Mongabay.co.id

Pengelolaan Hutan Dimulai dari Pembaruan Kurikulum Pendidikan, Bisakah?

Laut, pantai, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Tata kelola hutan yang baik dan bijak diperlukan agar hutan Indonesia tidak terus mengalami kerusakan.

Andita Aulia Pratama, Dosen dan Peneliti Sebijak Institute Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada mengatakan, untuk mengurangi praktif eksploitatif terhadap hutan hingga menyebabkan deforestasi, harus ada pembaruan kurikulum pendidikan kehutanan Indonesia.

“Kurikulum pendidikan hutan tidak boleh lagi menganggap hutan sebagai sumber daya alam, untuk komoditas ekonomi saja,” kata dia kepada Mongabay Indonesia, Selasa [12/10/2020].

Poin paling penting dalam pembaruan itu adalah memasukkan isu-isu global, seperti krisis iklim dan keanekaragaman hayati.

Dosen yang biasa dipanggil Dito itu menjelaskan, kurikulum tingkat pendidikan tinggi saat ini masih berorientasi pada cara mencapai produksi kayu. Hal ini terlihat dari mayoritas materi kuliah kehutanan yang mengarah pada kepentingan produksi, terutama kayu, ketimbang mengupas aspek lain seperti peran hutan dalam perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati, pendapatan masyarakat, kebutuhan pangan, serta ilmu kebijakan terkait kehutanan.

“Di ruang sekolah, pemahaman kita terhadap hutan merupakan sumber daya alam dapat diperbarui dan memiliki kemampuan untuk meregenerasi sendiri, layaknya air dan udara,” terangnya.

Pemahaman itu, menurutnya, menjadi alasan mengapa perlindungan hutan pada masyarakat Indonesia masih rendah. “Akibatnya, lulusan pendidikan kehutanan akan cenderung tetap melihat sektor ini dari satu sudut pandang semata, yaitu sumber daya kayu,” tutur Dito.

Baca: Hutan Adat Masyarakat Iban Sungai Utik Kini Diakui Negara

 

Laut, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Edi Suharto, Ketua Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, mendukung wacana kurikulum kehutanan yang mengutamakan kelestarian hutan. Dia menyampaikan, kampusnya akan memaksimalkan program kampus merdeka untuk mengakomodir hal tersebut.

“Untuk mendukung program ini, dibutuhkan desain kurikulum yang fleksibel dengan kondisi lingkungan di wilayah masing-masing.”

Hingga saat ini, kata Edi, jurusan kehutanan yang dia pimpin telah mengakamodir mata kuliah ekosistem hutan dan perubahan iklim, pengelolaan limbah biomassa, keanekaragaman hayati dan satwa liar, hingga rehabilitasi dan restorasi mangrove.

“Tujuannya, supaya alumni jurusan kehutanan mampu menjawab tantangan kelestarian hutan.”

Guna mendorong tujuan itu, pihaknya akan mendorong dan memfasilitasi mahasiswa supaya magang tematik. “Tidak hanya magang bertema hutan lestari di hutan tanaman industri [HTI], tapi seharusnya juga di hutan konservasi, mulai dari kawasan suaka alam, misalnya cagar alam dan suaka margasatwa. Juga, di kawasan pelestarian alam, yaitu di taman nasional, taman hutan raya, serta taman wisata alam,” tutur Edi.

Baca: Refleksi Hari Hutan Indonesia: Pelajaran Berharga dari Sebuah Kartun Terkenal

 

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hutan Bengkulu

Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menunjukkan, luasan hutan di Bengkulu saat ini sekitar 685.762 hektar dari luasan daratannya yang mencapai 1.979.515 hektar. Padahal, pada 1990 luas tutupan hutan di provinsi ini sekitar 1.009.209 hektar atau 50,4 persen dari daratannya.

Penyebab penyusutan karena pembalakan kayu, perambahan untuk perkebunan warga, alih fungsi lahan oleh korporasi untuk perkebunan sawit atau hutan tanaman industri, pertambangan, hingga untuk pembangunan lain.

“Kurun waktu 25 tahun, penurunan tutupan hutan sebesar 323.447 hektar,” kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf kepada Mongabay Indonesia, Kamis [15/10/2020].

Sederhanya, kehilangan tutupan hutan seluas 36 hektar per hari, bahkan 1,5 hektar per jam.

Potensi hilangnya tutupan hutan di ‘Bumi Rafflesia’ ini bisa bakal berlanjut. Ancaman paling nyata adalah usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu, seluas 53.037,68 hektar yang diajukan Gubernur Bengkulu, Rohidin Marsyah, pada 8 Januari 2019 lalu.

Pada surat yang disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] itu, dijelaskan bahwa usulan ini terkait rencana revisi RTRW Provinsi Bengkulu atas dasar usulan Bupati/Wali Kota di wilayahnya, yaitu Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, dan Seluma.

Namun hasil analisis Genesis Bengkulu, sekitar 80 persen dari usulan pelepasan yang diajukan itu, lahannya telah digunakan perusahaan tambang dan perkebunan sawit.

“Revisi RTRW dan alih fungsi hutan ini sangat menguntungkan pihak korporasi,” kata Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian.

Rincian data Genesis itu, yakni Kabupaten Mukomuko mengusulkan 12.417 hektar, namun tercatat 7.915 hektar telah dibebani izin hak guna usaha [HGU] perkebunan milik tiga perusahaan. Sedangkan beberapa titik kawasan hutan lainnya, pernah dibebani izin usaha pertambangan [IUP].

Bengkulu Tengah mengusulkan seluas 5.267 hektar, dan diketahui 95 persen luasannya telah dibebani izin tiga perusahaan tambang.

Begitu juga Kabupaten Bengkulu Utara yang mengusulkan pelepasan 22.671 hektar. Sekitar 80 persen, telah dibebani izin dua perusahaan pertambangan dan HGU dua perusahaan sawit.

Sedangkan Kabupaten Seluma, mengusulkan pelepasan 4.644 hektar. Namun, 90 persen wilayah ini telah dikapling tambang dengan tahap izin operasi produksi.

“Hutan terancam, namun perusahaan tambang dan perkebunan sawit semakin kencang angin segarnya,” papar Uli.

Baca juga: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Kondisi hutan Indonesia

Pada 23 April 2020, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan [PKTL] KLHK merilis data pemantauan hutan Indonesia tahun 2019. Hasilnya, luasan hutan adalah 94,1 juta hektar atau 50,1% dari total daratan.

Dari pemantauan itu, diketahui pula secara netto, deforestasi Indonesia tahun 2018-2019 terjadi kenaikan sebesar 5,2%. Namun demikian, untuk deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 5,6%.

Deforestasi bruto adalah deforestasi yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan hutan. Sedang deforestasi netto adalah deforestasi yang terjadi setelah dikurangi angka reforestasi.

Direktur Jenderal PKTL Sigit Hardwinarto menjelaskan, deforestasi netto pada 2018-2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 462,4 ribu hektar. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu hektar dikurangi angka reforestasi [hasil pemantauan citra satelit] sebesar 3,1 ribu hektar.

Dengan demikian, diketahui luas deforestasi tertinggi terjadi di hutan sekunder, yaitu 162,8 ribu hektar. Dari angka itu, tercatat 90,6 ribu hektar atau 55,7 persen berada di dalam kawasan hutan. Sisanya seluas 72,2 ribu hektar atau 44,3% berada di luar kawasan hutan.

Sigit juga menjelaskan, KLHK melakukan pemantauan hutan dan deforestasi setiap tahun, tujuannya untuk mengetahui keberadaan dan luas tutupan lahan baik berhutan maupun tidak berhutan. Lokasinya, di dalam kawasan hutan [hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi] maupun di luar kawasan hutan [areal penggunaan lain].

Selain itu dilakukan juga pemantauan hutan dan deforestasi pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektar, baik di dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan, dan berdasarkan penyesuaian terhadap peta Rupa Bumi Indonesia [RBI] yang terdapat dalam program Kebijakan Satu Peta [KSP].

“Pemantauan ini dilakukan menggunakan citra satelit yang disediakan LAPAN, dan diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia,” jelasnya, dalam keterangan tertulis itu.

 

 

Exit mobile version