Mongabay.co.id

Hari Gurita Internasional, Saatnya Nasib Nelayan Gurita di Indonesia Diperhatikan

 

 

Tidak banyak yang tahu bila 8 Oktober diperingati sebagai hari gurita internasional. Hari gurita dibuat untuk merayakan keanekaragaman, konservasi, dan biologi satwa yang masuk kelas Cephalopoda ini. Tanggal 8 dipilih untuk menunjukkan bahwa spesies cerdas tersebut memiliki delapan tentakel.

Ada beragam jenis gurita di Indonesia, namun satu jenis yang mudah ditemui adalah Octopus cyanea, yang masuk sub ordo incrittata.

Sesungguhnya gurita dapat tumbuh dengan cepat. Beratnya bisa bertambah dua kali lipat setiap bulan. Ketika hidup di karang, beratnya sekitar 100 hingga 6.400 gram hanya dalam waktu tujuh bulan. Sementara siklus hidupnya cukup singkat, 15 sampai 18 bulan. Gurita disebut memiliki peran ekologis penting sebagai predator maupun mangsa.

Di Indonesia, gurita memiliki nilai ekonomis penting. Namun, informasi produksinya minim meski spesies laut ini komoditas ekspor. Sebagai contoh, di 2020, ekspor gurita berada pada peringkat ketiga setelah udang dan tuna-tongkol-cakalang. Itu pun gurita digabungkan dengan cumi dan sotong dengan nilai mencapai USD 131,94 juta (KKP, 2020).

Penangkapan gurita di Indonesia didominasi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana, dan mesin perahu di bawah 10 Gross Tonnage [GT]. Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, merupakan penghasil gurita di Indonesia. Hal itu bisa dilihat di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, sebagai desa pesisir yang ikut memberikan kontribusi bagi ekspor gurita Indonesia.

Baca: Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Dawir Muding mencari gurita di wilayah tangkap di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dawir Muding, 52 tahun, adalah satu dari sekian banyak nelayan penangkap gurita di Desa Uwedikan. Dalam sehari, dia bisa menangkap gurita dua kali; mulai dari jam 07.00 pagi hingga jam 12.00 siang atau pada pukul 17.00 sore hingga 21.00 malam. Ada beberapa cara digunakan menangkap gurita, salah satunya ketika air laut sedang surut. Dawir akan berdiri di atas perahu, sambil matanya memperhatikan lubang-lubang karang yang dianggap ada guritanya.

“Jika di karang ada gurita, saya turun dari perahu, berenang memakai kacamata lalu menusukkan tombak atau kawat besi yang ujungnya lancip untuk mengambil gurita,” ungkapnya.

Jelang siang di akhir September 2020, Dawir menunjukkan cara itu. Lokasinya di Pulau Balean, sekitar 15-20 menit dari tempat tinggalnya. Meski saat itu belum memasuki musim gurita, hasil tangkapan hariannya rata-rata 3-5 ekor. Di perairan laut Desa Uwedikan, musim gurita pada Februari, Maret, dan April.

“Jika sedang musim, saya dapat 40 ekor sehari,” ujarnya.

Sayang, harga gurita kini anjlok. Perusahaan belum ada yang mengambil dari nelayan karena dampak pandemi corona. Dawir dan nelayan lainnya menjual gurita untuk masyarakat lokal saja, di pinggir jalan. Terpaksa, dijual per ekor dengan nilai 17 ribu hingga 25 ribu Rupiah. Sebelum pandemi, harga normal 35 ribu hingga 45 ribu Rupiah per kilogram.

Baca: Berburu Gurita di Laut Banggai [Bagian 1]

 

Dawir Muding menyelam untuk mencari gurita yang berada di karang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pendataan gurita

Siang itu, Dawir berhasil mendapat tiga ekor gurita. Ketika dirasa cukup, ia segera menghidupkan mesin ketinting dan pulang. Sesampai di rumah, dua perempuan muda sudah menunggu; Indira Moha dan Rifka Febriyanti Pampawa. Mereka enumerator yang khusus mencatat gurita hasil tangkapan nelayan. Keduanya ditugaskan oleh Perkumpulan Japesda [Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam], sebuah lembaga non pemerintah yang bermitra dengan Blue Ventures.

Indira dan Rifka bergantian mengukur berat gurita, jenis kelamin, hingga panjang kepala. Hasilnya dicatat Rifka dalam buku album yang sudah disiapkan. Selain mengidentifikasi biologi gurita, keduanya juga mencatat nama nelayan, waktu tangkapan, lokasi, alat tangkap, jenis perahu yang digunakan, hingga alur pemasaran.

“Pendataan kami lakukan setiap hari, saat nelayan pulang melaut,” ungkap Indira.

Karena pengepul gurita di desa ini belum beraktivitas, keduanya harus mendatangi rumah nelayan. Setelah pendataan selesai, informasi itu selanjutnya direkap oleh Jalipati Tuheteru dan Ikbal Karau, staf lapangan Japesda, ke dalam formulir yang sudah disediakan.

“Data akan digunakan sebagai strategi mengembangkan dan mengelola perikanan gurita ke depannya,” ungkap Jalipati.

Baca juga: Tidak Sembarang, Berburu Gurita Ada Aturannya [Bagian 2]

 

Gurita berhasil didapat tanpa harus merusak habitat yang ada. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Desa Uwedikan memiliki potensi tiga ekosistem yaitu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang sebagai pendukung keberlanjutan perikanan. Pada 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, telah menetapkan Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Laut, dan Kabupaten Banggai Kepulauan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kebijakan ini dianggap baik untuk mengembangkan strategi pengelolaan perikanan ekonomis sekaligus untuk menjaga habitat. Juga, berpeluang besar untuk menunjang pengembangan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil berkelanjutan.

“Perikanan gurita kami jadikan sebagai satu pintu masuk untuk membuat model pengelolaan berkelanjutan dengan prinsip konservasi,” lanjut Jalipati.

 

Dawir Muding menunjukkan gurita hasil tangkapannya. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Untuk meningkatkan produktivitas perikanan gurita, data dan informasi penting dikelola. Selain itu, agar tidak terjadi penangkapan berlebihan di kemudian hari, Japesda yang berkegiatan di Desa Uwedikan mendorong nelayan gurita melakukan penutupan lokasi penangkapan sementara. Penutupan ini cocok dengan siklus hidup gurita yang singkat dan pertumbuhannya cepat.

“Sebelum menuju penutupan sementara selama tiga bulan, maka informasi yang dicatat setiap hari enumerator menjadi bahan dasar kami untuk melakukan penutupan tersebut. Tujuannya, untuk meningkatkan jumlah, sehingga menghasilkan tangkapan yang besar dengan jumlah banyak dan bisa memengaruhi kondisi ekonomi nelayan,” tambah Ikbal.

 

Gurita tangkapan nelayan yang biasanya diekspor kini dijual di jalanan dengan cara digantung. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Hasil pendataan gurita di Desa Uwedikan diharapkan bisa memberi gambaran ke level kabupaten, provinsi, hingga nasional. Sebab, selama ini gurita tidak masuk dalam Rencana Pengelolaan Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Padahal gurita memiliki peranan yang sama penting dengan komoditas perikanan lainnya.

 

Rifka Febriyanti Pampawa dan Indira Moha, adalah enumerator yang tugasnya khusus mencatat dan mendata gurita tangkapan nelayan di Uwedikan, setiap hari. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Di Uwedikan sendiri penangkapan gurita tidak hanya dilakukan laki-laki. Perempuan ikut menangkap saat air laut sedang surut. Jika musim gurita datang, jumlah perempuan biasanya lebih banyak dari sebelumnya. Alat tangkapnya juga sederhana, tombak dan panah. Namun jika di kedalaman 10-15 meter, penangkapan dilakukan oleh nelayan laki-laki dengan alat tangkap berupa imitasi gurita dan yang menyerupai kerang atau udang.

Gurita tangkapan nelayan yang ada di Kabupaten Banggai biasanya dibawa ke perusahaan eksportir di Kota Luwuk. Setelah itu, akan transit ke Surabaya atau Makassar, dan selanjutnya diangkut ke negara tujuan ekspor yang didominasi Amerika dan Eropa.

“Nelayan kecil menjadi kunci dalam pengelolaan perikanan gurita di Indonesia,” papar Jalipati.

 

 

Exit mobile version