Mongabay.co.id

Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [1]

Kepulan asap hitam dari cerobong PT PRIA. Foto: A. Asnawi

Kepulan asap hitam dari cerobong PT PRIA. Foto: A. Asnawi

 

 

Kepulan asap hitam pekat keluar dari cerobong insinerator PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Juni 2020. Hanya hitungan detik, asap menyebar, mengikuti arah angin berhembus.

“Baunya tidak enak. Kadang-kadang juga mata sampai kelilipan karena seperti ada debunya,” kata Rohim, warga setempat, kala itu sedang di sawah. Kalau sudah begitu, dia langsung pulang.

Jarak antara sawah Rohim dengan PRIA sangat dekat, hanya sepelemparan batu.

Saat angin kencang, kepulan asap itu tak hanya memenuhi langit persawahan juga permukiman warga yang berjarak sekitar 400-500 meter.

Asap dari pembakaran limbah medis itu pula yang jadi salah satu alasan warga menolak  PRIA. Selain berbau, asap dari perusahaan yang berdiri tahun 2010 itu diduga menyebabkan warga menderita berbagai penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Sutama, Ketua Gerakan Perempuan Lakardowo Mandiri (Green Woman) mengatakan, kehadiran  PRIA mengubah ‘wajah’ Desa Lakardawo. Selain sakit kulit, sumur-sumur warga juga tak lagi layak pakai karena diduga tercemar. “Sumur-sumur tak bisa dipakai lagi sejak perusahaan itu berdiri,” kata Sutama.

Nurasim, Ketua Pendowo Bangkit, perkumpulan warga yang menolak PRIA- mengatakan,, sejak perusahaan berdiri, banyak warga sakit-sakitan.

Berdasarkan pendataan mereka, tercatat 342 mengalami gatal-gatal dan gangguan pernapasan kurun 2017-2018. Rentetan penyakit itu selang setahun sejak PRIA mengantongi izin insinerator.

Perkumpulan ini, katanya, terbentuk sebagai wadah warga dalam berhimpun dan bergerak menolak perusahaan. “Harapannya, dengan berorganisasi, gerakan penolakan ini bisa makin kuat. Apalagi, makin kesini, jumlah warga yang sakit juga terus bertambah,” katanya.

Pada Juli-Desember 2019, total warga sakit meningkat jadi 742 orang. Angka ini dari data warga yang berobat ke klinik kesehatan perusahaan. Tidak termasuk yang ke puskesmas atau pusat layanan kesehatan lain.

“Kalau sakit kulit, pasti ada. Tapi kalau jumlahnya ratusan, baru kali ini terjadi. Ya, setelah ada pabrik itu,” kata Nurasim.

Sampai kini, para penderita itu bahkan harus mengonsumsi obat-obatan agar tak mengalami gatal-gatal.

Abdul Rozak, warga yang mengalami sakit kulit paling parah. Hampir sekujur tubuh, dari punggung hingga wajah mengalami bentol-bentol seukuran biji kedelai. Untuk berobat, dia sudah menghabiskan uang banyak.

Dulu, Suparno, ayahnya masih berpikir membawa Rozak ke dokter. Kini tidak lagi. “Satu sepeda motor sudah habis untuk berobat. Wong sekali berobat biaya sampai Rp400.000,” katanya.

Dia menyebut, kegiatan PRIA membuat air sumur tercemar hingga menyebabkan gatal-gatal.

Kondisi sama dialami Suwono. Sebelum perusahaan itu berdiri, belum pernah dia mengalami sakit gatal seperti sekarang. Sejak PRIA beroperasi, penyakit itu mulai datang. Terpaksa, dia menebus obat dua minggu sekali untuk konsumsi tiap hari.

Baca:  Merespon Dugaan Pencemaran Limbah B3, Wagub Jatim dan Ivan Slank Kunjungi Desa Lakardowo

 

Pekerja memasang dan mempersiapkan pengeboran tanah di sekitar area pabrik pengolahan limbah B3 di Desa Lakardowo. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Lingkungan tercemar

Tak hanya menderita beragam penyakit, sejak PRIA ada, lingkungan juga tercemar. Air, sebagai sumber penghidupan warga tak lagi layak pakai. Begitu juga dengan tanah dan hasil pertanian. Hasil penelitian sejumlah lembaga menyimpulkan ada kandungan logam berat cukup tinggi.

Source International, sebuah organisasi non pemerintah berbasis di Italia dalam penelitian pada 2018 mengungkapkan, temuan mencengangkan.

Pada laporan berjudul The Environmental and Health Impact of PT PRIA Factory in Lakardowo menyebutkan, tanah di sekitar pabrik tercemar logam berat dengan konsentrasi 10 kali lipat dibanding titik kontrol.

Menurut laporan itu, kandungan logam berat diduga dari endapan debu cerobong pabrik. Residu dari cerobong itulah yang jatuh di daerah sekitar sebelum akhirnya menyatu dengan tanah.

“Kami mengambil sampel tanah hingga 30 sentimeter di bawah dan menemukan debu mengendap dalam waktu cukup lama. Kemungkinan lain adalah paparan dari timbunan limbah oleh perusahaan,” tulis Source International dalam laporan itu.

Flaviano Bianchini, pendiri dan Direktur Source International melalui surat elektronik mengatakan, sebuah kebetulan yang mencurigakan kalau kandungan senyawa berbahaya itu karena faktor alam secara keseluruhan.

“Karena itu, kami merekomendasikan kepada pemerintah agar mengambil tindakan nyata untuk menjaga kesehatan masyarakat sekitar PT PRIA,” kata Flaviano, September lalu.

Dugaan pencemaran oleh  PRIA itu pun sejalan dengan hasil penelitian pakar teknik lingkungan, Ndaru Setyo Rini. Hasil penelitian dia pada 2016 mengindikasikan ada pola pencemaran oleh perusahaan.

Ndaru mengatakan, penelitian itu menyusul ada pengaduan warga atas dugaan pencemaran  PRIA. “Masyarakat mengeluhkan air sumur berubah warna dan tidak bisa lagi dikonsumsi. Juga banyak anak-anak yang mengalami sakit kulit sejak awal 2016,” katanya.

Dia mengambil sampel air tanah dan air permukaan di area pabrik dan lahan masyarakat. Ada 12 sampel dia ambil saat itu. Rinciannya, tujuh dari area PRIA dan lima dari lahan masyarakat. Seluruh sampel dibawa ke Laboratorium Jasa Tirta I, Malang, guna diuji.

Hasil analisa laboratorium Jasa Tirta terhadap air sumur dan air permukaan di area  PRIA menunjukkan beberapa parameter kualitas air melebihi baku mutu seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/2010 tentang Baku Mutu Air Minum. “Pencemaran itu bisa saja terjadi dari lindi limbah abu batubara dan juga limbah B3 lain,” kata Ndaru.

Beberapa temuan itu, katanya, mengindikasikan timbunan limbah B3 di area PRIA meresapkan lindi beracun ke aliran akuifer dangkal. Selain itu, kualitas air sumur pantau di area perusahaan juga lebih buruk dibanding air sumur penduduk. Kondisi ini mengindikasikan, sumber pencemar ada di dalam pabrik.

Untuk menguji temuan itu, pengambilan sampel kembali di sejumlah titik pada 19 Juni 2020 untuk diuji di Balai Teknis Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya.

Baca jugaResahnya Masyarakat Lakardowo akan Limbah B3

 

Kondisi PT PRIA saat dari udara. Tampak deretan tanaman bambu di sebelah kiri yang mengering diduga akibast aktivitas PT PRIA. Foto: A Asnawi

 

Dua titik merupakan sumur gali di area persawahan (titik 1 dan 4). Dua titik lain bak penampungan di antara saluran pembuangan perusahaan yang terhubung ke area persawahan serta sumur warga, disebut titik 2 dan 3.

Dari keempat sampel itu, titik pertama diketahui kandungan TDS mencapai 952,9 mg/l. Sedangkan kandungan sulfat, mencapai 244,2. Atau kurang 6 mg dari ambang batas baku mutu yang diatur. Meski begitu, hasil pengujian kualitas air masih dinilai layak.

Pada titik kedua, hasil pengujian dinyatakan tidak layak karena kandungan kimiawi cukup tinggi. Misal, kandungan TDS mencapai 1.950 mg/l, rasa, mangan mancapai 0, 73. Baku mutu yang ditentukan hanya 0, 5 ppm/l. Tingkat kesadahan juga melebihi baku mutu, dari 500 ppm, hasil pengujian mencapai 1.730 ppm/ml.

Temuan sama juga didapati pada sumur bor milik Suparno (titik tiga). Hasil pengujian mendapati kandungan TDS mencapai 3.200 mg/l, jauh melebihi baku mutu. Di titik 4, di area persawahan, dinyatakan layak pakai.

Dugaan pencemaran air sumur hampir terjadi merata di Lakardowo. Untuk membuktikannya, pengujian dengan TDS meter. Salah satu di rumah Muliadi, kandungan TDS mencapai 2.200 ppm/ml.

Begitu juga dengan air sumur milik Jamak berada 200 meter di sisi barat perusahaan, TDS di atas 2.000 ppm. Kalau Permenkes Nomor 492/2010 tentang Baku Mutu Air Minum, ambang batas maksimum TDS hanya 500 ppm/ml.

Buruknya kualitas air di Lakardowo membuat air bersih jadi barang mahal. Tak hanya untuk minum, kebutuhan memasak, warga terpaksa membeli air bersih. Air sumur hanya untuk mandi orang dewasa dan cuci piring. “Kalau dipakai masak nasi kehitam-hitaman,” kata Jamak.

Kondisi itu pula yang memaksa Faridah mengeluarkan biaya lebih. Saban hari, dia harus membeli dua galon air bersih untuk memandikan anaknya yang berusia 21 bulan. “Kalau ndak pakai air bersih begini ya nanti gatal-gatal.”

 

Perpecahan warga

PRIA juga mengakibatkan warga terpolarisasi ke dua kubu: pro dan kontra perusahaan. Mereka yang sepakat, merasa keberadaan PRIA membuka peluang lapangan pekerjaan.

Keluarga besar Sutama, jadi contoh polarisasi. Bersama adik-adiknya, dia menolak perusahaan. Sedang sang kakak, jadi bagian dari perusahaan.

Dia bahkan sempat dilabrak sang kakak lantaran ikut mengadukan  PRIA ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama warga.

“Ya, gara-gara ada PT PRIA ini saya dengan kakak saya sekarang ndak rukun. Hubungan kami renggang,” katanya.

Baca juga: Kisah Wisata Limbah B3 di Desa Lakardowo

 

Faridah, salah satu warga Lakardowo memandikan anaknya dengan menggunakan air galon (air bersih). Foto: A Asnawi

 

Bukan hanya hubungan kekeluargaan. Relasi sosial antar warga juga terganggu sejak PRIA beroperasi. Antara yang pro dan yang kontra tidak saling bertegur sapa. Yang lebih parah, kegiatan sosial keagamaan tak lagi se-guyub dulu.

Ketika warga dari satu kelompok menggelar hajatan, kelompok lainnya tak akan hadir. Bahkan, pernah suatu ketika ada kerabat dari salah satu kelompok meninggal malam hari, lampu penerangan jalan menuju makam dipadamkan.

Alasan itu pula yang membuat Sutama, melalui Green Woman mengorganisasi kaum ibu-ibu untuk memahami lebih jauh dampak kegiatan PRIA. Terlebih lagi, kehadiran perusahaan seluas tiga hektar itu juga dinilai membawa dampak terhadap kesehatan dan lingkungan.

 

***

PRIA yang berdiri sejak 2010, semula tercatat sebagai perusahaan pengangkut limbah B3. Bukan pengumpul, pengolah, apalagi pemanfaat seperti saat ini. Izin sebagai pengumpul, pengolah dan pemanfaat baru didapat beberapa tahun kemudian.

Izin pengolahan dengan menggunakan insinerator, misal, baru 2014 dengan nomor 08.26.12. Lalu, izin pemanfaatan B3 lewat SK 128./MENLHK/Setjen/PSLB3/2/2016.

Kendati ketiga jenis izin itu baru dikantongi pada 2014-2016, pengolahan dan pemanfaatan sudah berlangsung sejak perusahaan berdiri. Bahkan, saat proses pembangunan, perusahaan yang memiliki 17 grup perusahaan ini juga diduga memanfaatkan material limbah sebagai urukan (pemadatan).

Perusahaan ini juga satu-satunya pengolah limbah medis di Jawa Timur. Meski begitu, jangkauan kerja sampai sakit-rumah sakit di Bali, seperti RS. Sanglah hingga RS. Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengiriman limbah medis melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan boks.

Di Jawa Timur, berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terdapat 400 rumah sakit. Data KLHK 2018, dari angka itu, hanya 23 mampu mengolah limbah medis mandiri, 90%-an PRIA, sisanya perusahaan lain seperti PT Triata, Wastec, hingga Arah Environmental Indonesia di Solo.

Untuk limbah medis dari luar Jatim,  PRIA bekerjasama dengan pihak ketiga lantaran keterbatasan armada. “Untuk area Jatim, kami sendiri yang mengambil. Kalau ada pihak lain yang mengambil, berarti itu tidak dibawa ke kami,” kata Rudy Kurniawan, juru bicara  PRIA.

Limbah medis dari RS Sanglah Bali, salah satu pengelolaan bekerjasama dengan perusahaan ini. Di sana, volume limbah medis cukup tinggi mencapai satu ton setiap hari. Untuk ongkos jasa pengolahan,  PRIA mematok harga Rp30.000 setiap kg.

Rudy menyebut, ongkos jasa yang dipatok untuk Jatim antara Rp17.000-Rp20.000, tergantung jarak tempuh.

Ongkos ini lebih mahal ketimbang limbah B3 dari industri, seperti sisa pembakaran batubara Rp50-Rp500 setiap kg. Biaya pengelolaan limbah medis mahal juga lantaran sifat dan karakter yang infeksius hingga memerlukan perlakukan khusus.

Baca juga: 60% Sumur Lakardowo Diduga Tercemar Limbah B3

 

Juru bicara PT. PRIA, Rudy Kurniawan. Foto: A. Asnawi

 

Di PRIA, limbah medis itu kemudian masuk insinerator untuk dimusnahkan. Abu sisa pembakaran dikirim ke lokasi penimbunan (landfill) milik PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) di Cileungsi, Jawa Barat. Alasan pengiriman itu karena  PRIA tak punya izin penimbunan.

Melalui Rudy pula, perusahaan membantah tudingan ada pencemaran oleh PRIA. Rudy menyebut, persoalan itu sudah selesai seiring tuntasnya audit lingkungan oleh KLHK pada 2018. Beberapa rekomendasi oleh KLHK juga dia klaim sudah mereka jalankan.

“Menurut kami sudah selesai. Kami sudah melakukan semua proses yang direkomendasikan. Kita hidup di negara hukum. Ketika semua tahapan hukum sudah dilakukan dan tidak terbukti  PRIA melanggar, bagi kami sudah selesai.”

Audit KLHK sebenarnya menghasilkan sejumlah temuan dan rekomendasi. Salah satu, kandungan dioksin dan furan dari asap pembakaran yang belum dilakukan pemeriksaan sama sekali. Atas temuan itu, Rudy mengklaim telah melakukannya. Begitu juga uji emisi. Dia pun meminta para pihak yang masih berkeberatan dengan aktivitas PRIA, melengkapi data akurat. Tidak asal keberatan untuk menghindari debat panjang.

Prigi Arisandi, Direktur Ecoton, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi lahan basah dan restorasi sungai, mengatakan, KLHK telah mengaudit  PRIA tetapi hasil audit menyisakan kejanggalan karena tidak mencerminkan temuan saat proses audit berlangsung.

Sebagai contoh, penggunaan mesin insinerator yang saat audit ternyata suhu ruang bakar tidak sesuai ketentuan. Terutama pada insinerator satu hanya mencapai 66,16%. Prigi bilang, kesesuaian suhu jadi faktor penting untuk memastikan kuman mati dan zat berbahaya.

Sebaliknya, suhu bakar yang tidak sesuai akan memunculkan senyawa negatif akibat pembakaran yang tak sempurna.

Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 Pasal 107, menyatakan, penghancuran limbah B3 yang berpotensi menghasilkan dioxin atau furan harus memiliki efisiensi minimal 99,99%.

Ketentuan ini pun dipertegas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 56/2015 tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes). Pada Pasal 22, katanya, pengolahan limbah medis dengan menggunakan insinerator harus memiliki efisiensi 99,9%.

Dengan begitu, kata Prigi, dalam satu ton limbah, abu sisa tak boleh lebih satu kilogram. Karena itulah, suhu bakar ruang utama minimal 800 derajat celcius dan ruang kedua, 1.200 derajat celcius.

Aturan ini, katanya, tidak dipatuhi PT PRIA. Hal itu terlihat dari bibir cerobong kerap mengeluarkan asap hitam. Asap inilah yang berpotensi memunculkan residu dengan senyawa berbahaya di dalamnya.

Audit KLHK terhadap kualitas udara ambien memang menyatakan kualitas udara di sekitar perusahaan tidak memenuhi baku mutu. Bahkan, timbal sekitar 80,35% tidak memenuhi baku mutu. Paling penting, pola sebaran berkaitan dengan arah angin, sesuai pola sebaran penyakit kulit non biologis yang dialami warga.

PRIA juga diketahui belum uji kandungan dioksin dan furan, dua senyawa kimia yang timbul akibat dari pembakaran. Bahkan, kandungan fluoride, chloride dan sulphate cukup tinggi ditemukan pada air scrubber insinerator.

Prigi mengatakan, kalau terlepas ke udara, dioksin dan furan berpotensi terhirup manusia. Dalam takaran paling kecil, zat yang tidak mudah terurai ini bisa memicu tumbuh sel kanker, mengacaukan hormon, juga mengganggu reproduksi.

“Ketika terbawa angin, partikel-partikel itu bertebaran ke permukiman yang akhirnya terhirup oleh warga,” katanya.

Hasil kajian Ecoton di Dusun Sumberwuluh, Lakardowo, ditemukan kandungan senyawa furan, dioksin, dan arsen cukup tinggi pada tanah dan tanaman. Parameter dioxin atau polychlorinated dibenzo dion, mencapai 12.5 ppm, melebihi ambang batas Indonesia (2.50 ppm), standar Eropa (5.00 ppm).

“Ini yang kemudian menjadikan kami makin yakin bahwa PRIA ini melakukan praktik-praktik tidak benar,” kata Prigi.

Prigi menilai pemerintah setengah hati, bahkan tak serius menangani dugaan pencemaran di Lakardowo. Termasuk, atas timbunan limbah di rumah-rumah warga yang hingga kini masih tak terurus. Dia sebut, pemerintah tak adil dengan membiarkan persoalan ini berlarut.

“Jadi, ada semacam mamang (ragu-ragu), baik itu pemerintah pusat, kemudian pemerintah provinsi dengan tidak serius menangani problem di Lakardowo ini. Ini semacam pembiaran terhadap praktik-praktik buruk yang dilakukan PT PRIA,” katanya.

Audit itu sendiri merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Komisi VII DPR RI terkait dugaan pencemaran oleh PT PRIA, sebagaimana hasil sejumlah penelitian. Kendati saat proses mendapati sejumlah temuan, kesimpulan akhir audit justru lain.

Sama dengan juru bicara perusahaan, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur, Dyah Susilowati juga menepis ada pencemaran di Lakardowo. “Dulu kan sudah audit KLHK. Hasilnya, tidak terbukti ada pencemaran oleh PRIA.”

Tulisan berikutnya: Nasib Warga Lakardowo, Satu Dasawarsa Hidup dengan Limbah Berbahaya [2]

 

* Liputan  ini terselenggara berkat dukungan  Earth Journalism Network (EJN).

 

***

Keterangan foto utama: Kepulan asap hitam dari cerobong PT PRIA. Foto: A. Asnawi

Exit mobile version