Mongabay.co.id

Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

 

Tanaman kopi, mungkin satu-satunya tanaman yang dikembangkan Belanda [VOC-Verininging Oogst-Indies Company] yang memberikan pengaruh positif terhadap peradaban bangsa Indonesia. Seperti halnya di Eropa, kopi memberikan dampak perkembangan intelektual di Indonesia. Bahka,n kopi mampu memfasilitasi ruang silaturahmi masyarakat.

“Dilihat dari dampaknya, petani kopi itu bukan sebatas petani. Mereka juga penggerak dan penjaga intelektualitas manusia Indonesia,” kata Muhammad Zain Ismed, Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan [Sumsel], Minggu [04/10/2020].

Buktinya, kata Ismed, hampir setiap dusun, kampung, dan kota di Indonesia, pasti ditemukan orang berkumpul untuk mengobrol dan berdiskusi di warung kopi dan kafe. Mulai dari persoalan pribadi, keluarga, hingga masalah kantor, kampus, dan negara.

“Mungkin proses kemerdekaan Indonesia, reformasi 1998, tidak akan berjalan mulus seandainya tidak ada minuman kopi. Sebab, mereka yang berjuang itu mampu berpikir dan berdiskusi selama berjam-jam karena mengonsumsi minuman kopi. Bahkan, setahu saya, banyak pemikir, wartawan dan seniman yang harus ditemani kopi saat bekerja,” ujarnya.

Kopi menjadi simbol masyarakat yang terbuka dan egaliter. “Tidak ada pembatasan kelas terhadap mereka yang mengonsumsi kopi. Di warung kopi, penarik ojek, pengusaha, dosen, mahasiswa, duduk bersama dan mereka terkadang terlibat dalam diskusi yang temanya beragam.”

Jurgen Habermas, filsuf dan sosiolog yang terkenal dengan Teori Kritris-nya, yang di Indonesia dikenal dengan bukunya, Kritik atas Rasio Fungsionalis, juga menyinggung pengaruh kopi terhadap daya intelektual atau kritis seseorang.

Pendapat Harbermas ini, menurut T. Christomy, tercermin dari The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse yang ditulis Brian Cowan. Buku tentang sejarah perubahan sosial di Inggris dari era Elizabeth [1600] hingga George I [1720].

Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia memberikan penghargaan yang lebih terhadap petani kopi, seperti halnya petani pangan. “Penghargaan itu misalnya meningkatkan harga jual kopi dari tangan petani. Bantuan peremajaan kebun, pelatihan dan pendampingan para petani untuk mendorong perubahan pola pikir dan kebiasaan petani selama ini dalam pengolahan paska panen, branding, akses pasar, bahkan menciptakan pasar baru,” kata Ismed.

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Penghargaan harus diberikan kepada petani kopi, seperti halnya petani pangan, yang tetap menjaga lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Revolusi” pendidikan di Sumsel

Tanaman kopi pertama kali dibawa ke Indonesia oleh VOC pada 1696. Tujuannya, VOC ingin mengembangkan kopi di Indonesia untuk mematahkan monopoli Arab dalam perdagangan kopi di dunia. Kali pertama ditanam di Kedawung [Batavia]. Gagal karena banjir.

“Kemudian diulangi lagi tahun 1699 dengan membawa stek kopi dari Malabar untuk ditanam di daerah Jawa, Bali, Timor dan Sulawesi, sekaligus dimulainya Cultur Stelsel [tanam paksa] oleh Belanda,” kata Ismed.

Tahun 1878 semua tanaman kopi di Jawa terserang penyakit Hemilia vastatrix atau karat daun. Sehingga Belanda pada tahun 1888 mengalihkan sebagian penanaman di Sumatra Utara [Aceh], dan di Jawa diganti dengan bibit kopi liberika, namun ternyata bernasib sama, kena penyakit serupa.

Sekitar tahun 1900 Belanda membawa bibit spesies robusta [Coffee canefora] dari Kongo, Afrika sebagai penggantinya yang dapat ditanam di daratan rendah. Pertama kali ditanam di daerah Jawa Timur dan berhasil.

Sekitar tahun 1920, kopi robusta mulai ditanam secara besar di Sumatera, termasuk di Sumatera bagian selatan [Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu].

“Saat ini dari luasan kebun kopi di Indonesia, sekitar 1,25 juta hektar dan salah satu terluas di dunia, luas kebun kopi di Sumatera Selatan mencapai 253 ribu hektar,” kata Ismed.

Setelah pengembangan perkebunan kopi di Sumatera Selatan oleh Belanda, seperti di lanskap Semende, Pagaralam dan Lahat, terjadi peningkatan ekonomi pada masyarakat karena perkebunan kopi menggunakan metode kerja sama, bukan tanam paksa.

“Ekonomi yang kuat membuat banyak putra daerah sekolah. Umumnya ke Pulau Jawa, hingga Timur Tengah dan Mesir. Kondisi ini dirasakan hingga 1980-an. Revolusi pendidikan karena kopi,” kata Ismed.

“Dapat dikatakan banyak orang terpelajar dari Semende, Lahat, Pagaralam, dikarenakan kebun kopi. Termasuk pula mereka yang berhaji ke Tanah Suci. Sebelum adanya kebun kopi, masyarakat di sana sulit membiayai pendidikan anak-anaknya,” lanjutnya.

Baca: Hutan Desa Semende Untuk Jaga Tradisi Kebun Kopi Bukit Barisan

 

Biji kopi dijemur di bawah terik matahari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jaga hutan dan tradisi

Selain itu, pengembangan perkebunan kopi di Sumsel pada masa itu tetap menjaga keberadaan hutan. Bahkan lahan yang dikelola menjadi kebun bukan milik pribadi, melainkan bersama [keluarga]. “Saat membersihkan kebun [talang] dilakukan gotong royong bergiliran,” katanya.

Hutan tetap terjaga karena terjadi peremajaan kebun kopi, serta harga kopi yang tetap stabil atau terjaga. “Baru sekarang ini banyak yang merambah ke hutan, sebab harga kopi menurun sehingga dibutuhkan luasan kebun baru,” kata Ismed.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, telah melakukan penelitian beberapa tahun tentang kearifan masyarakat Semende terhadap alam. “Kopi memberikan jaminan hidup masyarakat, sehingga mereka mampu melestarikan tradisi yang arif terhadap lingkungan. Misalnya tata air, tata hutan, dan lainnya. Persoalan muncul ketika harga kopi terus menunggu, dan lemahnya upaya perbaikan dari pemerintah,” katanya, Minggu [04/10/2020].

Conie Sema, pekerja seni dari Teater Potlot, mengatakan masyarakat yang hidupnya dari berkebun kopi juga jauh lebih berbudaya. Jarang sekali ditemukan persoalan kriminalitas, selain itu banyak tradisi dan seni bertahan di kehidupan mereka.

“Coba bandingkan dengan masyarakat yang hidup di sekitar perkebunan jenis tanaman lain, termasuk juga pertambangan. Manusianya jauh lebih beringas. Kriminalitas tinggi. Bahkan budaya luar yang lebih liberal, termasuk narkoba begitu mudah masuk,” katanya, Minggu [04/10/2020].

Baca juga: Muhammad Fathudin, Penggerak Lahirnya Hutan Desa di Semende

 

Di Sumatera Selatan, kopi mendorong “revolusi pendidikan” bagi masyarakat yang berada di pegunungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ekonomi berkelanjutan

Guna meningkatkan kualitas kopi Indonesia, khususnya dari Sumatera Selatan, perlu beberapa hal yang dilakukan. Pertama, peremajaan kebun yang saat ini sebagian besar berusia tua. Kedua, pengolahan paska panen masih tradisional, belum menggunakan kaidah good manufacture practise, hygenitas sebagai komoditi pangan, atau masih banyak dilakukan dengan cara petik muda, jemur di jalanan.

“Dibutuhkan pelatihan dan pendampingan petani kopi,” lanjut Yenrizal.

Terkait rasa, setiap kopi di Indonesia memiliki karakter sendiri, baik aroma dan rasa, yang sangat bergantung pada kondisi alamnya. “Semua kopi Indonesia punya pasarnya. Tinggal kita mengelolanya.”

Secara lingkungan, kopi juga lebih baik dibandingkan jenis tanaman lain seperti sawit. “Kopi masih dapat hidup bersama flora dan fauna lainnya. Kopi juga mampu menjaga air dan menghasilkan oksigen. Mengembangkan kopi sebagai potensi ekonomi masyarakat desa jauh lebih berkelanjutan jika dibandingkan perkebunan sawit,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version