Mongabay.co.id

Penanganan Gambut di Sumatera Selatan Butuh Komitmen Para Pihak

Kawasan hutan di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, sejak Rabu terbakar hebat. Upaya pemadaman dengan water bombing dan juga jalur darat dilakukan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Salah satu persoalan lingkungan yang terus berlangsung di Sumatera Selatan [Sumsel] adalah penataan lahan gambut yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar. Meskipun Pemerintah Provinsi Sumsel telah mempunyai Peraturan Daerah [Perda] No. 1 Tahun 2018 Tentang Perlindungan Ekosistem Gambut, serta Tim Restorasi Gambut Daerah [TRGD] yang melakukan berbagai upaya pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut di tujuh kabupaten, tapi kebakaran tetap saja terjadi setiap kali musim kemarau. Apa yang harus dilakukan?

“Komitmen Provinsi Sumsel yang sudah berjalan perlu diperkokoh penguatan kapasitas para pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan kabupaten yang memiliki ekosistem gambut,” kata Feri Johana, Green Growth Planning and Policy Specialist World Agroforestry [ICRAF] saat webinar “Memperkuat Tata Kelola Lahan Gambut di Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI]” pada 29-30 September 2020.

Terkait upaya tersebut, ICRAF yang didukung Pemerintah Federal Jerman melalui The German Federal Environment Ministry – The International Climate Initiative [IBMU-IKI] menjalankan penelitian Improving the Management of Peatlands and the Capacities of Stakeholders in Indonesia [Peat-IMPACTS Indonesia], dari 2020-2023.

Kegiatan ini dilangsungkan di Sumsel dan Kalimantan Barat [Kalbar]. Pertama di Kabupaten OKI yang memiliki lahan gambut terluas di Sumsel sekitar 750 ribu hektar, dan di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.

Dijelaskan Feri, dalam menjalankan kegiatan ini pihaknya bermitra dengan Balai Penelitian Tanah [Balittanah], Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan [Puslitbanghut] serta didukung Badan Restorasi Gambut [BRG] dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [BAPPENAS].

“Proyek berfokus pada upaya mendukung pengelolaan dan perlindungan gambut, sehingga secara langsung dapat berkontribusi pada target pembangunan jangka menengah tingkat nasional, NDC, kebijakan pembangunan rendah karbon, dan pertumbuhan ekonomi hijau Sumatera Selatan. Proyek ini juga berkontribusi pada pencapaian SDGs, khususnya #13 [Aksi Iklim], dan #15 [Kehidupan di darat].”

Seperti diketahui, Indonesia memiliki komitmen untuk pembangunan rendah karbon dari sektor berbasis lahan, yang tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] 2015-2020. Dalam Nationally Determined Contribution [Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional], Pemerintah Indonesia meningkatkan pengurangan emisi GRK menjadi 29% pada tahun 2030, dengan menyertakan target Aichi. Dengan luasan gambut tropis terluas di dunia, pembangunan rendah karbon tidak akan tercapai tanpa pengelolaan gambut berkelanjutan.

Baca: Bahaya, Jika Kabut Asap Melanda Sumsel Selama Pandemi

 

Kawasan hutan di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, yang terbakar hebat akhir Oktober 2019 lalu. Upaya pemadaman dilakukan dengan water bombing dan juga jalur darat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pemahaman kebakaran

Tujuan utama dari Peat-IMPACTS Indonesia adalah mendukung perwujudan pengelolaan gambut berkelanjutan dengan memperkuat kapasitas teknis dan kelembagaan serta penyelarasan peran antara sektor publik dan swasta. Ada lima tujuan yang akan dicapai, yakni:

Pertama, meningkatkan pemahaman tentang kebakaran gambut dan risiko emisi di dalam bentang lahan. Kedua, memperkuat kapasitas untuk mengintegrasikan pengelolaan lahan gambut ke dalam tata kelola bentang lahan yang lebih luas di seluruh fungsi produksi-perlindungan untuk berkontribusi pada komitmen nasional pengurangan emisi gas rumah kaca dan pembangunan rendah karbon.

Ketiga, mengembangkan kapasitas petani kecil untuk mengelola paludikultur berbasis pepohonan yang menggabungkan profitabilitas dan pengurangan emisi. Keempat, merumuskan opsi di berbagai jenis restorasi bentang lahan gambut yang menghubungkan aksi lokal dengan eksternalitas dibawah kebijakan dan kemitraan konservasi matapencaharian.

Kelima, bertukar pembelajaran untuk mempercepat dan memperluas dampak restorasi lanskap gambut di tingkat nasional.

Agar tujuan tercapai, selain dukungan juga sangat diperlukan komitmen para pihak. “Sebab, selama ini kami para petani menjadi korban berbagai benturan kepentingan para pihak juga. Misalnya, kami selalu kebingungan melihat upaya pemanfaatan atau perlindungan terhadap lahan gambut. Terkadang kami diminta melindungi, tapi di sisi lain kami didorong memanfaatkannya. Keduanya sering berbenturan, dan kami yang menjadi korbannya,” kata Edi Saputra, tokoh petani dari Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, Minggu [04/10/2020].

“Bagi kami, para petani, apapun skema yang dilakukan para pihak sejauh membuat kami sejahtera dan lingkungan yang sehat, pasti kami dukung. Sebab itulah komitmen kami sebagai petani sejak dulu,” ujarnya.

Baca: Luas Gambut yang Direstorasi di Sumatera Selatan Kemungkinan Berkurang. Mengapa?

 

Asap membumbung tinggi di lahan terbakar di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada 24 Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Gambut di Kabupaten OKI terus rusak

Tidak ada data pasti mengenai luasan gambut di Sumsel. Berdasarkan data CIFOR, luasan gambut di Sumsel mencapai 1,73 juta hektar dari luasan lahan basah sekitar 3 juta hektar, sementaran luas daratan Sumsel sekitar 8,7 juta hektar.

Sementara data yang dimiliki Pemerintah Sumsel, lahan gambut terluas di Sumsel berada di Kabupaten OKI, sekitar 769 ribu hektar.

Dr. Najib Asmani, mantan staf khusus Gubernur Sumsel bidang perubahan iklim, menjelaskan akibat kebakaran gambut pada 1997-1998, 2006, 2007, dan 2008, sekitar satu juta hektar gambut di Sumsel rusak. Tersisa 170 ribu hektar gambut yang masih baik. Sebelum terbakar, selama puluhan tahun lahan gambut tersebut mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.

Pada 2004 sebagian besar lahan gambut yang rusak tersebut diperuntukan bagi HTI. Perusahaan HTI ini tersebar di Kabupaten OKI, Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin [Muba] dan Musirawas. Perusahaan tersebut antara lain PT. Sumber Hijau Permai [SHP], PT. Tripupa Jaya [TPJ], PT. Rimba Hutani Mas [RHM], PT. Bumi Persada Permai [BPP] I dan PT. BPP II. Kemudian di Kabupaten OKI: PT. Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood Industri, PT.Bumi Andalas Permai [BAP], PT. Bumi Mekar Hijau [BMH], dan PT. Ciptamas Bumi Subur [CBS].

Di Kabupaten OKI terdapat empat perusahaan HTI pemasok bahan baku pabrik kertas PT. OKI Pulp & Paper Mills. Luasan HTI-nya sekitar 586.975 hektar. Keempat perusahaan tersebut adalah PT. Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood Industri, PT. Bumi Andalas Permai [BAP], PT. Bumi Mekar Hijau [BMH], dan PT. Ciptamas Bumi Subur [CBS].

Sisa rawa gambut lainnya digunakan perkebunan sawit, pertambakan udang dan ikan, serta persawahan.

Baca juga: Mengapa Kebakaran Lahan Gambut di Sumsel Tak Kunjung Usai? Inilah Ulasannya

 

Peta persebaran lahan gambut di Sumatera Selatan. Sumber: HaKI [Hutan Kita Institute]

 

Pada 2015 lalu, kebakaran besar melanda lahan gambut di Sumsel. Baik di kawasan konservasi, dikelola perusahaan [konsesi], maupun lahan masyarakat.

Pemerintah melalui BRG [Badan Restorasi Gambut] kemudian menargetkan restorasi gambut di Sumsel seluas 594.230 hektar. Di kawasan lindung 61.247 hektar, kawasan budidaya 458.430 hektar, serta kawasan budidaya tidak berizin 74.553 hektar.

Selama upaya restorasi tersebut atau lima tahun terakhir [2015-2019], Sumatera Selatan mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar. Luasannya ini di atas enam provinsi lain yang setiap tahun mengalami hal serupa, yakni Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau [250.369,76 hektar] dan Jambi [182.195,51] hektar.

Setelah 2015, Sumsel sempat menunjukan perkembangan signifikan dalam upaya pencegahan kebakaran. Pada 2018, hutan dan lahan gambut hanya terbakar sekitar 16.226, 60 hektar. Namun pada 2019 melesat hingga 336.778 hektar. Kabupaten OKI tetap menjadi paling luas mengalami kebakaran lahan gambut.

 

 

Exit mobile version