Mongabay.co.id

Koalisi Nilai UU Cipta Kerja Ancaman bagi Warga, Memanjakan Pebisnis Tambang

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, pada 5 Oktober lalu. UU ini biasa disebut omnibus law karena berisi penyederhanaan 70-an lebih aturan di negeri ini, termasuk soal pertambangan, energi, ketenagalistrikan dan tenaga nuklir. Setelah pengesahan di sidang paripurna pun muncul beberapa versi draf, dari 905 lembar—draf muncul usai sidang paripurna. Kemudian, menyusul 1.052, lalu 1.035, terakhir 812 lembar.

Dalam draf ketok palu pada sidang paripurna itu, paragraf lima mulai halaman 181, Pasal 38 mengubah sebagian UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 21/2014 tentang Panas Bumi, dan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan maupun UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam konferensi pers beberapa waktu lalu mengatakan, inti perubahan dalam UU ini untuk memudahkan investasi, meningkatkan nilai tambah sumber daya alam supaya investasi bisa menyerap tenaga kerja.

Dalam UU ini juga diatur sanksi bagi setiap orang yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang sudah mempunyai perizinan berusaha baik izin usaha khusus maupun pertambangan rakyat.

“Untuk migas masih tetap mengacu pada UU No 22 tahun 2001 yang rincian lanjut akan dibahas dalam revisi UU Migas yang akan mulai 2021,” katanya.

Arifin menekankan, beberapa pasal yang dihilangkan termasuk soal kewenangan daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pemanfaatan panas bumi di wilayah perairan.

UU Minerba yang diubah, pada Pasal 128 dan 129 disisipkan Pasal 128A yang memberi perlakuan tertentu bagi pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah. Dengan pengenaan royalti 0% yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Dengan kata lain, perusahaan batubara yang membangun smelter misal, tidak perlu membayar royalti kepada negara.

 

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Kemudahan bagi pengusaha batubara

Pasal ini sontak menimbulkan reaksi berbagai kalangan. Koalisi Organisasi Masyarakt Sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menilai, sisipan pasal ini adalah kado presiden dan DPR untuk pengusaha tambang.

“Ini mengonfirmasi, regulasi kontroversial itu diduga kuat pesanan dari oligarksi, pengusaha tambang terutama batubara,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Saat negara mengalami resesi ekonomi, kata Merah, rakyat kehilangan pekerjaan dan meregang nyawa karena pandemi yang tak kunjung usai, presiden dan DPR justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batubara.

“Semua ini terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja ini sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur baur.”

Dia bilang, sekitar 50% isi anggota DPR dan pimpinan juga terhubung dengan bisnis batubara. Bahkan, Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batubara yang akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini.

Iqbal Damanik, peneliti Auriga Indonesia, mengatakan, pemberian royalti 0% ini sama dengan memberikan batubara cuma-cuma kepada pengusaha batubara, mengkhianati amanat UU 45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Menurut Iqbal, insentif ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran yang beriringan dengan makin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tak layak huni.

“Situasi ini bertentangan dengan niat Pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN [rencana pembangunan jangka menengah nasional],” kata Iqbal.

Sejak tahun lalu sebelum pandemi, sejumlah perusahaan batubara besar sudah mengalami kesulitan keuangan dengan utang jatuh tempo pada 2020-2022.

Moody’s Investor Services mencatat, total utang perusahaan mencapai US$2,9 atau sekitar Rp4,2 triliun, akan jatuh tempo pada 2022.

Utang ini berbentuk kredit perbankan atau obligasi. Melalui UU Cipta Kerja yang dinilai menunggangi pandemi, kewajiban perusahaan untuk menyetor royalti dapat diskon sampai 100%.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

Artinya, kata Iqbal, ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga US$1,1 miliar dan US$1,2 miliar dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batubara.

Saat sama, Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan, eksploitasi di daerah memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanah mereka. Bahkan, katanya, dalam Pasal 47 dan 48 bagian pemanfaatan ruang laut juga disebut, perizinan berusaha pemanfaatan di laut untuk kegiatan biofarmakologi laut hingga kegiatan usaha pertambangan migas mineral dan batubara.

“Biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan buntung,” kata Kisworo.

 

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Dengan UU Omnibus, warga penolak rawan terancam sebagai penggangu operasi perusahaan tambang hingga bisa terjerat hukum. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pidana ancam warga, pebisnis lebih ringan

Dalam beberapa pasal di paragraf lima dan enam menyebut, soal perubahan pasal pidana dan denda. Menurut Iqbal, pasal-pasal terkait pidana cenderung mereduksi hukuman bagi pemerintah dan perusahaan namun tetap tegas untuk masyarakat.

Misal Pasal 162 dalam perubahan UU Migas tetap menyebut setiap orang yang merintangi usaha pertambangan pemegang perizinan berusaha bisa dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun, denda maksimal Rp100 juta.

Dokumen:  RUU Cipta Kerja Final di Paripurna

Begitu juga dengan Pasal 46 di UU Panas Bumi menambahkan hal serupa dengan ancaman pidana maksimal tujuh tahun dan denda maksimal Rp70 miliar. Sebelumnya, UU Panas Bumi tak mengatur soal ini.

Sementara itu, pasal pidana bagi perusahaan hanya diatur bagi perusahaan yang melakukan kegiatan tanpa perizinan berusaha. Dalam Pasal 52 dan 53 perubahan atas UU Migas menyebut, setiap orang yang mengeksplorasi atau eksplorasi tanpa perizinan berusaha atau kontrak kerja sama dipidana maksimal enam tahun dan denda Rp60 miliar. Kalau kegiatan itu mengakibatkan korban atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan, dapat dipidana maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp50 miliar.

Pun di perubahan untuk UU Panas Bumi, Pasal 67-69 mengatur pidana dan denda bagi kegiatan tanpa perizinan berusaha. Bahkan di bagian panas bumi ini, kegiatan pemanfaatan tak langsung yang menimbulkan korban kerusakan baik kesehatan, keselamatan maupun lingkungan, tak menyebut ada pidana hanya denda maksimal Rp50 miliar.

Aturan ini, kata Iqbal, mengkhawatirkan, mengingat Pasal 1 perubahan UU Migas juga menyebut, wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan dan landas kontinen Indonesia.

Dengan kata lain, seluruh jengkal Indonesia adalah wilayah hukum pertambangan. Dalam UU Panas Bumi dan Ketenaganukliran juga disebutkan, panas bumi dan bahan galian nuklir dikuasai negara.

“Ini berbahaya kalau peraturan turunannya tak jelas,” kata Iqbal.

Proyek panas bumi, katanya, sebagian besar berada di hutan lindung/konservasi atau wilayah produksi masyarakat.

Artinya, pasal ini bisa kena kepada masyarakat yang menolak pembangunan proyek panas bumi di wilayah mereka, seperti di Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Di bagian lain UU Cipta Kerja ini mereduksi peran analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan menutup ruang partisipasi publik yang sebelumnya terakomodir dalam Komisi Amdal.

Iqbal menegaskan, Pasal 23 dan 53 yang disebut pada UU Cipta Kerja spesifik untuk kegiatan ilegal. Kalau melihat kasus tumpahan minyak di Karawang, beberapa waktu lalu, UU ini tak akan menyentuh Pertamina. Kalau misal penambang minyak ilegal seperti yang marak terjadi di Bojonegoro, baru terjerat. Lagi-lagi, katanya, UU ini menunjukkan keberpihakan pada industri skala besar, meskipun tak dipungkiri penyedotan minyak ilegal juga banyak mafianya.

Sisi lain, pasal-pasal pidana bagi pemegang perizinan berusaha yang melanggar, dikurangi dari UU sebelumnya bahkan hanya jadi sanksi administratif. Dia sebutkan, antara lain, Pasal 72 menyatakan, pemegang perizinan berusaha kegiatan di luar lokasi usaha hanya membayar denda paling banyak Rp50 miliar.

Aturan pidana maksimal 10 tahun pada UU sebelumnya, dihapus.

Padahal, katanya, tanpa dikurangi pun, UU sebelumnya telah memberi ruang bagi pemegang izin selama enam bulan untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang izin kalau ada pelanggaran.

 

Aksi dorong energi terbarukan, tolak nuklir oleh Greenpeace Indonesia di depan DPR Jakarta, awal Maret lalu. Foto; Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Keteranaganukliran?

Ditambah lagi dalam perubahan terhadap UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran, semua juga ditarik ke pemerintah pusat. Bahkan, pemerintah pusat juga yang bertanggungjawab menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi dengan persetujuan DPR.

Pada bagian ini, porsi pidana bagi pelanggaran dekomisioning reaktor nuklir juga dikurangi dari 15 tahun jadi 10 tahun dengan denda maksimal Rp10 miliar.

Kalau kegiatan menimbulkan korban dan kerugian, pidana juga dikurangi dari 20 tahun jadi 15 tahun dengan denda maksimal Rp20 miliar.

“Pasal ini mewadahi suatu saat ketika nuklir disetujui. Ini menunjukkan, pemerintah menyediakan ruang untuk itu. Jadi, orang bikin nuklir, limbah dikasih ke pemerintah.”

 

 

Ketenagalistrikan?

Dari perubahan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, Indonesia Center of Enviromental Law (ICEL) menilai, perubahan dalam UU ini masih bermasalah terutama dalam partisipasi publik dalam proses perencanaan, ketentuan mengenai konten lokal, sampai pengawasan DPR khawatir akan berpengaruh terhadap usaha transisi energi di Indonesia.

Kalau UU lain menghapus semua kewenangan daerah, UU Ketenagalistrikan dalam omnibus law tetap memberi kewenangan secara atribusi dalam penyelenggaraan usaha ketenaglistrikan, seperti tertuang dalam Pasal 5.

Namun, menurut ICEL, Pasal 4 UU ini cukup rancu karena menyatakan, BUMD setara badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat yang hanya dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

 

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012.  Dengan ada UU Omnibus, akankah makin menyulitkan pengembangan energi terbarukan yang berkeadilan? Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut dokumen analisis ICEL yang terbit sehari setelah ketok palu UU Cipta Kerja, kalau UU No 30/2009 menganut prinsip otonomi daerah, seharusnya BUMD tak dalam posisi setara dengan badan usaha swasta, koperasi dan lain-lain. Karena BUMD adalah bagian dari negara.

Pasal lain yang disoroti ICEL adalah Pasal 7 yang menghapus kewajiban pemerintah pusat berkonsultasi dengan DPR dalam menyusun rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN). Padahal, sebut analisis itu, kewajiban ini wujud fungsi pengawasan DPR untuk memastikan perencanaan ketenagalistrikan membawa semangat transisi energi adil dan berkelanjutan.

Konsultasi dengan DPR juga jadi satu-satunya celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ketenagalistrikan, karena dalam tataran implementatif penyusunan RUPTL sama sekali tak ada ruang partisipasi publik.

Mengenai local content yang disebut dalam pasal 11 ayat 3 menekankan bahwa dalam usaha penyediaan tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

Menurut ICEL, ketentuan ini perlu dicermati karena dalam pembangunan energi terbarukan, penerapan local content yang tak cermat dapat membuat proyek energi terbarukan lebih mahal.

Kondisi berbeda dengan pengembangan energi fosil yang tak bergantung pada transfer teknologi baru, hingga aturan ini akan berdampak lebih besar ke energi terbarukan.

 

Sentralisasi

Hal lain yang jadi sorotan setelah ketok palu UU ini adalah frasa pemerintah pusat yang mengambil alih kewenangan pemerintah daerah. Juga banyak perubahan pasal yang mensyaratkan aturan turunan berupa peraturan pemerintah. Di beberapa pasal bahkan mengganti kewenangan menteri dengan pemerintah pusat.

Menurut Iqbal, regulasi untuk menyederhanakan perizinan ini justru menambah regulasi, menimbulkan kembali sentralisasi dan menambah beban kerja presiden.

Lihat saja Pasal 5 dan 6 perubahan atas UU Panas Bumi yang menyebut hal terkait penyelenggaraan, perizinan berusaha hingga pengawasan semua oleh pemerintah pusat. Pun menyebut kewenangan pemerintah provinsi atau kota/kabupaten, tetap dengan catatan sesuai ketetapan pemerintah pusat.

Tak heran kemudian Pasal 12, 13 dan 14 yang mengatur kewenangan daerah dan harga , dihapus.

Pasal 15 kemudian menyatakan, perlu aturan lanjutan berupa peraturan pemerintah soal harga. Menariknya, Pasal 25 yang mengatur pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tak langsung di wilayah konservasi perairan yang sebelumnya wajib mendapat izin menteri bidang kelautan juga dihapus.

“Ini nanti jadi suka-suka presiden mau dikasih ke siapa.” Padahal, katanya, kalau izin berada di dua kementerian seperti tercantum pada Pasal 25 UU Panas Bumi, berperan memperkuat fungsi pengendalian.

Dia contohkan, ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerak (KESDM), yang punya target PNBP tersendiri melihat potensi panas bumi di perairan. Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa punya pandangan berbeda soal potensi wilayah tangkap nelayan tradisional.

“Makin tinggi risiko usaha memang harus lebih ribet. Mendirikan klinik dan rumah sakit kan beda eksternalitasnya,” kata Iqbal.

Bagi Iqbal, bukan berarti mengecilkan peran perizinan satu pintu yang memudahkan investor membangun usaha di Indonesia. Namun, katanya, meskipun one single submission (OSS), ada fungsi koordinasi yang tak bisa lepas karena kegiatan ini sudah dipastikan akan memiliki eksternalitas negatif.

“Presiden juga akan kewalahan untuk mendistribusikan wewenang kalau begini. Entah kenapa perlu ditegaskan pemerintah pusat, padahal wewenang itu sudah melekat pada presiden. Terlihat Presiden insecure di sini,” kata Iqbal.

 

 

Keterangan foto utama: Tongkang batubara di Muara Sungai Samarinda, Kalimantan Timur. Pertambangan barubara salah satu sektor yang bakal menerima diskon royalti.  Foto: Tommy-Apriando

Exit mobile version