan merupakan “daya tarik besar bagi ilmuwan yang mempelajari teori evolusi,” UNESCO juga meneguhkan keutuhan (ekosistem komodo dan wilayah sekitar.
Baca juga: KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?
Kini, pemerintah tengah membangun sarana dan prasarana guna menunjang industri pariwisata eksklusif di Pulau Komodo.
“Demi mengembangkan industri pariwisata, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pembangunan yang mengancam keutuhan ekosistem Taman Nasional Komodo. Ini berpotensi membuat komodo punah,” katanya.
Beberapa proyek kontroversial di Kepulauan Flores itu, antara lain, pertama, pembangunan sarana dan prasarana berkonsep geopark di Loh Liang, Pulau Rinca dengan anggaran Rp67 miliar pada 2020. Ia terdiri dari gedung-gedung dan konstruksi beton.
Dia bilang, bangunan ini tak selaras prinsip konservasi. Juga ada pengeboran sumur dalam yang berpotensi merebut sumber air satwa dan merusak vegetasi bentang alam asli di Pulau Rinca.
Baca juga : Demi Konservasi dan Wisata, Jokowi Minta Taman Nasional Komodo Ditata, Akankah Terlaksana?
Mereka menilai, kata Venan, konsep geopark buatan manusia juga mengganggu citra sebagai wisata alami.
Kedua, pemerintah memberikan izin kepada tiga perusahaan swasta untuk membangun resort dan sarana bisnis pariwisata lain di lahan seluas 470.7 hektar di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Tatawa.
Kawasan-kawasan itu, katanya, merupakan zona rimba (kawasan konservasi) yang berubah status jadi zona pemanfaatan.
“Masyarakat sipil menimbang, pembukaan bisnis di ruang hidup komodo dan satwa lain mencederai prinsip konservasi dan merusak keutuhan ekosistem Taman Nasional Komodo.”
Ketiga, sebagai bagian dari pembangunan kota baru di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Golo Mori di sebelah Timur Taman Nasional Komodo, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup sedang memproses alih fungsi dua pulau — yaitu Pulau Muang and Bero—keluar dari status sebagai Taman Nasional Komodo. “Ini merusak keutuhan ekosistem Taman Nasional Komodo.”
Ada rencana relokasi warga Desa Komodo di Pulau Komodo sekitar 2.000 jiwa, atau 500 keluarga sebagai bagian dari program Pulau Komodo sebagai kawasan wisata safari super-ekslusif.
Mereka juga akan dilarang untuk usaha ekonomi kuliner dan souvenir di Loh Buaya, Pulau Komodo. Padahal, katanya, warga ini sudah hidup di kawasan itu sejak dahulu kala sebelum pembentukan taman nasional. Warga, katanya, memiliki hubungan khusus dengan komodo, dan turut serta menjaga kelestarian kawasan.
“Peminggiran warga setempat dan yang disertai dengan pemberian izin kepada para pengusaha untuk membuka bisnis di dalam kawasan, memicu kekecewaan dan konflik sosial. Gilirannya, merugikan kestabilan sosial dan ekologis di kawasan itu.”
Mereka mendesak UNESCO dan UNEP mengambil langkah-langkah, dengan melalukan kunjungan monitoring lapangan ke Taman Nasional Komodo, mengevaluasi program-program pembangunan dan investasi, serta berbicara dengan warga dan masyarakat sipil setempat.
Mereka juga meninta, badan dan program PBB ini dialog konstuktif dengan Pemerintah Indonesia dan mengingatkan status Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi serta mencegah kebijakan serampangan yang membahayakan konservasi dan merugikan komunitas lokal.
Ketiga, kalau UNESCO tak berbuat apa-apa, bahkan mendukung program-program yang membahayakan konservasi ini, masyarakat sipil meminta UNESCO mencabut status world heritage site dan man and biosphere reverse. Kemudian, mengembalikan kepada warga setempat.
“Kami warga di dalam dan sekeliling kawasan akan mengambil alih tugas menjaga Taman Nasional Komodo dan konservasi dengan cara-cara kami sendiri. Kami mencegah perusakan ekosistem komodo oleh pemerintah yang seharusnya menjaganya.”
Surat mereka kirimkan kepada Audrey Azoulay, Direktur General UNESCO di Markas Besar di Paris dan Shahbaz Khan, Direktur Regional Office UNESCO di Jakarta. Surat untuk UNEP mereka kirimkan kepada Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP dan Dechen Tsering, Direktur Asia Pasifik UNEP.
***
Tahun lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan, rencana jadikan Pulau Komodo seperti Jurassic Park. Ada berbagai sarana dan prasarana di sana.
Dalam berita Mongabay, Luhut memimpin rapat koordinasi antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat di Jakarta, Senin (30/9/19).
Dalam rapat itu, diputuskan pengelolaan Pulau Komodo bersama antara pemerintah pusat, Pemerintah NTT, Pemerintah Manggarai Barat dan pemangku kepentingan lain.
“Jadi Pulau Komodo ini tidak ditutup, kita lakukan penataan bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak terkait, dibuat aturan adanya pembatasan jumlah wisatawan ke Pulau Komodo dengan diadakanannya tiket kapasitas kunjungan/ wisatawan,” kata Luhut dikutip dari website Kemenko Kemaritiman.
Dalam rilis KLHK menyatakan, rapat terbatas itu juga menyepakati tidak ada relokasi penduduk, tetapi akan kerjasama konkuren penataan wisata alam.
Masih dari berita di Mongabay, menyebutkan, hasil riset Tim Terpadu yang dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna mengkaji pengelolaan TN Komodo sebagai Kawasan Tujuan Wisata Alam Eksklusif menyebutkan, penutupan Pulau Komodo akan menimbulkan kerugian bagi para pelaku usaha wisata seperti pemilik hotel, restoran, tur operator, sarana transportasi, pemandu wisata, souvenir shop.
Dalam rilis KLHK, disebutkan penutupan TN Komodo khusus di Pulau Komodo akan menghentikan pendapatan sekitar 144 pedagang cenderamata, 51 pemandu wisata, 65 pengrajin patung, 13 kelompok pemilik homestay, 19 usaha transportasi laut, serta 42 kelompok kuliner.
Dari kunjungan ke Desa Komodo di Pulau Komodo, Tim Terpadu KLHK melihat pembangunan TN Komodo sebagai kawasan tujuan wisata alam eksklusif harus dikelola berbasis ekosistem menyatu dengan masyarakat Desa Komodo, Juga terintegrasi dengan lanskap yang lebih luas serta pengembangan destinasi wisata Labuan Bajo.
Saat itu, Tim Terpadu KLHK menilai, Pulau Komodo tidak perlu ditutup karena tidak ada alasan sebagai dasar penutupan baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Pendekatan MAB dan World Heritage, serta pendekatan baru IUCN dalam pengelolaan kawasan konservasi menghormati hak-hak masyarakat lokal, menjadi alasan tidak perlu relokasi penduduk dari Pulau Komodo.
Kalau masyarakat Desa Komodo direlokasi akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional karena negara tidak memberikan perlindungan atas hak asasi manusia kepada warga.
Keterangan foto utama: Komodo, satwa kebanggaan Indonesia yang hidup di Nusa Tenggara Timur. Foto: Jeremy Hence