Mongabay.co.id

“Napas yang Terbunuh”, Kesedihan akibat Tambang Batubara Ilegal di Muara Enim

 

 

... Gelonggongan mayat-mayat kayu dimandikan air sungai

Yang bercampur limbah berat,

Dikafani kertas kontrak dan sertifikat yang tergadai,

Upacara pemakaman hutan segera dimulai,

Orang-orang kampung mengusung keranda dari rating tembesu lewat jalan berdebu.

 

Bait di atas diambil dari puisi “Napas yang Terbunuh”. Puisi yang ditulis Wisnu Wiratama, seorang pelajar di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pemenang pertama lomba penulisan Puisi-Cerpen-Esay Ekologi bertemakan “Daya Rusak Pertambangan Batubara dan PLTU bagi Kehidupan di Sumatera Selatan” yang digelar AEER [Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat] dan Teater Potlot.

Puisi yang menggambarkan keresahan dan kemarahan generasi muda di Kabupaten Muara Enim terhadap berbagai aktivitas penambangan batubara itu, merupakan “kesedihan” yang terus lahir atau muncul. Bukan hanya untuk masa mendatang, juga berbagai peristiwa yang berlangsung atau terjadi pada saat ini, seperti peristiwa tewasnya 11 pekerja di lokasi penambangan batubara di Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Rabu [21/10/2020].

Baca: 11 Pekerja Tewas Tertimbun di Tambang Batubara Ilegal, Tidak Jauh dari PLTU Sumsel 8

 

Bentang alam di wilayah Sumatera Selatan yang dulunya hutan dan perkebunan rakyat kini menjadi danau pasca-aktivitas pertambangan batubara. Foto: David Herman/INFIS

 

Penambangan batubara di Kabupaten Muara Enim sebenarnya sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda, di awal abad ke-20. Pengelolaan batubara yang membangun Kota Tanjung Enim tersebut berlangsung hingga saat ini yang dikelola PT. Bukit Asam [Persero].

Namun setelah era reformasi, setelah Pemerintah Sumatera Selatan [sumsel] mencanangkan sebagai daerah lumbung energi, penambangan batubara di Muara Enim cukup marak. Bukan hanya penambangan legal yang dioperasikan perusahaan, juga penambangan ilegal.

Potensi batubara di Sumsel sekitar 50,226 miliar ton, yang merupakan cadangan batubara tertinggi di Indonesia. Saat ini tercatat 1,136 juta hektar lahan konsesi batubara di Sumsel. Sementara Kabupaten Muara Enim memiliki cadangan batubara sekitar 9,78 miliar ton dengan luas konsesi sekitar 77.931,70 hektar. Luasan ini di luar lahan penambangan batubara ilegal yang cukup marak.

Baca: Mau Suarakan Daya Rusak Batubara di Sumsel Lewat Karya Tulis? Ini Caranya

 

Sebanyak 11 pekerja tewas tertimbun di lokasi penambangan batubara liar, di Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu [21/10/2020], sekitar pukul 15.30 WIB. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Jalur ilegal pemasaran batubara

Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur PINUS [Pilar Nusantara] Sumsel, sebuah lembaga non-pemerintah yang melakukan pemantauan batubara di Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, mengatakan penambangan batubara ilegal di Sumsel cukup marak. “Mengapa? Sebab ada pasarnya. Meskipun Pemerintah Sumsel melakukan penertiban, penambangan ilegal tetap terjadi.”

Dijelaskan Rabin, berdasarkan investigasi pemasaran batubara ilegal yang dilakukan PINUS, didukung HaKI [Hutan Kita Institute] dan Harian Tribun, di Desa Darmo dan Desa Tanjung Lalang, Kabupaten Muara Enim, penambangan batubara ilegal berlangsung karena ada penampung.

Investigasi dilakukan di tiga lokasi. Lokasi pertama seluas 5,6 hektar, lokasi kedua seluas 6,5 hektar, dan lokasi ketiga seluas 2,8 hektar. Penambangan ilegal di tiga lokasi tersebut, ternyata masuk dalam konsesi atau wilayah IUP PT. Bukit Asam [Persero] di Banteng Blok A, yang luasnya sekitar 2.423 hektar berdasarkan SK No.391/KPTS/Tamben/2010.

PINUS juga memperkirakan, penambangan ilegal di Muara Enim dilakukan di sekitar IUP atau konsesi 2.205 hektar.

Baca: Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?

 

Lubang tambang batubara ilegal hasil investigasi PINUS, HaKI dan Harian Tribun di Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Dok. PINUS

 

Jalur pemasaran ilegal batubara di Desa Darmo dan Desa Tanjung Lalang, dimulai dari kedatangan sejumlah pengusaha dari Serang, Banten, ke kedua desa tersebut. Pengusaha dan sejumlah pengusaha lokal [kecil] kemudian mengusahakan penambangan batubara level 6 dan 5 tersebut.

Mereka kemudian bernegoisasi dengan pemilik lahan yang diduga mengandung batubara. Jika deal, pemilik lahan akan diberi Rp1.000 per karung batubara yang beratnya sekitar 40 kilogram. Lalu penambangan dilakukan 15-20 pekerja, dan setiap karung diupah Rp2.500. Setiap hari, satu pekerja dapat menghasilkan 50 karung.

“Rata-rata per hari batubara yang digali sebanyak 40 ton,” kata Rabin.

Selanjutnya, batubara hasil penambangan ilegal ini dibawa ke pengepul. “Pengepul sebagian besar dari Jawa dan Lampung. Ada 20 lokasi pengepul batubara ilegal di Desa Darmo. Pengepul akan membeli batubara di bawah harga pasaran, yakni Rp11.500-15.000 per karung,” jelas Rabin.

Batubara kemudian dibawa ke Lampung menggunakan truk dengan kapasitas 10 ton. Batubara ditutup terpal. “Setiap sopir truk diberi biaya sekitar Rp105 ribu sebagai biaya keamanan setiap kali perjalanan,” kata Rabin.

Pemerintah Sumsel pada Agustus 2019, mengirimkan surat [540/1890/DESDM/IV-2/2019] kepada Kepala Kantor Syahbandaran dan otoritas pelabuhan kelas I Panjang, dan Kepala ASDP Feru Bakauheni dengan perihal pemberantasan PETI atau penambangan liar dan kebocoran PNBP batubara.

Menurut Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi dan Pencegahan [Korsupgah] KPK Dian Patria, surat tersebut datang bersamaan dengan Koordinasi Supervisi dan Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] Tahun 2019 di Lampung.

Dijelaskan bahwa Pemerintah Sumsel telah merekomendasikan tempat penjualan batubara di Lampung yang hanya diangkut dengan kereta api. Jika ada batubara yang keluar dari wilayah Lampung bukan berasal dari tempat penjualan yang telah ditentukan, maka batubara tersebut berasal dari PETI atau tambang-tambang yang tidak membayar PNBP.

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Dampak lingkungan dan kerugian negara

Berdasarkan investigasi yang dilakukan PINUS tersebut, ada dua kerugian yang dihasilkan. Pertama, dampak lingkungan. “Sebab pertambangan tidak memiliki rencana reklamasi dan pasca-tambang, sehingga setelah aktivitas selesai, wilayah pertambangan akan dibiarkan tanpa dikembalikan fungsinya. Kegiatan pertambangan tidak sesuai kaidah atau aturan, misalnya lubang-lubang tambang sampai ke bawah pemukiman. Lalu, kualitas air dan tanah menurun,” jelas Rabin.

Kedua, kerugian negara. Menurut Rabin, produksi batubara ilegal di Desa Darmo sekitar 40 ton per hari. Dalam setahun sekitar 14.600 ton batubara ilegal yang dijual. Nilainya sekitar Rp16,9 miliar, yang potensi royaltinya [jika ada IUP] sekitar 45,18 miliar.

“Jadi, penambangan batubara ilegal tersebut sangat merugikan. Selain merusak lingkungan, kerugian negara, juga para tenaga kerjanya jauh dari jaminan keselamatan seperti peristiwa tewasnya 11 pekerja tersebut. Saya tidak yakin, jika mereka yang tewas tersebut memiliki asuransi jiwa, sehingga ada biaya yang diterima keluarga korban,” kata Rabin.

Pada akhirnya aktivitas penambangan batubara di Muara Enim, baik legal maupun ilegal, membuat banyak petani merana. Hal ini digambarkan Wisnu Wiratama dalam bait lainnya di puisi “Napas yang Terbunuh”.

 

... Sepasang petani tua menanam mimpi

Tentang esok yang indah

Dan anak cucu tumbuh di halaman sudah terkubur dalam lubang tambang raksasa,

Bertanya di harian ibu kota tidak sepilu nasibnya.

 

 

Exit mobile version