Mongabay.co.id

Food Estate Melaju di Tengah Banjir Kritik

Presiden Joko Widodo dan rombongan kala meninjau lokaso food estate di Kalimantan Tengah. Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden

 

 

 

 

 

Pengembangan lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah, terus melaju bahkan bakal terus meluas ke berbagai provinsi di tengah tuai kritikan dari berbagai kalangan.

Pada 23 September lalu, Presiden Joko Widodo, rapat terbatas mengenai pengembangan food estate ini. Dia kembali menekankan, pengembangan food estate ini guna mengantisipasi krisis pangan dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) seperti peringatan dari organisasi pangan dunia (FAO).

“Penyediaan pangan nasional agenda strategis yang harus kita lakukan, untuk antisipasi krisis pangan akibat COVID…Hal ini juga untuk antisipasi perubahan iklim serta tak kalah penting kurangi ketergantungan pada impor pangan. Ini penting,” kata Jokowi saat ratas seperti dalam video unggahan akun Sekretariat Presiden 23 September lalu.

Baca juga: Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu

Presiden bilang, sementara ini pengembangan food estate di dua provinsi, Kalimantan Tengah (Kabupaten Pulau Pisang dan Kapuas) dan Sumatera Utara (Kabupaten Humbang Hasundutan).

“Ini yang ingin kita prioritaskan lebih dulu.”

Meskipun begitu, katanya, ada rencana lanjutan food estate setelah Kalteng dan Sumut, yakni Papua, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Selatan. “Tetapi ini akan kita diskusikan setelah yang dua ini betul-betul sudah bisa berjalan.”

Dia bilang, sudah ada sejumlah perkembangan lapangan meskipun ada beberapa masalah perlu diselesaikan, seperti kepemilikan lahan di area food estate. “Ini menimbulkan sedikit masalah tetapi saya yakin, dan saya minta ATR/BPN segera tuntaskan. Karena ini sangkut area luas,” katanya.

Jokowi juga menyebutkan soal perumusan rencana induk pelaksanaan food estate, dan perumusan masterplan. “Ini penting, hingga keseluruan dari berbagai aspek dan bisa dilihat dan segera diselesaikan.”

Baca juga: Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini?

Rencana induk food estate ini, katanya, baik untuk daerah irigasi di Kalteng, seluas 148.000 hektar untuk tanam padi. Juga lahan di luar non irigasi seluas 622.000 hektar yang akan jadi pengembangan singkong, jagung dan lain-lain termasuk peternakan.

Poin lain, presiden juga sebutkan soal infrastruktur pendukung food estate seperti akses jalan juga segera berjalan di lapangan. “Hingga nanti kita harapkan, berbagai alat mesin pertanian modern yang besar-besar ini tak alami kesulitan kala masuk lapangan.”

Presiden juga menekankan, proyek food estate ini betul-betul ada perhitungan matang. “Mengenai siapa yang akan mengelola, kejelasan, tanaman apa yang akan dikembangkan. Betul-betul lewat data lapangan, keilmuan. Jadi, tanaman betul-betul sesuai dan teknologi apa yang akan digunakan.”

Baca juga: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Dia juga menyinggung, soal pembiayaan dan model bisnis dalam food estate ini. “Kalau sudah bener model bisnisnya akan digunakan untuk provinsi lain. Ini harus bener dulu,” kata Jokowi.

Apa kata Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan, yang ditunjuk Jokowi urusi food estate singkong?

“Saya diminta ikut mem-back up kementerian lain terutama yang berkaitan dengan pertanian, tentu paling utama Menteri Pertanian. Sesudah itu, ada semacam pembagian tugas, Kementerian Pertahanan akan memegang peranan di pembangunan cadangan pangan singkong,” kata Prabowo usai rapat terbatas rapat terbatas lanjutan pembahasan food estate dengan presiden secara virtual, seperti dikutip dari laman Youtube Sekretariat Kabinet.

Untuk komoditas lain, katanya, akan ditangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Lahan singkong Prabowo targetkan pada 2021 seluas 30.000 hektar, kemudian akan meningkat sampai 1,4 juta hektar pada 2025. Produksi singkong itu, katanya, dapat diolah jadi tepung tapioka dan tepung mokaf sebagai bahan baku roti, nasi sampai mie.

 

Siti Nurbaya, Menteri LHK, kla rapat kerja dengan Komisi IV DPR membahas anggaran. Dalam kesempatan ini juga sempat menyinggung food estate di Sumut. Foto: Humas KLHK

 

Food estate Sumut

Pada hari sama ada rapat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Komisi IV membahas anggaran. Dalam rapat itu juga sempat membicarakan food estate.

Sudin, Ketua Komisi IV DPR, meminta penjelasan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya terkait rencana pengembangan food estate di Humbang Hasundutan.

Siti bilang, dari 30.000 hektar lahan usulan bupati ditelaah bersama Gubernur Sumut dan KLHK. Dia bilang, usulan itu mempelajari berbagai dimensi, terutama tetap menjaga hutan lindung dan daerah tampung air area Danau Toba.

Dia bilang, dari bahasan Kementerian Koordinator bahwa food estate di Sumut tak hanya di Humbang Hasundutan, juga kabupaten lain, seperti Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat, dengan luasan total 61.000 hektar.

Pengembangan lumbung pangan di Sumut, katanya, bukan untuk satu jenis tanaman pangan, tetapi beragam jenis komoditas dataran tinggi. “Daerah-daerah pada lokasi itu sangat bagus dan memungkinkan untuk jadikan sebagai lumbung pangan,” kata Siti dalam rilis kepada media.

Dengan memperhatikan lansekap, katanya, pengembangan food estate jadi lebih ideal dalam kesatuan kawasan di beberapa kabupaten itu

Dia menekankan, dalam pengembangan food estate ini tidak boleh ada penurunan kualitas lingkungan, dan dengan pola agroforestri.

 

Mengapa Kemenhan?

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, penunjukan Pabowo tangani food estate singkong, bersifat politis. “Motivasi sebenarnya mungkin hanya Pak Jokowi yang mengetahui,” katanya, pekan lalu.

Sejak awal, kata Yaya, konsep food estate ini sudah tidak jelas. Dia bilang, tak pernah ada pemaparan komprehensif dari pemerintah tentang rencana ini. “Peralihan kepada komoditas singkong pun tidak jelas latar belakangnya.”

Kalau argumen awal food estate karena ancaman krisis pangan dampak pandemi. Dengan jadi food estate singkong ini, katanya, tak menjawab urgensi itu.

Belum lagi, katanya, horison waktu yang tak sesuai antara keperluan urgen memenuhi keamanan pangan pandemi, dengan proses pembangunan food estate sampai selesai bersifat jangka menengah.

Pemaparan yang pernah dia dengar dari KLHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, katanya, sebatas teknis. Penjelasan baru seputar jenis lahan, infrastruktur, dan sejenisnya. “Konsepnya sendiri seperti apa, tidak pernah ada kejelasan.”

Muliadi, Direktur Yayasan Petak Danum bilang, menunjuk Kementerian Pertahanan menjadi leading sector proyek food estate di luar dugaan. Proyek ketahanan pangan, kata Muliadi, seharusnya oleh kementerian atau badan relevan seperti Kementerian Pertanian, Bulog dan Badan Ketahanan Pangan serta lembaga atau badan terkait lain.

“Fakta di lapangan, keterlibatan dan peran masyarakat saat ini masih terbatas pada tahap sosialisasi. Lagi pula protokol kesehatan pandemi menjadi hambatan bagi masyarakat mengikuti sosialisasi secara luas. Pesertanya terbatas. Masyarakat petani masih belum paham proses program food estate apakah mereka dapat terlibat atau tidak.”

Nikodemus Ale, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat memperkirakan, alasan penunjukkan ini bisa jadi karena ketahanan pangan itu soal hidup dan mati hingga berisiko terhadap kehidupan termasuk keamanan negara.

Namun, dia khawatir kalau Kemenhan tangani food estate ada tekanan-tekanan baru di tingkat masyarakat ketika mereka tak inginkan lahan mereka pengembangan lumbung pangan. “Ketika ada persoalan seperti itu pastinya akan berhadapan dengan aparat.”

Safrudin Mahendra, Direktur Perkumpulan Save Our Borneo mengatakan, berkaca dari pengalaman program strategis lumbung pangan sebelumnya, aparat keamanan, termasuk tentara turut serta mengamankan korporasi yang mendapatkan proyek untuk mengambil kayu.

“Kalau kondisi saat ini, kami juga masih bingung. Mengapa tunjuk Menteri Pertahanan?” katanya, belum lama ini.

Niko dan Safrudin sama-sama khawatir, penunjukan ini karena akan ada pembukaan kawasan-kawasan baru. “Apakah akan ada buka kawasan baru yang perlu keamanan ekstra buat perlancar itu. Karena kawasan PLG ada yang masih cukup bagus tutupan hutan. Kami khawatir itu jadi sasaran food estate.”

Niko juga khawatir, pembukaan lahan baru ini menimbulkan konflik baru dan ancaman lingkungan.

 


Tak mendesak

Walhi Kalteng juga menilai, belum ada keterdesakan pembangunan food estate di Kalteng. Narasi yang dibangun pemerintah hanya mengenai ketahanan pangan berbasis proyek tanpa memerhatikan kondisi para peladang yang ada.

“Coba saja data dulu lahan-lahan sawah dan petani di Kalteng atau bahkan di Indonesia, kalau data semua sudah ada dan rapi, kita akan tahu kalau kita tidak butuh percetakan sawah baru,” kata Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng dihubungi Mongabay, baru-baru ini.

Di Kalteng, kata Dimas, belum ada data Dinas Pertanian terkait jumlah peladang dan luasan sawah yang mereka miliki. Kondisi ini, katanya, makin mengkhawatirkan dengan melihat fakta bahwa lebih dari 80% kawasan hutan di provinsi ini sudah terbebani izin.

Maka dari itu, tidak heran ketika ada izin terbit di atas lahan mereka. Karena itu, katanya, aneh kalau pemerintah berniat membuat food estate di tengah minim perlindungan dan pengakuan bagi peladang.

Sebelumnya, dalam sebuah webinar yang dihelat belum lama ini, pemerintah melalui Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Husnain menyebut, proyek ini akan dilakukan secara bertahap.

Pertama, pada 2020 di lahan pertanian seluas 30.000 hektar lahan masyarakat, masing-masing 10.000 hektar di Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas.

Konsep yang diusung pemerintah tahun ini, katanya, intensifikasi lahan pertanian masyarakat. “Ini di lahan rawa mineral bukan gambut. Yang akan kami lakukan adalah minimal membantu sesuai kebutuhan mereka, seperti pupuk dan teknologi,” kata Husnain.

Isu ini disorot Dimas. Fokus pemerintah pada hasil pertanian belum dibarengi dengan menjamin kehidupan para peladang. “Lahan-lahan yang akan dipakai ini akan ada pengakuan dan kedaulatannya enggak? Karena itu yang penting.”

Food estate di lahan eks PLG, kata Dimas jelas menimbulkan kontroversi, mengingat proyek gagal di zaman orde baru itu jadi langganan kebakaran hutan dan lahan setiap tahun. Dari segi psikologis, ini akan menghadirkan kembali mimpi buruk di masyarakat.

“Orang-orang di sana itu penyintas pasca kerusakan tahun 1995 hingga 1998. Mereka khawatir ada kerusakan lebih jauh, jelas akan merugikan masyarakat dan ekosistem.”

Husnain menyebut, semua kajian dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah disiapkan.

Pemerintah yakin jika kegagalan masa lalu tidak akan terulang dengan segala persiapan dan teknologi. “Kami tidak akan kerja sendiri-sendiri di sini, kami akan masuk kalau KPUPR sudah bilang siap. Ini semua agar kita tidak mengulang kegagalan di masa lalu.”

Husnain bilang, KLHK menyiapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat dan lahan prima terhadap kawasan eks PLG seluas 1,4 juta hektar. Setelah itu, Kementan menggabungkan dengan peta batasan lahan eks PLG yang kemudian jadi lahan sesuai pertanian pangan di eks PLG seluas 770.600,48 hektar dengan 148.000 hektar sudah memiliki irigasi.

Dengan demikian, pemerintah akan membangun saluran irigasi di lahan 622.000 hektar lainmya.

Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional, Wahyu A Perdana mengatakan, hal itu sebagai sebuah blunder. Pasalnya, sistem irigasi, sebagaimana terapan di lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa, justru akan membuat air keluar dari ekosistem gambut.

“Berarti nanti ekosistem gambut rusak, berarti kita mengulangi kesalahan sama dan menyebabkan kebakaran bertahun-tahun,” katanya dihubungi terpisah.

Husnain menyebut, kalau sudah mewanti-wanti pada KPUPR pembangunan irigasi di lahan untuk food estate. “Untuk ekstensifikasi, silakan bangun irigasi di peta yang kami birukan. Inilah yang sesuai untuk sawah, jangan bangun di tempat lain yang tidak sesuai dengan pertanian, apalagi ini lahan rawa.”

 

 

Maladministrasi?

Proyek food estate ini tidak lepas dari kontroversi pelanggaran aturan. Hal ini bisa dilihat dari konsep KLHS cepat yang disiapkan demi memfasilitasi proyek ini. “KLHS cepat itu bikin bingung karena regulasinya pakai yang mana? Itu menurut kami aga aneh,” kata Wahyu.

Kalau mengacu pada komponen-komponen regulasi terkait KLHS, katanya, kecil kemungkinan ini bisa dilakukan cepat. Beberapa aspek seperti daya dukung dan daya tampung lingkungan serta jasa ekosistem harus dikaji secara komprhensif.

“Belum lagi dengan analisis risiko kebencanaan dan indikator-indikator lain yang tidak simpel. KLHS ini kan pendekatan helicopter view dengan indikator-indikator lingkungan,” kata Wahyu.

Lebih jauh, kondisi ini bertambah aneh ketika KLHS baru dibuat ketika sudah penetapan lokasi. Maka dari itu, tidak aneh kalau sampai penetapan kawasan budidaya dan lindung gambut pun akan berubah di Kalteng untuk mengakomodir proyek food estate ini.

 

Kebanggaan?

Berbeda dengan Basuki Sumawinata, Dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dia mendukung penuh pembentukan food estate di Kalteng lantaran menjadi satu-satunya cara membudidayakan kawasan rusak itu. Menurut dia, segala teknologi yang akan diadopsi di dalam food estate mampu membangunkan kembali kawasan ini.

“Tidak ada jalan lain, dengan kegagalan PLG, lahan ini selalu terbakar dan kita diolok-olok karenanya. Masa tidak kita kelola? Berapapun cost-nya, harus kita kelola, tapi pengelolaan harus benar dengan target yang constant,” katanya.

Dia menyebut, kalau pemberdayaan lahan eks PLG ini dapat mencegah kebakaran karena para petani mendapat hak pengelolaan dan akan menjaga kawasan.

“Kebakaran kalau di kebun sendiri itu kecil, tapi kalau kebakaran besar, itu berarti merambat ke mana-mana dan uncontrolled. Ini karena tidak ada pemiliknya. Jadi, kalau kita berhasil bikin sawah, lahan itu ada padi, kebakaran tidak akan meluas, asap itu tidak akan ada.”

Musdhalifah Machmud, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian dari Kemenko Perekonomian juga menyatakan dukungan dengan menyebut food estate akan menjadi legacy kebanggaan negara. “Sebagai negara pengonsumsi beras terbesar di dunia, memiliki food estate adalah kebanggaan.”

Bagi Wahyu, ini sesuatu yang salah. Menurut dia, memandang food estate sebagai kebanggaan hal yang tidak tepat. “Kenapa tidak legacy itu diserahkan tata kelola pada masyarakat?” Pemerintah, katanya, sudah punya program tanah untuk obyek reforma agraria, perhutanan sosial, dan macam-macam.

 

 

Keterangan foto utama: Presiden Joko Widodo dan rombongan kala meninjau lokaso food estate di Kalimantan Tengah. Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Presiden Joko Widodo, memantau wilayah yang akan jadi food estate di Kalteng. Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Exit mobile version