- Salah satu provinsi dengan laju penambangan batubara dan pembangunan PLTU massif, adalah Sumatera Selatan. Kerusakan lingkungan terlihat jelas. Ada beberapa PLTU mulut tambang akan dan dalam proses pembangunan di provinsi ini.
- Melihat keterancaman warga dan lingkungan Sumatera Selatan atas pembangunan PLTU mulut tambang, Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bekerjasama dengan Teater Potlot, Palembang menggelar Lomba Puisi, Cerpen dan Esai, bertajuk “Daya Rusak Pertambangan Batubara dan PLTU bagi Kehidupan.” Pendaftaran dibuka sejak 15 Juli dan ditutup 15 September 2020 dengan mengisi formulir melalui link berikut : https://forms.gle/yGxvpwFFCdMM8jEC9.
- Sumatera Selatan juga habitat harimau. Sepanjang 2015-2019, ada tujuh konflik harimau dengan manusia, mengakibatkan enam korban jiwa. Tak hanya daya rusak terhadap manusia dan lingkungan, perluasan tambang batubara dan PLTU mulut tambang akan menyebabkan menyempitnya ruang hidup satwa, seperti harimau.
- Sumatera Selatan memiliki potensi energi terbarukan seperti Pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), geothermal skala kecil yang dibangun tak berkonflik dengan warga.
Eksploitasi tambang batubara dan pembangunan pembangkit listrik batubara terus berlangsung di Indonesia. Sebagai produsen batubara terbesar kelima pada 2017 dan pengekspor kedua terbesar di dunia, Indonesia bahkan jadi surga bagi investasi luar-negeri di sektor penambangan batubara dan pengembangan PLTU.
“Terlebih China, yang dalam beberapa tahun terakhir nilai investasi di sektor pembangunan PLTU terus melonjak signifikan,” kata Pius Ginting, Direktur Eksekutif Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) kepada Mongabay, pekan lalu.
Salah satu provinsi dengan laju pembangunan PLTU dan penambangan batubara berjalan massif, kata Pius, adalah Sumatera Selatan. Ancaman kerusakan lingkungan terlihat jelas.
Seperti Kalimantan Timur, santer dengan kerusakan lingkunga dari tambang, Sumsel hampir sama dalam sistem pengelolaan sumber daya alam. Kedua wilayah ini, jadi pusat ekstraktif terbesar di Indonesia mulai tambang migas, batubara, perkebunan sawit, kayu dan pembangkit listrik untuk mendongkrak pendapatan asli daerah maupun PNPB.
Dalam sektor batubara, Sumsel memiliki 1.136.363 hektar konsesi, sedangkan Kalimantan Timur sekitar 5.137.875,22 hektar, hampir lima kali Sumsel. Secara produksi, Kalimatan Timur dengan keluaran 238 juta ton, dan Sumsel 57 juta ton batubara.
Dari segi luasan, Kalimantan Timur memang memiliki tambang batubara terluas dan terbanyak seluruh Indonesia, apalagi sekitar 30 perusahaan PKP2B beroperasi di sana. Di Sumsel ada delapan perusahaanPKP2B.
Kedua wilayah ini, kata Pius, jadi korban industri batubara yang menyebabkan bencana ekologis berupa banjir, pencemaran sungai, deforestasi, krisis air bersih, perampasan lahan, serta memakan korban jiwa dari tenggelam di lubang tambang yang tidak direklamasi dan beracun.
Krisis dampak tambang batubara di Sumsel juga tak kalah parah karena wilayah seluas luas 91.592 kilometer2–lebih kecil dari Kalimantan Timur 125.337 kilometer2 –ini, harus menanggung beban dari industri ekstraktif.
Ditambah lagi kepadatan penduduk di Sumsel cukup tinggi dengan popupasi delapan jutaan jiwa, lebih dua kali dibandingkan penduduk Kaltim 3,62 juta jiwa.
“Ruang hidup masyarakat di Sumsel berisiko lebih besar terancam karena bersaing dengan beragam konsesi, baik tambang, perkebunan, dan industri lain yang turut mempersempit dan mencemari ekosistem untuk tumbuh kembang manusia dengan layak,” katanya.

PLTU mulut tambang
Wilayah Sumsel juga habitat harimau. Sepanjang 2015-2019, ada tujuh konflik harimau dengan manusia, mengakibatkan enam korban jiwa.
“Perluasan tambang batubara dan PLTU mulut tambang akan menyebabkan menyempitnya ruang hidup harimau.”
Dari segi kelistrikan, meskipun Sumsel memiliki sumber daya melimpah, namun listrik masih sering kali padam. Sumsel juga masuk salah satu wilayah dengan kemiskinan tertinggi keenam di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Nua Tenggara Timur. Belum lagi kebakaran lahan gambut setiap tahun karena perkebunan skala besar. Sumsel pun sebagai wilayah kebakaran terluas selain Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua dan Kalimatan Selatan.
Untuk mengeruk potensi energi, pemerintah gencar menggenjot pembangunan PLTU mulut tambang demi mengejar realisasi target pengadaan listrik dalam program 35.000 megawatt, salah satu di Sumsel.
Skema pembangunan PLTU mulut tambang dipilih, kata Pius, memangkas biaya produksi dan mempermudah pasokan batubara dari hulu ke hilir, karena tambang batubara dan PLTU berdekatan.
PLTU mulut tambang Simpang Belimbing beroperasi sejak 2011. Beberapa PLTU mulut tambang lain melalui tahap pra maupun sedang konstruksi, seperti PLTU Sumsel 1, PLTU Sumsel 8, PLTU Sumsel 5, PLTU Sumsel 6, PLTU Sumsel 9 dan PLTU Sumsel 10.
Saat bersamaan, katanya, daya rusak PLTU mulut tambang luar biasa besar, baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi.
PLTU mulut tambang memiliki dampak lebih buruk bagi perubahan iklim katanya, karena gunakan batubara kalori rendah, untuk setiap satuan energi lebih banyak batubara.
“Artinya, lebih luas lahan yang dibuka, lebih banyak CO2 yang diciptakan per satuan energi yang dihasilkan.”
Pius mencontohkan di Muara Enim, dibangun PLTU mulut tambang Sumsel 8 dengan kapasitas 1.200 megawatt dan terbesar se Asia Tenggara kelolaan PT Huadian Bukit Asam.
Perusahaan ini konsorsium antara perusahaan China Huadian Hongkong Co Ltd (CHDHK) dengan BUMN, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) gunakan skema Independent Power Producer (IPP).
“Skema ini didorong karena keterbatasan dana internal PLN dalam pembangunan pembangkit listrik.”
Dalam pendanaan program ketenagalistrikan, katanya, China menempati posisi terbesar baik pada fast track programme I, FTP II (masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) hingga 35.000 megawatt baik sebagai pengembang (IPP), pelaksana engineering procurement construction (EPC) sampai pemberi pinjaman.
Sejak peluncuran kebijakan Belt Road Intiative (BRI) pada 2013, komposisi pendanaan China terutama dalam PLTU di Sumsel juga bertambah.
Pada 2019, AEER penelitian soal investasi China pada pembangkit listrik batubara di Indonesia. Hasil penelitian merekam beragam persoalan lingkungan dan sosial dampak pembangunan dan beroperasinya PLTU di tiga lokasi, yakni PLTU Sumsel 1, PLTU Gunung Raja dan PLTU Sumsel 8, mulai kerusakan kondisi sungai yang mengakibatkan ekosistem alami hancur dan muncul banjir tahuna. Juga pencemaran udara karena paparan debu batubara.
Sebenarnya Sumsel memiliki potensi energi terbarukan seperti Pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), geothermal skala kecil yang dibangun tak berkonflik dengan warga.
“Potensi PLTA skala menengah dan kecil sangat besar karena wilayah yang dialiri banyak sungai. Beberapa penemuan terbaru berkaitan dengan energi terbarukan, pembangkit listrik biomassa dari sekam padi,” katanya.

Lomba karya tulis
Dari jabaran kondisi Sumsel ini, Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bekerjasama dengan Teater Potlot, Palembang menggelar Lomba Puisi, Cerpen dan Esai, bertajuk “Daya Rusak Pertambangan Batubara dan PLTU bagi Kehidupan.”
“Lomba ini digelar untuk mengkritisi sekaligus merekam jeritan dan suara warga yang selama ini terdampak oleh aktivitas pertambangan batubara dan beroperasinya PLTU mulut tambang di Sumsel,” kata Pius.
Okky Madasari, peraih Sastra Khatulistiwa 2012 juga anggota juri kategori cerpen mengapresiasi lomba bertema ekologi ini.
Selain meningkatkan minat masyarat terhadap sastra dan dunia literasi, katanya, ajang ini dapat menjaring karya-karya yang kritis menyoroti berbagai persoalan masyarakat lokal, mulai dari pertarungan nilai lokal dan pengaruh dunia luar, pesimisme-optimisme tentang masa depan, hingga isu-isu lingkungan.
“Semoga akan lahir sastrawan besar dari Sumatera Selatan serta kegiatan semacam ini lebih sering diadakan dan bisa menyebar ke daerah lain di Indonesia.”
Rasa prihatin atas dampak kerusakan lingkungan di wilayah Sumatera Selatan akibat penambangan batubara dan aktivitas industri PLTU juga diutarakan penyair dan seniman Teater Potlot Palembang, Taufik Wijaya.
Dia menilai, penambangan batubara dan operasi PLTU di Sumsel terbukti menimbulkan dampak luar biasa besar. Tak hanya hilangnya lahan perkebunan dan hutan, udara tercemar serta lahan pertanian dan lingkungan rusak. Bahkan sejumlah flora dan fauna menghilang karena habitat terganggu. Di hilir, banyak jalan rusak akibat lalu lalang transportasi pengangkut batubara.
“Banyak petani kehilangan lahan, akhirnya menjadi buruh. Perilaku sosial juga berubah. Banyak generasi muda di desa atau sekitar penambangan tidak jelas masa depannya karena keluarga kehilangan lahan pertanian dan perkebunan.”
Tiga juri dalam lomba ini adalah Senior Editor Mongabay.co.id, Sapariah Saturi dan Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) untuk kategori esai, serta jurnalis/pengurus AJI Palembang Nila Ertina untuk puisi.
Lomba ini dibagi dalam tiga kategori masing-masing pelajar SD, SMP, SMA untuk karya berupa puisi, mahasiswa dan umum untuk kategori esai.
Pendaftaran dibuka sejak 15 Juli dan ditutup 15 September 2020. Pendaftaran karya dan pengisian formulir melalui link berikut : https://forms.gle/yGxvpwFFCdMM8jEC9.
“Melalui lomba ini, kami berharap dapat memberi ruang bagi warga terdampak untuk menyuarakan daya kritis mereka atas kerusakan lingkungan, sehingga aspirasi mereka didengar oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah,” kata Pius.
Keterangan foto utama: PLTU mulut tambang, antara pembangkit listrik dan tambang batubara, berdekatan. Daya rusak pun bakal lebih parah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia