Mongabay.co.id

Hutan Desa Tangkahen, Tawarkan Ekowisata hingga Sejarah Kalimantan Tengah

 

 

Hutan Desa Tangkahen, sebagaimana namanya berada di Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari Palangkaraya, Ibu Kota Kalimantan Tengah, jarak desa ini sekitar dua jam perjalanan darat, dilanjutkan menyeberangi Sungai Kahayan sekitar 15 menit. Sejumlah budaya bersejarah dan rumah kayu tua masih terlihat di sini.

Tangkahen resmi mendapatkan izin pengelolaan hutan desa seluas 162 hektar berdasarkan surat keputusan P.83/MEN-LHK/SETJENKUM.1/10/2016, tanggal 20 Desember 2016. Awalnya, hutan yang diajukan seluas 1.500 hektar yang dalam proses verifikasi berkurang menjadi 1.300 hektar, 750 hektar, lalu 357 hektar, dan akhirnya seperti yang disahkan.

Pihak Lembaga Pengelola Hutan Desa [LPHD] Tangkahen pun merintis kegiatan ekowisata di hutan desa ini, sejak 2017.

Baca: Perhutanan Sosial, Akankah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?

 

Jamur kayu yang tumbuh di Hutan Desa Tangkahen. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Masimpei, Ketua LPHD Tangkahen yang juga mantir adat Kaharingan menceritakan, Hutan Desa Tangkahen awalnya dirancang untuk menghasilkan kerajinan anyaman dan perlengkapan rumah tangga, sebagai penghasilan warga.

“Namun, berdasarkan pendampingan dan pelatihan yang diberikan pemerintah maupun LSM lingkungan, ekowisata merupakan pilihan terbaik,” ujarnya di Tangkahen, pertengahan September 2020.

Tangkahen mempunyai banyak potensi, ada tanaman obat seperti pasak bumi, bajakah, jamur tanah dan jamut kayu, hingga madu kalulut. Untuk satwa terdapat jenis rangkong, orangutan, juga macan dahan. Terdapat pula sumber air akar berwarna yang mereka sebut air akar, menyerupai warna teh.

Saat ini, di Hutan Desa Tangkahen telah dibangun dua penginapan [guest house], satu betang, satu rumah pohon, dan pos jaga yang dilengkapi listrik dan air bersih.

“Untuk menambah daya tarik wisatawan, kami berinovasi menggabungkan wisata alam dengan wisata sejarah dan budaya,” paparnya.

Baca: Meski Berstatus Hutan Produksi, Masyarakat Hutan Desa Ini Sepakat Larang Penebangan Pohon

 

Tanaman pasak bumi [Eurycoma longifolia] yang tumbuh di Hutan Desa Tangkahen. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Potensi sejarah

Pengembangan ekowisata yang dikombinasikan potensi sejarah dan budaya Dayak Ngaju [Dayak Kahayan] di pinggir Sungai Kahayan, menjadi nilai tambah.

Wisata sejarah di Tangkahen, salah satunya berupa tugu peringatan Mandau Talawang atau Gerakan Mandau Talawang Pancasila Sakti [GMPTS], sebagai tonggak pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Rumah lawas khas Dayak dari kayu, yang merupakan pos tentara GMPTS dan sandung/makam pejuang GMPTS masih tegak berdiri.

Warga Desa Tangkahen percaya, jika desa mereka adalah tempat turunnya agama Kaharingan, kepercayaan leluhur Suku Dayak yang dalam cerita rakyat Bawi Ayah.

Baca: Kalimantan Tengah Banjir, Indikasi Rusaknya Hutan di Kawasan Hulu?

 

Masimpei, Ketua LPHD Tangkahen menunjukan pohon bajakah. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Satu bukti yang disebut kebenaran cerita itu adalah adanya varietas pinang yang mereka sebut pinang tawar. Pinang ini berukuran lebih besar dari pinang biasa dan berwarna merah. Pinang tawar diyakini sebagai tanaman dari langit [kehidupan atas-alam dewa] yang dibawa oleh tokoh bernama Bawi Ayah.

Tanaman lain yang juga dipercaya sebagai tanaman langit adalah pohon barania kayu, atau gandaria. “Baik pinang maupun barania tidak pernah mau tumbuh walaupun sudah kami tanam, selalu mati,” kata Dariun, pengurus dan mantir adat Kaharigan.

Dia berharap, suatu saat akan ada bibit atau biji kedua tanaman tersebut yang bisa dibudidayakan. Dariun juga yakin, tanaman ini pasti akan terus ada karena tumbuhan bara hunjung [dari atas-langit, dalam kepercayaan Kaharingan].

Baca juga: Kucing Merah Itu Terekam Kamera di Hutan Kalimantan Tengah

 

Sarang kelulut penghasil madu kelulut di Hutan Desa Tangkahen. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Tolak sawit

Sebagai desa terakhir di perbatasan Kabupaten Pulang Pisau dengan Kabupaten Gunung Mas, Tangkahen tidak mau disentuh perkebunan sawit. Warga desa menolak, mereka menilai kehadiran sawit tidak akan memberikan kesejahteraan berkelanjutan. Justru, menghilangkan ciri khas Dayak yang bergantung pada hutan.

“Kami kompak menolak sawit. Kami lihat sendiri, kondisi masyarakat di Mentaya [Kotawaringin Timur] sebelum dan sesudah sawit datang,” lanjut Dariun.

Dia bercerita, tanah maupun kebun karet atau kebun rotan di sana dijual kepada perusahaan. Hanya rumah yang tersisa, bahkan sungai juga mengalami perubahan, yang tentunya mematikan mata pencaharian masyarakat.

“Mereka sangat susah, banyak yang membiarkan rumahnya rusak karena tidak sanggup memperbaiki,” terangnya kepada Mongabay Indonesia saat trial trip LPHD Tangkahen sebagai ekowisata.

Bagi Dariun, kondisi tersebut sangat membekas di hati. Dia tidak mampu membayangkan jika terjadi pada anak cucunya kelak.

Meskipun Tangkahen berdampingan dengan HTI dan perkebunan sawit, namun mereka akan selalu melestarikan hutannya. “Sejak ada larangan membakar lahan untuk membuka lahan [ladang], masyarakat tidak lagi melakukannya. Mereka kini menanam padi dengan metode sawah, disamping berkebun karet, dan memanfaatkan hasil hutan,” ujarnya.

 

Rumah pohon yang dibuat di Hutan Desa Tangkahen. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Masimpei menambahkan, sebelumnya, di Tangkahen ada izin perkebunan sawit yang dikeluarkan bupati. Seluruh warga menolak keras dan protes yang akhirnya perizinan dicabut. “Kami tidak mau, tidak ada keuntungan yang kami dapat. Justru kami rugi, mereka ambil pohon dan kayu kami,” ucapnya.

Hadirnya skema Perhutanan Sosial dalam wujud Hutan Desa merupakan angin segar bagi masyarakat Tangkahen. Hutan desa mengamankan hak mereka yang hampir berganti menjadi tanaman monokultur, sawit.

Sri Anita, anggota LPHD bagian kuliner yang juga guru Paud Desa Tangkahen, mengatakan, hutan ini merupakan warisan untuk anak cucu dan generasi selanjutnya. “Kami tidak kaya dan tidak pula punya harta, hutan ini yang bisa kami berikan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version