Mongabay.co.id

Fenomena La Nina dan Antisipasi Kemunculan Klaster Corona di Wilayah Bencana

 

Pandemi virus corona [COVID-19] masih berlangsung hingga detik ini, belum ada tanda berakhir. Dampak pandemi akan kian hebat tatkala datangnya bencana banjir.

Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG], memasuki Oktober ini, terjadi kenaikan curah hujan hingga 40 persen di hampir seluruh wilayah Indonesia. Diperkirakan pada Desember, Januari dan Februari, curah hujan semakin meningkat. Artinya, musim penghujan dan potensi munculnya banjir sudah di ambang mata.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] telah meminta masyarakat agar lebih waspada menyusul anomali iklim akibat fenomena La Nina yang diperkirakan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia.

La Nina merupakan pola cuaca yang terjadi di Samudra Pasifik ketika angin kencang menghembuskan air hangat ke permukaan laut dari Amerika Selatan hingga Indonesia. Saat air hangat bergerak ke barat, air dingin dari kedalaman naik ke permukaan dekat pantai Amerika Selatan. Fenomena La Nina ditandai dengan turunnya hujan di sejumlah daerah dengan intensitas berlebihan, sehingga memudahkan terjadinya banjir dan longsor.

Baca: Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Warga memulung sampah di aliran Sungai Citarum, di daerah Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kondisi sungai yang memburuk memudahkan terjadinya banjir setiap musim penghujan tiba. Foto: Djoko Subinarto

 

Persoalan klasik

Setiap kali musim penghujan, sejumlah wilayah di negeri ini menghadapi risiko banjir. Beberapa daerah bahkan sejak lama menjadi langganan bencana ini. Dengan adanya pandemi corona dan banjir di musim penghujan, masyarakat mau tidak mau, harus menghadapi risiko ganda. Tentu saja, pola penanganannya pun harus tidak seperti biasa.

Banjir pada dasarnya terjadi tatkala aliran air menggenangi/menutupi permukaan tanah yang mestinya kering. Salah satu penyebab adalah meluapnya sungai sewaktu turun hujan.

Meski memiliki kontribusi penting bagi kesehatan lingkungan, keberadaan sungai-sungai di negara kita kerap terabaikan akibat pola pembangunan yang lebih mementingkan aspek ekonomi jangka pendek ketimbang kelestarian lingkungan.

Akibatnya, kondisi sungai-sungai yang ada di sekeliling kita menjadi semakin buruk kondisinya, malah menjadi beban dan persoalan lingkungan. Buntutnya, sebagian sungai di negara kita cenderung menjadi tong sampah dan saluran limbah massal, yang membuat sungai semakin dangkal dan menyempit, sehingga memudahkan terjadinya banjir ketika turun hujan.

Baca: Kepemimpinan Ekologis: Aktualisasi Politik-Ekologi Era Pandemi

 

Banjir rutin yang melanda daerah Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Anak-anak dan orang lanjut usia menjadi kelompok paling rentan terdampak banjir dan COVID-19 saat ini. Salah satu potensi sumber klaster COVID-19 adalah tempat penampungan korban banjir. Foto: Djoko Subinarto

 

Biang masalah

Saluran pembuangan air [drainase] yang tidak prima bisa juga menjadi biang masalah munculnya banjir. Sistem drainase yang buruk akan tidak mampu menampung curahan air hujan, sehingga sebagian air melimpas ke jalan.

Hal lain yang ikut membuat sejumlah wilayah di negara kita rentan banjir adalah rusaknya daerah tangkapan air di kawasan hulu. Idealnya, air hujan yang turun tidak langsung mengalir ke jaringan drainase, melainkan sebagian besar diserap di kawasan hulu. Namun, pesatnya pembangunan, baik yang legal maupun yang ilegal di kawasan hulu, menyebabkan lahan-lahan terbuka kian berkurang. Begitu hujan, air mengalir deras yang akhirnya merendam daerah-daerah dengan posisinya lebih rendah.

Faktor penting yang harus diperhatikan adalah penurunan muka tanah, baik yang disebabkan proses alami maupun akibat pengambilan air bawah tanah secara besar-besaran dan tidak terkendali.

Bila ditilik dari sudut ilmu kebencanaan, sesungguhnya banjir merupakan bencana hasil buatan manusia. Kemunculannya lebih sering disebabkan tangan-tangan jahil manusia yang memperlakukan alam tidak benar.

Kita pasti paham, Bumi yang kita tinggali merupakan bentang alam dengan fungsi dan peran berbeda. Ada hutan, padang rumput, pantai, lautan, sungai, danau, rawa, gunung, bukit dan lain sebagainya.

Dalam berinteraksi dengan alam, kita harus bijak dan tidak semena-mena. Banjir yang senantiasa datang, menyergap sebagian wilayah negeri ini setiap kali musim penghujan tiba, umumnya disebabkan karena rusaknya alam akibat perbuatan kita.

Baca juga: Banjir, Fenomena Climate Whiplash dan Dampaknya di Indonesia

 

Sekelompok pesepeda menggunakan masker di kawasan Leuwipanjang, Bandung, Jawa Barat. Menjaga kontak fisik, menjaga jarak, memakai masker serta rajin mencuci tangan merupakan bagian protokol kesehatan dalam upaya pencegahan COVID-19. Foto: Djoko Subinarto

 

Sangat berbeda

Kini, dengan adanya pandemi corona, kita harus bersiap menghadapi bencana ganda. Pandemi corona mengharuskan kita menjaga pergerakan dan jarak, menjaga kontak fisik, memakai masker, serta rajin mencuci tangan demi mencegah penyebaran virus.

Terkait potensi banjir, sudah tentu kondisi pandemi ini sangat berpengaruh pada logistik, pergerakan tenaga medis, tim SAR, maupun para relawan yang nantinya bertugas ke daerah terdampak. Belum lagi mengenai tempat pengungsian.

Respon kurang tepat tentunya akan ikut menyebarkan COVID-19 dan memperparah bencana, lantaran bisa menyebabkan timbulnya korban jiwa dan kerugian ekonomi lebih besar. Di sisi lain, penanganan banjir yang tidak dibarengi penerapan protokol kesehatan, berisiko memunculkan klaster baru COVID-19 di daerah bencana.

Oleh karena itu, pemerintah dan segenap pemangku kepentingan di negeri ini perlu merumuskan formula khusus dalam ikhtiar mengantisipasi potensi banjir, mengingat musim hujan segera tiba.

Apa pun bentuk pola penanganannya, prioritas mesti diberikan kepada kelompok-kelompok yang paling rawan terdampak corona dan banjir. Sebut saja, para lansia, anak-anak, dan mereka yang berasal dari kelompok miskin.

Koordinasi dan komunikasi yang baik semua sektor dan lembaga, pemerintah maupun swasta, menjadi kunci utama penanganan persoalan ini.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

Rujukan:

Alya Nurbaiti. 2020. Task Force Warns of Potential COVID-19 Clusters at Flood Shelters. www.thejakartapost.com. https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/25/task-force-warns-of-potential-covid-19-clusters-at-flood-shelters.html.

Djoko Subinarto. 2016. Memahami Banjir Bandung. “Pikiran Rakyat”, 17 Juni 2016.

Mikio Ishiwatari, Toshio Koike, Kenzo Hiroki, Takao Toda & Tsukasa Katsube. 2020. Managing Disasters amid COVID-19 Pandemic: Approaches of Response to Flood Disasters. www.sciencedirect.com. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2590061720300338?via%3Dihub.

Ninda Fajriati. 2020. Waspada Dampak Fenomena La Nina, BNPB Imbau Lakukan Mitigasi mandiri. www.pikiran-rakyat.com. https://prbandungraya.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-26822180/waspada-dampak-fenomena-la-nina-bnpb-imbau-lakukan-mitigasi-mandiri.

NN. Tanpa Tahun. What is La Nina? https://scijinks.gov/la-nina/

Syarif Abdussalam & Syarif Pulloh. 2020. Hujan Akan 40 Persen Lebih Banyak. “Tribun Jabar”, Senin 12 Oktober 2020.

 

 

Exit mobile version