Mongabay.co.id

Jemput LIN, Maluku Harus Siapkan SDM, Etos Kerja dan Bicara Anggaran

 

Tahapan Maluku untuk ditetapkan menjadi Lumbung Ikan Nasional (LIN), kini telah sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Pada 15 September 2020 lalu, DPR RI telah menerima usulan anggaran dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar Rp3,2 triliun. Anggaran ini diperuntukkan bagi Provinsi Maluku dan Maluku Utara.

Menyambut hal tersebut, Rektor Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, M. J. Sapteno mengatakan, Fakultas Perikanan dan Kelautan harus menyiapkan berbagai konsep strategis, data atau riset terkait potensi perikanan untuk disampaikan ke Pemerintah Maluku dan Kabupaten/Kota.

“Kita juga harus siapkan SDM berkualitas di sektor ilmu kelautan dan perikanan. Kemudian betul-betul punya etos kerja tinggi,” kata Sapteno dalam Webinar Lumbung Ikan Nasional, Diantara Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan, Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, Kamis (8/10/2020).

Sisi lain, perlu menciptakan satu sistem kerjasama dengan semua institusi di provinsi, dan kabupaten/kota, termasuk Pemerintah Pusat. Pasalnya, LIN bukan saja berbicara soal ikan, tapi tentang berbagai hal serta SDM, partisipasi masyarakat dengan etos kerja tinggi sampai tentang budidaya.

“Kalau tidak kita siapkan SDM pada tataran etos kerja yang tinggi, suatu ketika kita akan bersungut-sungut. Kalau kita bicara tentang sumber daya berkelanjutan tangkap, suatu ketika ikan akan habis. Oleh karena itu perlu ada teknologi dan juga strategi budidaya perikanan handal,” jelasnya.

baca : Mewujudkan Lumbung Ikan Nasional dari Wacana Menjadi Terlaksana

 

Nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara mengangkut ikan hasil tangkapannya. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Maluku juga harus menyiapkan infrastruktur, transportasi, cold storage di berbagai daerah, agar sumber daya bisa dipersiapkan untuk dibawa ke sentra produksi.

Terkait industri, perlu disiapkan industri turunan dari bahan baku. Industri turunan itu artinya, bukan saja mempersiapkan ikan tuna kemudian diekspor, tapi mesti dibarengi dengan industri lain.

“Jadi semua sektor harus siapkan, termasuk parawisata. Yang berikut, pihak universitas harus siapkan data potensi yang ada di Maluku, dengan kondisi wilayah masing-masing,” tegasnya.

Jadi perlu pendekatan secara konprehensif dari semua stakholder, kemudian badan-badan lain yang punya kaitan, sehingga seluruhnya bisa terpadu guna menyelesaikan persoalan LIN, termasuk pengelola perbatasan.

“Karena potensi perikanan kita juga luar biasa. Dengan teknologi yang canggih, perusahaan-perusahaan asing bisa mengarahkan tuna menggunakan satelit. Jadi kalau seperti itu, suatu ketika potensi perikanan kita akan berkurang,” ujar Sapteno.

Dia berharap, seluruh elemen penting di pusat dan daerah mendorong LIN ini secepatnya, agar apa yang menjadi cerita masyarakat Maluku terwujud. Jadi bukan sekedar lumbung, tetapi harus dielaborasi lebih jauh untuk kepentingan masyarakat.

baca juga : Pemerintah Tinjau Lokasi Pelabuhan Terpadu di Maluku, Apakah LIN Segera Terwujud?

 

Seorang remaja di Pulau Buru, Maluku, memperlihatkan potongan tuna yang baru diturunkan dari perahu. Sejak program fair trade Yayasan MDPI dipraktikkan, nelayan kecil mulai merasakan dampak positifnya bagi mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Anggaran LIN

Abdullah Tuasikal, Anggota DPR RI asal Maluku saat webinar mengatakan, pihaknya di legislatif memiliki tiga fungsi yakni, legislasi, pengawasan dan anggaran. Untuk bidang legislasi, banyak yang sudah dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan, baik rapat dengar pendapat maupun rapat kerja dengan kementerian.

“Sebagai aleg (anggota legislatif), kita harus terima banyak masukan dari Pemerintah Daerah maupun Perikanan Unpatti dengan semua disiplin ilmu. Karena setiap rapat dengar pendapat, kita akan menyampaikan berbagai potensi daerah dan skala prioritasnya,” kata Abdullah.

Jika tidak ada skala prioritas, uang negara tidak mampu untuk membelanjakan semua program yang ada. Dia bilang, yang menjadi referensi saat ini adalah potensi sumber daya ikan nasional berdasarkan putusan Menteri KKP No.50/2017, sebesar 12.541.437 ton pertahun.

“Maluku memiliki tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dengan potensi perikanannya sekitar 4.669.030 ton per tahun. Nah, ini menjadi referensi kita,” katanya.

Dia mengatakan, di DPR mereka selalu mengingatkan KKP memperhatikan Maluku, yang memiliki potensi ikan nasional.

“Prinsipnya, 4 Aleg di DPR RI dan 4 lain DPD akan terus berjuang,” katanya.

Meski demikian, dia meminta agar ada data yang detil kepada mereka di pusat. Alasan Maluku tidak menjadi perhatian Pemerintah Pusat, katanya, karena memang tidak memiliki data untuk dijual. Sementara daerah-daerah lain mampu mempresentasikan potensi wilayahnya.

“Sebagai perwakilan Maluku di pusat, saya bersama teman-teman akan mengawal program ini, baik dari sisi anggaran maupun legislasi dan sistem pengawasan,” janjinya.

Menurut dia, Maluku memiliki potensi perikanan sangat besar, namun nelayan-nelayan tidak difasilitasi dengan baik. Tapi dia berharap, dengan adanya anggaran Rp1,5 triliun yang sudah diusulkan, bisa mendorong keberlanjutan perikanan di Maluku.

“Sudah dua kali rapat dengar pendapat. DPR RI memberikan persetujuan untuk Rp3,2 triliun, yang didalamnya ada Rp1,5 triliun untuk mendukung Maluku sebagai LIN. Sehingga, saya mau ingatkan kepada Pemerintah Provinsi agar tidak hanya berjalan sendiri, karena agak repot,” ingatnya.

Artinya, jika hanya mengandalkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Bapedda, akan kesulitan. Untuk itu harus melibatkan potensi kepala-kepala DKP di kabupaten/kota.

perlu dibaca : Program Lumbung Ikan Malut, Pemerintah Diminta Prioritaskan Nelayan Kecil

 

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Greenpeace

 

Sementara Abdul Haris, Kepala DKP Provinsi Maluku menjelaskan Pempus melalui KKP yang menyiapkan pembiayaan sebesar Rp1,5 triliun tersebut, diperuntukkan bagi pembangunan pelabuhan perikanan terpadu dan pasar ikan bertaraf nasional.

“Yang dijelaskan aleg DPR RI soal anggaran sebesar Rp3,2 triliun, kemudian di dalamnya ada Rp1,5 triliun itu adalah anggaran tambahan. Sementara di luar anggaran yang sebenarnya, telah ada pagu untuk KKP sebesar Rp6,6 triliun kepada 34 provinsi, termasuk Maluku,” ungkapnya.

Jadi pembangunan infrastruktur lain, penyiapan SDM, kemudian pelaku-pelaku utama, kata Haris, nanti diambil dari pembiayaan rutin yang disiapkan di KKP dan pembiayaan melalui APBD DKP Maluku. Sementara Rp1,5 trilun untuk penyiapan infrastruktur.

Sebelumnya untuk mendorong realisasi LIN, DPR telah menyetujui usulan anggaran Rp 3,2 triliun untuk Maluku dan Maluku Utara. Komisi IV DPR RI mendukung KKP untuk merealisasikan program LIN di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Bentuk dukungan ini tertuang dalam kesimpulan rapat kerja antara Komisi IV dengan KKP, pada Selasa (15/9/2020) lalu.

Tak hanya itu, parlemen juga menyetujui usulan tambahan pagu alokasi anggaran tahun 2021 KKP sebesar Rp3,4 triliun. Dana ini akan digunakan untuk LIN sebesar Rp3,2 triliun dan sisanya untuk sarana-prasana program desa wisata bahari (Dewi Bahari), serta pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) di 100 kawasan.

“Berdasarkan surat Menteri Kelautan dan Perikanan nomor B451/MEN/KP/VIII/2020 tanggal 25 Agustus 2020 sebesar Rp 3.286.000.000.000,- yang peruntukannya antara lain untuk merealisasi Maluku dan Maluku Utara sebagai Lumbung Ikan Nasional,” kata Ketua Komisi IV, Sudin dalam rilis diterima Mongabay Indonesia.

Selain itu, legislatif juga menyetujui pagu dana alokasi khusus (DAK) KKP 2021 sebesar Rp1 triliun dengan rincian, DAK Provinsi sebesar Rp350 miliar dan DAK kabupaten/kota Rp 650 miliar. Karenanya, Komisi IV meminta KKP untuk menyampaikan pemilihan menu DAK 2021 dari provinsi dan kabupaten/kota, selambat-lambatnya awal Desember 2020.

baca juga : Menteri KKP Berjanji Wujudkan Wacana Lama Lumbung Ikan Nasional di Maluku

 

Seorang nelayan dengan pancing ulur menangkap ikan tuna di perairan Pulau Buru, Maluku. sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat MSC. Foto : Indah Rufiati/MDPI

 

Dalam rapat yang berlangsung sekira 2,5 jam ini, DPR menerima penjelasan realisasi penyerapan anggaran KKP 2020 yang telah mencapai Rp2,7 triliun per 11 September 2020. Prosentase serapan tersebut mencapai 54,44% dari total pagu anggaran sebesar Rp5,08 triliun.

“Komisi IV mendorong KKP untuk melakukan percepatan kinerja program dan kegiatan dengan meningkatkan penyerapan anggaran 2020 secara optimal,” sambungnya.

Adapun untuk tahun depan, DPR menyetujui pagu anggaran sebesar Rp6,65 triliun, yang terbagi untuk Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Rp763,57 miliar, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Rp1,21 triliun, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Rp1,07 triliun dan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Rp431,70 miliar.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Rp455,35 miliar, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Rp1,52 triliun, Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) Rp603,71 miliar, Sekretariat Jenderal (Setjen) Rp497,64 miliar dan Inspektorat Jenderal (Itjen) Rp86,76 miliar.

Sekjen KKP, Antam Novambar memastikan jajarannya akan terus bekerja untuk memaksimalkan serapan anggaran hingga akhir tahun. Menurutnya, masih terdapat sejumlah kegiatan maupun program yang sedang dan akan dikerjakan, terutama di Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya.

baca : Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

Seorang nelayan tuna saat aktivitas di laut Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Foto : MDPI

 

Potensi

Abdul Haris menyebut, kalau melihat Peraturan Menteri KKP No.50/2017 tentang estimasi potensi di wilayah pengelolaan perikanan RI, potensi nasional tercatat 12,5 juta ton pertahun, sementara untuk Maluku 4,6 juta ton pertahun.

“Ini berada pada tiga wilayah pengelolaan perikanan dari 11 WPP yang ada di Indonesia, 3 WPP 714 di Laut Banda, 715 Laut Seram dan 718 laut Arafura,” jelasnya.

Sementara untuk perikanan tangkap, Maluku didukung dengan beberapa sarana dan prasarana, diantaranya ada 13 pelabuhan perikanan. Dua diantaranya, PPN Ambon dan Tual merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan 11 lain menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Dari 11 ini baru dua yang operasional, yakni Pelalabuhan Perikanan Pantai Dobo dan Banda. Sementara dua lagi masih tersendat-sendat, yakni PPI Eri di Ambon dan PPI Amahai di Maluku Tengah. Sementara yang sisanya, masih kesiapan untuk operasional.

Selain itu juga, sambung Haris, ada beberapa pelabuhan yang dimiliki perusahaan-perusahaan swasta baik di Ambon dan lainnya. Kemudian selain potensi perikanan tangkap, Maluku juga punya potensi perikanan budidaya, dimana sesuai dengan tata ruang laut atau RZWP3K dan Pemanfaatan, potensi lahan untuk budidaya perikanan sebanyak 183.046.40 hektar.

“Saya kira ini belum dimaksimalkan, diharapkan dengan adanya LIN, selain perikanan tangkap, kita akan mendorong pengembangan perikanan budidaya,” katanya.

Demikian pula, dengan sarana dan prasarana untuk pengolahan serta pemasaran perikanan, kata dia, di Maluku terdapat sekitar 105 cold storage yang tersebar di hampir semua kabupate/kota, dengan kapasitas total lebih kurang 15.603 ton. Selain itu ada 59 unit pengolahan ikan yang tersebar di Maluku.

Maluku pun didukung oleh ekosistem pesisir dan laut. Ada tiga ekosistem utama pesisir dan laut, yakni mangrove, lamun dan terumbu karang, dengan luasnya masing-masing.

“Kita juga memiliki 1.340 pulau dengan panjang garis pantai lebih kurang 10.630 km. Selain itu didukung oleh 1.045 desa pesisir, yang rata-rata penduduknya adalah nelayan,” sebutnya.

Dari gambaran itu, Maluku perlu membuat satu kebijakan dan strategi tentang bagaimana mengelola potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar tersebut.

 

Hasil penangkapan ikan oleh nelayan di Maluku. Foto : Amrullah Usemahu

 

Jika dilihat, untuk kebijakan LIN ini ada beberapa hal yang harus disiapkan Pemerintah Maluku terkait kesiapan mereka dalam menyambut implementasi LIN. Yakni, menyiapkan dokumen perencanaan, mendorong percepatan penetapan payung hukum LIN, dalam bentuk Peratuarn Presiden.

“Memang di tahun 2014 akhir hingga pertengahan 2015 pernah dibuat, tetapi belum sampai ke meja presiden. Sehingga pada tahun 2020 ini, kita perlu mendorong kembali percepatan Rancangan Peraturan Presiden yang telah dibuat dan segera ditetapkan,” tegas Haris.

Kemudian ketiga, perlu penyiapan lahan terkait dengan sentra industri perikanan terpadu. Dan sementara ini, kata dia, Pemerintah Provinsi Maluku telah beberapa kali melakukan rapat koordinasi dengan Pemerintah Pusat.

Sementara dari sisi keberpihakan terhadap nelayan-nelayan kecil, sebenarnya dalam konteks green design, Maluku memiliki paradigma baru, yakni terkait konsep hulu-hilir. Jadi mulai saat penangkapan, pembudidayaan, pasca panen, distribus, pemasaran hingga ekspor.

“Dalam beberapa kesempatan wibenar, konsultasi publik terkait green design LIN, sudah kami jelaskan tentang posisi dari pelaku-pelaku utama perikanan. Yang paling penting pelaku utama, seperti nelayan, pembudidaya, pengelola dan pemasar hasil perikanan. Setelah pelaku utama, baru kita perhatikan posisi pelaku usaha, baik perorangan dan berbadan hukum,” ujarnya.

Jadi posisi pengembangan LIN ini, lanjut dia, ada posisi shaf dan haf. Shaf berada pada sentra-sentra perikanan, baik tangkap, desa-desa nelayan dan pelabuhan-pelabuhan perikanan. Sementara untuk budidaya, ada sentra budidaya, balai budidaya. Tentu, akan didorong dengan potensi masing-masing wilayahnya.

 

Exit mobile version