Mongabay.co.id

Mengapa Lingkungan Hidup Terancam dengan Ada Omnibus Law?

TNGL merupakan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis karena memiliki keanekaragaman hayati luar biasa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

Kehadiran UU Cipta Kerja, yang menyederhanakan lebih 70 aturan di negeri ini untuk kemudahan berinvestasi dengan alasan agar mendorong penciptaan lapangan kerja. Bermacam UU pun diubah, termasuklah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan. Dalam analisis isi draf Rancangan Undang-undang ini–sejak awal, sampai sidang paripurna dan berseliweran berbagai versi draf–muncul kekhawatiran besar terjadi pelemahan terhadap perlindungan lingkungan hidup.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) saat dihubungi Mongabay, pekan lalu mengatakan, ada risiko tinggi bagi lingkungan di balik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Cipta kerja. “Ketika sebuah izin diberikan dengan mudah, maka ada risiko tinggi di dalamnya,” katanya.

Hal senada pun terucap dari Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas. Dia bilang, banyak pasal-pasal dalam omnibus law yang dapat mempercepat deforestasi.

Kondisi ini, terlihat dari perubahan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dalam UU Cipta Kerja.

Ayat yang berbunyi ‘luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional’ itu mengalami perubahan signifikan. Batasan minimal 30% kawasan hutan dihapus dalam UU Cipta Kerja.

“Ini ancaman paling mendasar dari perlindungan kawasan hutan,” kata Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional.

Potensi alih fungsi kawasan hutan secara masif juga terlihat dari perubahan Pasal 19 ayat 1 UU 41/1999 yang dalam omnibus law berbunyi perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu. Kata ‘mempertimbangkan’ di sini merupakan perubahan dari kata ‘didasarkan’.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Berdasarkan analisis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), perubahan itu tidak hanya sekadar diksi tetapi melemahkan pasal itu.

Ketentuan batas minimal kawasan hutan 30% ini juga sebetulnya ada di dalam Pasal 17 ayat 5 UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Ayat ini berbunyi,” dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai.”

Dalam omnibus law, ketentuan minimal 30% kawasan hutan di ayat ini bernasib sama dengan Pasal 18 ayat 2 UU 41/1999.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Dalam catatan ICEL menyebut, kalau penghilangan batas minimal itu berpotensi meningkatkan alih fungsi kawasan hutan dalam proses perencanaan ruang.

“Jelas sekali kalau omnibus law ini melemahkan perlindungan lingkungan,” kata Raynaldo G Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL.

 

Aksi warga Rembang dan berbagai elemen di luar gedung PTUN Semarang, Kamis (16/04/2015) saat sidang pembacaan putusan gugatan warga Rembang. Putusan memenangkan warga Rembang. Kala  omnibus law berlaku, hak gugat masyarakat hilang.  Foto : Tommy Apriando

 

Pelemahan keterlibatan masyarakat

Masyarakat merupakan pihak paling merasakan dampak dari kerusakan lingkungan oleh perubahan kawasan. Keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat justru dikebiri dalam UU Cipta Kerja.

Hal ini bisa terlihat dari penghapusan Pasal 36 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mewajibkan izin lingkungan sebagai syarat suatu usaha.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Wahyu bilang, dengan penghapusan ini berimplikasi pada penghapusan Pasal 38 yang menyatakan kalau izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

“Hak gugat masyarakat hilang.”

Hak gugat masyarakat hilang, dalam analisis ICEL disebut sebagai upaya penghilangan akses masyarakat terhadap keadilan, termasuk terhadap proses peradilan yang dijamin dalam prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Manusia.

Dokumen:  RUU Cipta Kerja Final di Paripurna

Dalam catatan ICEL menyebutkan, pemerintah harus tetap menjamin hak acces to justice ini melalui koreksi atau pembatalan ‘persetujuan lingkungan’ yang dalam omnibus law dipakai sebagai pengganti diksi izin lingkungan.

Guna memastikan masyarakat dapat akses yang berkeadilan haruslah mulai dari kemudahan akses informasi. Dalam UU Cipta Kerja, akses informasi disebutkan dalam pengganti Pasal 39 ayat 2 jadi pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem elektronik dan, atau cara lain yang ditetapkan pemerintah pusat.

Terkait pasal ini, kata Dodo, sapaan Raynaldo, terkandung dua kelemahan, yaitu, tidak semua daerah atau masyarakat memiliki kemampuan mengakses sistem informasi elektronik karena keterbatasan sarana dan prasarana serta literasi digital. Norma perubahan ini, katanya, tidak mengatur kewajiban pemerintah memastikan masyarakat bisa mengakses informasi itu. Yang diatur hanyalah seputar informasi diumumkan.

“Hal ini jelas berpotensi menimbulkan konflik dan masalah nanti,” ucap Raynaldo.

Padahal, informasi ini merupakan hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28F. General Comment Komite HAM PBB paragraf 19 pun menegaskan, kalau negara harus proaktif menempatkan informasi publik dalam domain yang mudah terakses publik.

Indikator hak atas informasi terpenuhi, katanya, harus dilihat dari bagaimana informasi bisa diketahui atau dipahami masyarakat, bukan bagaimana informasi itu disampaikan.

Kepastian informasi pada masyarakat ini tidak tercantum dalam perubahan Pasal 26 tentang pelibatan masyarakat dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Dalam UU Lingkungan Hidup Pasal 26 ayat 2 disebutkan.”pelibatan masyarakat harus berdasarkan prinsip pemberian informasi transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.”

“Keterlibatan masyarakat ini pun dikerdilkan, kalau dulu disebut masyarakat terdampak, sekarang dispesifikan jadi masyarakat yang terdampak langsung,” kata Wahyu.

Kondisi ini jelas merugikan masyarakat yang tidak terdampak langsung. Pasalnya, beberapa industri atau usaha tertentu menghasilkan dampak lingkungan tak langsung seperti industri di sekitar Sungai Citarum dengan dampak aktivitas berpengaruh pada kualitas air sungai yang bisa dirasakan masyarakat Jakarta.

 

Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dokumen amdal semu

Pengebirian partisipasi publik pun terlihat dari penghapusan Komisi Penilai Amdal yang dalam UU Cipta Kerja diganti jadi tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan sebagaimana perubahan dalam Pasal 24.

Tim uji kelayakan pun komposisi jadi perwakilan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli bersertifikat.

Dalam catatan ICEL, berdasarkan UU Lingkungan Hidup, masyarakat ditempatkan sebagai pihak setara secara hukum untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hajat hidup mereka. “Tidak ada unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan yang sebelumnya ada dalam Komisi Penilai Amdal menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki. Ini berpeluang membuka partisipasi semu yang manipulatif,” kata Arie.

Bukan hanya masyarakat, katanya, perubahan konsep dalam penilaian amdal pun juga menghapus keterlibatan pihak yang konsern masalah lingkungan hidup, termasuk organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO) jadi hilang. Sebelumnya, aturan ini ada dalam UU Lingkungan Hidup Pasal 30 ayat 1 huruf f.

Herry mengatakan, peran organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam memastikan pengelolaan lingkungan berjalan baik.

“Saya lebih percaya pada CSO, daripada dokumen amdalnya. Kontrol mereka jadi kekuatan riil untuk tekan pengelolaan yang baik ketimbang berbagai macam policy document,” katanya.

Dalam catatan Greenpeace menyebutkan, kalau Lembaga Uji Kelayakan berada di pemerintah pusat membuat kerusakan lingkungan hidup jadi sulit terbendung. Proyek yang berdampak pada lingkungan itu berada di daerah. Kondisi ini akan membuat beban kerja pemerintah pusat jauh melampaui kemampuan dan laju kerusakan lingkungan hidup itu sendiri.

 

Lemahkan penegakan hukum

Hal lain paling kentara dalam perlindungan lingkungan hidup dalam omnibus law ini adalah pelemahan penegakan hukum . Hal ini terlihat dari perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait tanggung jawab mutlak perusak lingkungan.

Pada UU Lingkungan Hidup, menyebutkan, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan baik memakai, menghasilkan atau mengelola limbah B3 hingga menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam omnibus law kata “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dihilangkan.

“Padahal itu yang membuat banyak gugatan yang dimenangkan negara atau pemerintah dalam melawan korporasi,” kata Wahyu.

Dengan penghilangan kata ini, sebut ICEL, merancukan pemaknaan penormaan konsep strict liability pasal ini. Jadi, penjelasan pasal perlu memasukan karakteristik dari konsep tanggung jawab mutlak ini.

“Ada potensi tidak bisa digunakan kalau memang hakim atau para tergugat itu sangat kaku menafsirkan Pasal 88,” kata Raynaldo.

Wahyu menyebut, penghilangan kata ini bukan sekadar menghilangkan diksi, tetapi kejahatan lingkungan hidup, tidak bisa didekati dengan pendekatan pidana dan perdata biasa.

Kalau merujuk pada pasal-pasal yang diubah atau dihilangkan dari UU Lingkungan Hidup dalam omnibus law, katanya, pendekatan penegakan hukum diutamakan sanksi administrasi terlebih dahulu.

Dalam Cipta Kerja ini, katanya, sanksi hukum tidak berjalan beriringan sebagaimana UU Lingkungan Hidup sebelumnya. Ia bisa terlihat dari penambahan Pasal 82A, 82B dan 82C yang mengatur soal sanksi administratif.

Menurut Wahyu, penguatan sanksi administratif tak akan sebanding dengan pelemahan pasal-pasal afirmatif penegakan hukum seperti Pasal 88 ini. “Problem kita di implementasi penegakan hukum, bukan di atas kertas.”

Dia merujuk pada deposit kemenangan Rp18 triliun pemerintah atas kasus kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan yang sejak 2015-2018. Sayangnya, eksekusi dari vonis hukum ini minim.

“Dengan omnibus law ini makin terlihat jelas kalau korporasi dibiarkan melengang, sementara masyarakat terus dikekang,” kata Arie.

 

Keterangan foto utama: Batasan minimal 30% kawasan hutan dalam satu daerah dihapus dalam omnibus law. Hutan tersisa seperti di Lauser yang  memiliki keragaman hayati luar biasa ini pun terancam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version