Mongabay.co.id

Nelayan Lobster : Saatnya Budidaya (bagian 4)

 

Para nelayan di Desa Paremas merupakan nelayan pembudidaya lobster yang dilakukan di perairan yang masuk kawasan Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Ada 60 anggota kelompok nelayan di Desa Paremas. Nelayan di desa ini adalah satu dari puluhan desa pesisir di Lombok yang mengembangkan budidaya lobster sejak sejak 10 tahun silam. Nelayan di desa ini Seperti pasang surut air laut, budidaya lobster di desa ini juga turut pasang surut. Bukan karena semangat nelayan, tapi lebih terpengaruh kebijakan dua Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Edhy Prabowo.

Permintaan lobster meningkat seiring berkembangnya pariwisata di NTB, khususnya di Lombok. Banyak permintaan lobster. Hotel, restauran, rumah makan seafood di kawasan pariwisata membutuhkan lobster segar. Hampir setiap hari nelayan menangkap lobster. Dan para nelayan mulai membudidayakan. Budidaya masih jadi sampingan, makanan lobster diberikan seadanya, paling sering ikan rucah.

Tahun 2013 mulai ada permintaan benih lobster. Nelayan Paremas juga ikut menjual. Jika ada permintaan mereka jual, jika tidak mereka tetap mencari untuk dipelihara di keramba. Menjual benih bukan yang utama. Mereka mengutamakan budidaya, karena hasilnya lebih bagus dan pembelinya sudah jelas. Mereka juga masih bisa bekerja di sawah atau beternak sapi dan kambing. Permintaan benih lobster semakin meningkat. Bahkan pembeli dari Vietnam datang langsung ke Lombok.

baca : Keran Ekspor Benih Lobster Dibuka, Kado Manis untuk Nelayan ? (bagian 1)

 

Deretan keramba jaring apung berisi lobster di Gili Beleq dan tampak kejauhan deretan keramba jaring apung di Telur Jor, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur. Jumlah keramba bertambah setelah keran ekspor benih lobster dibuka, tapi tidak semuanya untuk budidaya. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Akan tetapi budi daya lobster ini terkendala berbagai hal, terutama masalah pakan. Kesulitan pakan itu dirasakan betul oleh Direktur Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB Mohammad Taqiudin.

Taqiudin dan para peneliti dari Konsepsi NTB pada awalnya melakukan penelitian tentang perubahan iklim. Sebagai dosen di Universitas Mataram, Taqiuddin dikenal sebagai peneliti di isu perubahan iklim. Bertahun-tahun dia meneliti dan mendampingi masyarakat dalam isu perubahan iklim. Kebetulan tahun 2019 itu program untuk perubahan iklim akan menyasar kelompok petani garam. Salah satunya di Desa Paremas. Para petani garam juga merangkap sebagai nelayan.

Dari beberapa kali pertemuan muncul usulan agar program juga menyasar nelayan budidaya lobster. Dengan latar belakang peternakan, Taqiuddin dan para peneliti Konsepsi yang lebih sering berkecimpung di daratan mengiyakan. Saat itu gambaran awal mereka akan intervensi melalui program keramba jaring apung.

“Pikiran awal kami nelayan budidaya ini juga rentan perubahan iklim,’’ kata Taqiuddin saat saya temui di kantornya di Mataram, Jumat (4/9/2020).

 

Inovasi Pakan

Beberapa kali pertemuan dengan nelayan budidaya, masalah yang dihadapi tidak sesederhana yang dipikirkan di awal. Konsepsi mencari pakar yang ahli di bidang kelautan, khususnya budidaya, hingga di tengah perjalanan mereka bertemu dengan orang yang pernah bekerja di Vietnam. Dari orang itulah terungkap jika rahasia keberhasilan budidaya di Vietnam adalah pada pakan. Sama seperti hewan ternak, keberhasilan juga ditentukan oleh pakan. Pakan yang baik akan menghasilkan ternak yang sehat dan kualitas dagingnya baik. Pakan yang baik akan menghasilkan lobster yang cepat produksinya dan kualitasnya baik.

Tapi masalah saat itu, pakan yang baik itu harus dibeli. Hasil penelitian yang dilakukan dan hasil beberapa riset, pemberian makan dengan ikan rucah itu menjadi sumber penyakit. Ikan yang sudah busuk itu menempel di jaring, semakin lama semakin banyak. Muncul penyakit dan pada akhirnya memengaruhi kualitas air di dalam keramba. Mengganti rucah dengan pakan pabrik memang bagus, tapi harga terlalu mahal.

“Akhirnya kita coba meracik beberapa bahan,’’ katanya.

baca juga : Ekspor Benih Lobster Dibuka: Ngegas di Awal, Melempem di Tengah Jalan [bagian 2]

 

Pakan lobster berbentuk pelet ini diracik sendiri oleh para nelayan budidaya di Paremas, baik yang dari daratan Lombok, Gili (Pulau) Beleq, dan Gili (Pulau) Re. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pada intinya pakan yang baik adalah pakan yang cukup nilai gizinya dan murah. Bahan yang tersedia di sekitar dipakai untuk campuran pakan. Ikan rucah tetap dipakai, tapi diolah dengan cara digiling. Dicampur dengan dedak, jagung, kedelai, cangkang kepiting, sayur-sayuran, rumput laut, dan tambahan gizi dari Artemia salina. Nama yang terakhir ini dibeli di toko. Semua bahan ini digiling, dibuat menjadi pelet, dikeringkan. Ukurannya disesuaikan agar tidak tembus ukuran lubang jaring. Semua bahan itu dicampur ikan teri saat musim ikan teri berlimpah dijadikan pelet.

“Karena awalnya ujicoba kami belikan bibit, sekalian kami ujicoba intervensi campuran pakan yang berbeda-beda di tiap keramba,’’ kata Taqiuddin.

Ada keramba yang tetap diberikan makana ikan rucah, ada keramba yang diberikan makan campuran ikan rucah dan olahan pakan, dan ada keramba yang diberikan lebih banyak pakan racikan. Pada bulan kedua hasilnya terlihat mencolok. Lobster yang diberikan pakan racikan itu lebih besar. Memasuki bulan keempat barulah terlihat perbedaan mencolok. Lobster yang diintervensi dengan pakan racikan itu beratnya rata-rata 220 gram, sementara yang hanya diberikan makan ikan rucah beratnya 150 gram, lobster yang diberikan makan ikan rucah dan pakan racikan beratnya 170 gram. Keberhasilan itu membuat nelayan budidaya di Paremas rama-ramai bergabung di kelompok nelayan.

Taqiuddin bilang saat ini tim peneliti masih terus berproses menemukan formula pakan yang paling baik. Beberapa bahan yang menjadi campuran pakan itu memang sudah diketahui kandungan gizinya, tapi selama ini untuk ternak. Konsepsi belum menemukan formula paling tepat, perbandingan antara bahan itu untuk menghasilkan pakan terbaik. Tapi dengan pengalaman setahun ini hasilnya sudah terlihat jelas.

“Pengalaman nelayan dan hasil riset ilmiah akan memperkuat budidaya. Ini perlu kita dorong bersama,’’ katanya.

Taqiuddin belum berani menyimpulkan pakan racikan kelompok nelayan budidaya Paremas yang dia bina ini merupakan formula terbaik. Harus terus dilakukan riset dan ujicoba. Jika ketemu formula yang tepat barulah bisa diproduksi dalam jumlah banyak. Taqiuddin yakin, ketika ketemu formula yang paling bagus, misalnya dalam waktu kurang satu tahun bisa menghasilkan lobster mutiara bisa mencapai 1 kg, pasti akan ditiru oleh nelayan lainnya. Jika ada nelayan yang berhasil akan ditiru oleh nelayan lainnya, dan Konsepsi sudah menyiapkan langkah ke arah sana.

“Kami sedang tunggu hasil riset untuk replikasi di tempat lain,’’ katanya.

perlu dibaca : Nelayan Budidaya Lobster: Diabaikan dan Berjuang dalam Sunyi [bagian 3]

 

Ali Sulaeman di gubuk sederhana tempat produksi pakan lobster di Desa Paremas. Pakan ini diracik dari campuran berbagai jenis sayuran, ikan. Mereka mengolah dengan sangat sederhana. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sudah Saatnya Budidaya

Amaq Awan merapikan keramba jaring apung yang akan dibawa ke tengah laut. Nelayan dari Desa Ekas, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur ini menyiapkan keramba itu untuk menangkap benih bening lobster. Di keramba itu nantinya akan dipasang pocong, alat untuk menangkap benih lobster. Sempat istirahat ketika ada larangan ekspor benih lobster, Amaq Awan dan puluhan nelayan lainnya di Ekas berbondong-bondong membuat keramba baru. Bayangan mereka seperti masa kejayaan ekspor benih sebelum dilarang Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Awaq sebenarnya membudidayakan lobster sebagai sampingan. Ketika masa-masa larangan ekspor benih lobster, benih yang ditangkap dipelihara di dalam keramba. Sehari-hari diberikan makanan ikan rucah, kadang keong, dan jenis ikan lainnya. Amaq Awan tidak pernah mendapat pelatihan khusus untuk budidaya lobster. Dia hanya mengikuti cara yang dilakukan nelayan lainnya.

Menurut Amaq, budidaya lobster sebenarnya menguntungkan. Tidak harus dijaga 24 jam. Tidak selelah melaut jauh untuk menangkap ikan. Memberikan makanan secara rutin dan saat panen sudah ada pembeli. Hanya saja, masa panen yang terlalu lama. Untuk mendapatkan berat 200 gram ke atas, butuh waktu sampai 8 bulan.

“Kalau terlalu lama rugi,’’ katanya.

Amaq pernah mendengar cerita dari beberapa nelayan bahwa resep untuk keberhasilan budidaya adalah pakan. Dia mendengar ada teknik untuk memberikan pakan. Lobster harus tetap di dasar. Secara alamiah, lobster lebih suka di dasar. Karena itulah pakan harus dipastikan sampai ke dasar, tanpa perlu lobster naik untuk berebut makanan. Sebuah pipa yang dicelupkan hingga ke dasar keramba menjadi saluran pakan. Cara ini sudah dipakai beberapa nelayan. Tapi tetap saja hasilnya belum optimal.

“Kalau ada cara budidaya yang cepat besar, saya lebih memilih budidaya,’’ katanya.

Amaq khawatir juga jika terus menerus eksploitasi benih lobster akan mengurangi populasinya di alam. Suatu saat pasti akan berkurang, bahkan bisa saja habis. Tapi dia tidak punya pilihan, budidaya membutuhkan waktu lama dan modal yang tidak sedikit. Seandainya nelayan meminjam modal, perputaran uangnya sangat lama. Belum tentu juga perbankan mau memberikan pinjaman modal untuk usaha yang lama dan risiko tinggi.

baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kekhawatiran eksploitasi berlebihan ini juga sudah dipikirkan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB. Sambil memfasilitasi nelayan yang akan menangkap benih lobster, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB juga menyiapkan draf rancangan peraturan gubernur (Rapergub) tentang pengelolaan sumber daya lobster di wilayah perairan laut NTB.

Semangat Rapergub ini adalah budidaya lobster. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan Usaha perlindungan dan pelestarian sumberdaya Lobster sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui kegiatan : pencadangan dan penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), rehabilitasi ekosistem perairan laut habitat sumberdaya lobster, peningkatan stok populasi sumberdaya lobster (restocking), dan sosialiasasi perlindungan dan pelestarian.

Untuk ketersediaan lobster di awal, restocking bukan saja menjadi kewajiban perusahaan eksportir benih bening lobster. Masyarakat dan perusahaan yang khusus melakukan budidaya juga harus melakukan restocking. Untuk membatasi penangkapan benih lobster, akan ditentukan wilayah mana saja tempat diperbolehkannya menangkap.

Pada pasal 9 disebutkan bahwa penangkapan lobster tidak boleh yang sedang bertelur, benih bening lobster ditangkap pada zona yang telah ditentukan, benih lobster ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan sarananya tidak menetap (sampan/perahu). Dengan aturan ini, maka keramba yang saat ini hanya dipakai untuk menaruh pocong akan dibatasi.

“Sudah saatnya kita memikirkan budidaya, harus ada kebijakan yang mendukung budidaya,’’ kata Tison Sahabudin, nelayan Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa.

penting dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Integrasi Budi daya dan Pariwisata

Tison adalah anak muda Pulau Bungin yang bisa dibilang di luar kebiasaan nelayan suka Bajo yang terkenal mengembara. Tison justru lebih aktif budidaya. Di Pulau Bungin, bahkan di NTB, namanya cukup dikenal karena menggabungkan konsep budidaya perikanan dan pariwisata. Di perairan Pulau Bungin, Tison membangun keramba jaring apung berukuran besar, yang sekaligus menjadi restoran terapung. Tidak sekadar budidaya, tapi dalam sistem itu dia membuat ‘apartemen ikan’ dan juga ‘bank ikan’. Konsep inilah yang akan diujicoba pada lobster.

Nantinya lobster tidak akan dipelihara di keramba-keramba seperti saat ini. Tapi lobster akan dipelihara di alam. Kawasan tempat budidaya itulah yang akan diberikan jaring. Tison menunjukkan konsepnya, panjang kawasan itu mencapai 100 meter. Di dalam kawasan 100 x 100 meter itulah lobster akan dilepas. Mereka akan tetap di alam, mencari pakan alami, tapi tidak keluar dari area itu.

Untuk mencegah saling memangsa, di dalam kawasan itulah akan dibangun ‘apartemen lobster’. Layaknya sebuah apartemen, akan dibangun beberapa tingkat dan beberapa kamar. Di dalam kamar itulah lobster akan sembunyi untuk mencegah saling memangsa.

“Nah program seperti ini nanti bisa didukung oleh kebijakan pemerintah,’’ katanya.

Selain membangun ‘apartemen lobster’, akan disiapkan juga ‘restoran lobster’. Restoran ini tempat menaruh pakan lobster, daerah sekitarnya akan dilindungi untuh mencegah predator. ‘Restoran lobster’ itu akan diisi dengan pakan-pakan alami lobster. Kecukupan gizi lobster akan dipenuhi dan bisa mengurangi biaya.

Ide Tison ini membutuhkan proses yang panjang dan tantangan di tengah euforia ekspor benih bening. Tison sendiri saat ini menjadi salah satu koordinator perusahaan yang menjadi eksportir benih bening. Tapi jiwamya ada pada budidaya. Tison akan pelan-pelan mengedukasi nelayan yang menjadi mitranya dalam pembeliah benih untuk beralih ke budidaya. Belajar pada pengalamannya mengajak nelayan Pulau Bungin untuk budidaya, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Karena itulah Tison memulai dari dirinya dan kelompok yang selama ini bersamanya.

“Kami sudah punya showroom di Mataram, semua hasil budidaya ada di sana sebelum kami kirim ke pembeli maupun eksportir. Lobster nanti akan mengisi tempat itu,’’ pungkas Tison.

 

Exit mobile version