Mongabay.co.id

Alam dan Budaya “Nyawiji”, Refleksi Master International Tari Di Atas Sungai

 

Hujan yang turun di kawasan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah pada Kamis hingga Jumat (1-2/10) lalu cukup deras. Kadang berhenti, tetapi kemudian gerimis lagi, bahkan lebat. Hujan membuat suhu udara juga dingin, tercatat sekitar 20 derajat Celcius di areal Baturraden Adventure Forest (BAF). Sekitar jam 03.00 WIB dinihari, ketika hujan sudah reda, sejumlah orang mulai bersiap-siap menuju aliran Sungai Pelus yang membelah kawasan wisata itu.

Pada sungai selebar 13 meter yang memiliki hulu di lereng Gunung Slamet bagian selatan itu, telah dibuat panggung kecil ukuran 6×6 meter. Panggungnya hanya berupa papan untuk pementasan tarian. Bahkan, sengaja di bawah air sedikit, sehingga papan tidak tampak. Sehingga penari jadi terlihat menari di atas air. Musiknya juga simpel dan hanya ada dua orang pemusik. Namun, lighting-nya cukup menawan dengan pendaran cahaya warna-warni. Di situlah, penari perform menampilkan karya Rianto (39) seorang maestro Lengger Banyumasan yang diberi judul Mantra Tubuh.

Adegan pembukanya sederhana, hanya menghentakkan kaki di atas panggung yang tertutup air. Sehingga airnya terciprat sana-sini. Di panggung kecil itulah, Dani (21) mulai perform tarian. Geliat tubuhnya begitu lincah menyesuaikan dengan iringan musik yang ditabuh dari pinggir sungai. Liukan gerakannya seakan mengikuti napas alam di sekitarnya. Ada pepohonan besar, derasnya aliran sungai dari lereng selatan Gunung Slamet yang agung, serta bebatuan tinggalan erupsi masa lalu Gunung Gora atau Slamet purba.

Usai Dani tampil, datanglah Rianto. Maestro Lengger Banyumasan yang memiliki studio tari di Jepang itu masuk ke panggung ketika Dani pergi. Setelah melakukan tampil solo, kemudian datang lagi Dani yang masuk panggung dengan membawa. Keduanya membawa tali. Rianto juga sempat berinteraksi dengan pemusik yang berada di pinggiran sungai.

Adegan tarian selanjutnya adalah saling membelit dengan tali dan diakhiri dengan saling menyiram air sungai.  Itulah simbol dari sebuah prosesi pembersihan yang menyatukan diri dengan alam.

baca : Kisah Air dan Manusia dalam Karya Seni

 

Penampilan total kedua penari, Rianto dan Dani membawakan tarian Mantra Tubuh yang membuat decak kagum penonton. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pagelaran ini berbarengan dengan datangnya bulan purnama, meski sore sebelumnya hingga malam datang guyuran hujan. Bulan purnama nampak menaungi keduanya ketika mementaskan Mantra Tubuh.

Rianto yang kisahnya menjadi inspirasi film garapan Garin Nugroho yakni Kucumbu Tubuh Indahku memberikan warna tersendiri dalam pagelaran tari kontemporer dengan judul Mantra Tubuh tersebut. “Tarian ini sesungguhnya sudah mulai diteliti lama sekitar tahun 2014 dan kemudian diteruskan pada 2016. Kemudian tarian ini lolos pada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) sebagai sumber inspirasi, sehingga menjadi tarian opening ceremony PKN 2020,”jelas Rianto.

Menurutnya, sebetulnya tarian Mantra Tubuh merupakan karya panjang, namun karena harus berbagi waktu, maka pagelaran hanya berlangsung selama 25 menit. Karta Mantra Tubuh sesungguhnya tidak bisa lepas dari refleksi terhadap alam.

“Ada beberapa bagian dalam tarian Mantra Tubuh, mulai dari sesuatu yang kosong yang selalu berjalan. Kemudian kaki menghentakkan ke bumi dan air, muncullah sesuatu yang baru, atau sebuah kehidupan. Lalu, ada masa di mana tubuh terkontaminasi dari hal yang sadar maupun tidak sadar, sehingga terjadi kondisi trans. Bagian akhir adalah bersinergi dengan alam, membersihkan alam pikiran dari hal-hal negatif,”katanya.

perlu dibaca : Ono Gaf, Seniman Sukses Pengolah Besi Bekas

 

Penampilan Rianto di atas Sungai Pelus, Baturaden, Banyumas, Jateng membawakan tarian Mantra Tubuh. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Refleksi Kondisi Alam 

Rianto mengungkapkan tarian Mantra Tubuh ini memang tidak bisa dilepaskan dari refleksi terhadap alam. Konsepnya adalah napas bumi, alam, tubuh dan makhluk-makhluk hidup yang ada di bumi. “Karya Mantra Tubuh ini merupakan simbol, bagaimana kita menyikapi dan merefleksikan alam. Sebuah kepedulian terhadap alam dengan memaknai bahwa tubuh merupakan bagian dari alam. Simbol lainnya adalah pembersihan dari segala pikiran negatif yang bersumber dari penguatan tradisi yang saya miliki, perjalanan spiritual saya bersinggungan dengan alam,”ungkap Rianto yang sejak tahun 2003 menetap di Jepang dan mendirikan perusahaan tari tradisional Dewandaru Dance Company di Tokyo.

Menurutnya, mantra-mantra yang muncul dari tubuh penari atau ucapan pemusik, telah melewati beberapa sejarah yang dimediumkan pada waktu kekinian. “Mantra Tubuh ini sengaja ditampilkan di alam dengan panggung terbuka. Tubuh akan melebur dengan alam. Kenapa dipentaskan pada dinihari, karena mulai jam 02.00 WIB hingga 04.00 WIB merupakan munculnya bulan purnama. Bagi masyarakat Nusantara, elemen bulan ketika purnama, matahari, bintang-bintang, segala makrokosmos dan mikrokosmos yang ada di jagat ini dapat menjadi refleksi. Bulan purnama adalah momen penting bagaimana kita menyikapi alam itu sendiri,” jelas dia.

Karya Mantra Tubuh memang tidak dapat dilepaskan dari kepedulian terhadap alam, bahkan panggungnya pun sesungguhnya juga di alam bebas. Bagi Rianto, alam sudah menyediakan panggung. “Panggung bisa di manapun, bahkan alam sudah menyediakan diri, itulah panggung saya.”

Rianto berharap, dengan karya Mantra Tubuh ini mengajak semua orang untuk merefleksikan bahwa manusia bagian dari alam. “Bagaimana kita bisa menjaga alam, bersinergi dengan alam. Dengan cara memulai dari diri kita masing-masing. Dari pembersihan batin sehingga pikiran juga bersih. Sehingga pada akhirnya kita melangkah untuk terus menjaga agar alam tetap lestari,”ujarnya.

Rianto, maestro Lengger yang telah malang melintang di berbagai negara itu menyatakan bahwa kebudayaan dan alam itu “nyawiji” atau menyatu. Sehingga antara budaya dan alam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. “Kebudayaan sejatinya adalah alam, karena keduanya “nyawiji”. Budaya muncul karema alam. Dan alam membuat sebuah kebudayaan dan peradaban. Jadi peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari alam. Siklus kehidupannya bernapas bersama.”

Sehingga, ketika alam mengalami kerusakan, itu juga akibat ulah manusia. Aalam yang rusak juga berdampak pada tubuh manusia, karena akan menjadi rusak. Pikiran negatif merusak alam dan ketika alam menjadi rusak itu juga akan berefek rusaknya tubuh. “Jika alam terpelihara, maka budaya pikir, rasa, histori perjalanan akan menyatu. Ini sangat penting, agar alam terus tetap terjaga,”tandasnya.

baca : Seni Ukir Purba dari Karst Maros

 

Pemusik berada di pinggiran sungai Pelus, Baturaden, Banyumas, Jateng mengiringi tarian Mantra Tubuh karya maestro lengger Banyumas, Rianto. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ditayangkan TVRI dan di Medsos

Di tempat yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kemendikbud Sri Hartini mengungkapkan bahwa karya Mantra Tubuh merupakan tarian yang membuka PKN 2020 yang nantinya akan ditayangkan di TVRI mulai 31 Oktober dan secara daring di media sosial.

“Mantra Tubuh merupakan sebuah karya yang ditampilkan awal pada pembukaan PKN 2020. Karya ini lekat dengan alam, sehingga sangat relevan pagelarannya di tempat terbuka, bahkan di atas sungai. Karya olah tubuh yang berinteraksi dengan alam ini digelar pada sebuah tempat yang cocok. Dan saya kira semua orang tahu siapa Mas Rianto yang telah terkenal di dunia. Secara keseluruhan, ada 20 tempat yang melakukan rekaman. Salah satunya di Baturraden ini,” kata Sri.

Hal ini dilakukan karena masa pandemi, sehingga tidak mungkin mengumpulkan banyak orang. PKN tetap digelar mengikuti protokol kesehatan. Yakni digelar secara daring sehingga tetap dapat ditonton oleh seluruh masyarakat di Indonesia.

Seperti kata Rianto, budaya tidak dapat dipisahkan dari alam dan manusia sesungguhnya adalah budaya itu sendiri. Karya Mantra Tubuh mengingatkan kepada semua bahwa alam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, sehingga menjadi sebuah keniscayaan untuk tetap melestarikan dengan menghindari perusakan dan kerusakan.

 

Exit mobile version