Mongabay.co.id

Greenpeace Nilai Omnibus Law Lemahkan Penegakan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

 

 

 

Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja berpotensi melemahkan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kehadiran aturan yang menyederhanakan sekitar 76 aturan ini dianggap jadi hadiah impunitas bagi perusahaan pembakar perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

“Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia saat ini makin melemah apalagi dengan pengesahan UU Cipta Kerja. Hutan, lahan gambut, masyarakat adat yang terdampak dari kebakaran hutan menghadapi ancaman baru jauh lebih besar,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Greenpeace Asia Tenggara.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Aturan ini hadir, katanya, di saat bumi berada dalam krisis iklim. Seharusnya, pemerintah menjaga hutan tropis tersisa yang memiliki banyak cadangan karbon. Namun, katanya, malah hadir UU Cipta Kerja, yang lebih berpotensi makin memperburuk krisis iklim.

“UU Cipta kerja memiliki banyak upaya deregulasi yang didesain untuk melemahkan perlindungan lingkungan dan menurunkan standar. Ada risiko yang jauh lebih besar. Penegakan hukum makin rendah,” katanya.

 Baca juga: Jejak Korporasi Penyulut Api

Melihat perjalanan penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan yang masih lemah, Rusmahadya Baharuddin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, akan makin lemah dengan ada UU Cipta Kerja. Tanpa ada omnibus law pun, penegakan hukum karhutla sudah lemah.

Beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja dianggap melemahkan penegakan hukum kasus karhutla, seperti, perubahan ketentuan Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

Sebelumnya, setiap orang yang tindakan, usaha, dan atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Ketentuan diubah dalam UU Cipta Kerja jadi, setiap orang yang tindakan, usaha, atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan dan mengelola limbah B3, yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian dari usaha.atau kegiatannya

“Dalam UU PPLH sebelumnya, kita betul-betul ada kekuatan ketika menuntut tanggung jawab perusahaan tanpa harus dibuktikan dulu ada unsur kesalahan atau tidak. Sengaja atau lalai, itu tetap jadi tanggungajwab perusahaan.”

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Dalam UU Cipta Kerja, katanya, narasi tanpa perlu pembuktian ini diganti dengan ‘dari usaha dan atau kegiatannya.’ “Ini jelas-jelas akhirnya melemahkan.”

Implikasi ini, katanya, dalam proses gugatan, perusahaan akan memanfaatkan celah omnibus law untuk terus mengejar harus ada pembuktian kebakaran di lapangan.

 

Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut PT MAS di Mauarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, katanya, strick liability atau tanggungjawab mutlak ini pasal yang sering digunakan pemerintah untuk menuntut perusahaan-perusahaan dengan konsesi terbakar.

Hal lain yang diubah yakni, ketentuan dalam Pasal 49 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebelumnya, pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas kebakaran hutan di areal kerja. Ketentuan ini, katanya, diubah jadi pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di areal kerja.

Ketentuan ini ditambah klausul pemegang hak atau perizinan berusaha bertanggungjawab atas kebakaran hutan di areal kerja.

“Kalau di pasal sebelumnya itu jelas bertanggungjawab. Jadi, mau sengaja atau tidak, dia tetap bertanggungjawab. Untuk UU Cipta Kerja ini, dilemahkan dengan menambahkan frasa, berusaha bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal kerjanya.”

Kalau melihat perjalanan UU Cipta Kerja, kalangan pengusaha ikut andil dalam Satgas Omnibus Law bentukan pemerinta. Ada Ketua GAPKI Joko Supriyono, Ketua APHI Indroyono Soesilo maupun Ketua APKI Aryan Warga Dalam.

“Kita mengindikasikan keterlibatan mereka dalam Satgas Omnibus Law juga berperan dalam mempengaruhi substansi drafnya. Tentu, lebih diarahkan kepada keuntungan sektor sawit dan pulp and paper,” katanya.

Kiki melihat, penegakan hukum karhutla selama lima tahun terakhir masih rendah. Keadaan itu akan makin memburuk dengan ada UU Cipta Kerja.

Greenpeace melakukan kajian terkait penegakan hukum kasus karhutla selama lima tahun terakhir dengan data resmi pemerintah. Antara lain, buku analisis hotspot dan karhutla dan peta areal terbakar 2015-2019 keluaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Juga, daftar perusahaan kena sanksi, peta konsesi sawit dan HTI dan daftar perusahaan anggota Gabungan Asosiasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia serta Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia).

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Berdasarkan data resmi KLHK dalam website Sipongi, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 seluas 2.611.411,44 hektar, 2016 (438.363,19), 2017 (165.483,92), 2018 (529.266,64), dan 2019 seluas 1.649.258 hektar. Pada 2020, data karhutla sekitar 206.751 hektar.

“Data Sipongi hanya menginformasikan luasan kebakaran tiap tahun di tiap provinsi, tidak menyediakan data kebakaran berulang di konsesi perusahaan,” katanya.

 

Direktorat Penegakan Hukum KLHK usai peyegelan konsesi perusahaan yang terbakar. Foto: dari Facebook Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK

 

 

Kebakaran berulang di konsesi

Greenpeace pun coba analisis karhutla di Indonesia. Menurut Kiki, Greenpeace overlay titik api dengan wilayah terbakar termasuk membandingkan luasan dan lokasi terbakar tiap tahun. Hasilnya, ada beberapa lokasi kebakaran berulang.

“Untuk melihat kalau misal kebakaran itu berulang di konsesi, tentu ada aturan hukum yang mengatur bagaimana si konsesi atau perusahaan itu harus bertanggungjawab penuh.”

Areal terbakar sepanjang 2015-2019 seluas 3.650.885 hektar. Hasil overlay Greenpeace menunjukkan areal terbakar dua kali seluas 678.401 hektar. Kemudian terbakar tiga kali seluas 101.887 hektar, terbakar empat kali 9.114 hektar dan terbakar lima kali 207 hektar. Total karhutla, 4.440.494 hektar.

“Luas terbakar satu kali ini di lokasi baru. Ini yang kita indikasikan ada ekspansi perkebunan. Seperti yang pernah disampaikan Kepala BNPB Doni Munardo, bahwa 80% luas karhutla berubah jadi perkebunan.”

“Kalau kita bicara 80% dari 3,6 juta, berarti ada sekitar 3 jutaan hektar lokasi perkebunan baru.”

Kalau melihat data luasan terbakar sepanjang 2015-2019, kata Kiki, setara dengan delapan kali luas Pulau Bali atau sama dengan luas Jawa Timur.

Selain itu hasil temuan Greenpeace menyebut, ada sekitar 500.000 hektar areal terbakar pada 2015, terbakar lagi pada 2019, atau sepertiga dari luasan terbakar 2019.

Hasil analisis Greenpeace juga menemukan daftar 10 perusahaan perkebunan sawit yang paling luas terbakar sepanjang periode 2015-2019.

Hasil analisis Greenpeace juga menemukan daftar 10 perusahaan perkebunan sawit paling luas terbakar periode 2015-2019. Mereka adalah PT Samora Usaha Jaya 26.600 hektar, PT Katingan Mujur Sejahtera (13.700), PT Globalindo Agung Lestari (12.300), dan PT Rejeki Alam Semesta Raya 10.800 hektar. Kemudian, PT Bangun Cipta Mitra Perkasa 10.400 hektar, PT Dandymaker Indah Lestari (7.000), PT Mekar Karya Kahuripan (6.300), PT Arrtu Energie Resources (6.100), PT Bulungan Citra Agro Persada (6.100) dan PT Karya Luhur Sejati 6.000 hektar.

“Dari 10 perusahaan ini, hanya dua yang mendapatkan sanksi administratif yaitu PT Arrtu Energie Resources dua sanksi pada 2019, dan PT Bulungan Citra Agro Persada kena sanksi berulang pada 2015-2018 dan sanksi lagi pada 2019,” katanya. Padahal, 10 perusahaan ini pada 2019 juga mengalami kebakaran.

“Tahun 2019, ada tiga perusahaan yang konsesi terbakar lebih 90%, yakni, PT Rejeki Alam Semesta Raya 92%, PT Mekar Karya Kahuripan dan PT Arrtu Energie Resources 94% dari luas konsesi terbakar,” katanya.

Kondisi ini, kata Kiki, berbanding terbalik dengan sanksi pemerintah kepada perusahaan-perusahaan itu. Dia bilang, masih sedikit perusahaan dengan areal paling luas terbakar ini mendapatkan sanksi. Padahal, mereka alami kebakaran berulang.

Dari 10 perusahaan dengan areal terbakar paling luas, terdapat empat anggota GAPKI, yakni, PT Globalindo Agung Lestari, PT Dendymarker Indah Lestari, PT Arrtu Energie Resources dan PT Karya Luhur Sejati.

Kalau melihat grup perusahaan, 10 grup perusahaan terluas terbakar antara lain, grup Sungai Budi 28.600 hektar, Soechi Group 19.000 hektar, Rajawali Eagle High 17.700 hektar, dan Genting 17.600 hektar. Kemudian, Best Agro Plantation 17.300 hektar, Bakrie 14.700 hektar, Lippo Agro Inti Semesta 13.700 hektar, Rachmat Amara 13.000 hektar, Korindo 11.300 hektar dan Sampoerna 9.300 hektar.

Sepanjang 2015-2018, perusahaan di bawah group Rachmat Amara mendapatkan tiga sanksi. Sepanjang 2019, perusahaan di bawah group Sungai Budi kena dua sanksi, Rajawali Eagle High empat sanksi, Genting satu, Bakrie dua dan Sampoerna satu sanksi.

Kiki mengatakan, di sektor perkebunan sawit, terbakar sepanjang 2015-2019 seluas 621.524 hektar, pada 2019 saja, 253.180 hektar.

Tahun 2019, area terbakar di 10 perusahaan perkebunan sawit 67.200 hektar atau 26% dari luas area mereka 253.200 hektar.

Selain itu, empat dari lima perusahaan dengan area terbakar sepanjang 2015-2019 melakukan pelanggaran terbesar. Sayangnya, tak ada satu pun yang menerima sanksi pemerintah.

Bagaimana dengan perkebunan sawit yang sudah mempunyai HGU?

Menurut Kiki, perusahaan perkebunan sawit yang sudah punya HGU pun juga banyak yang mengalami kebakaran. Dalam praktiknya, tak semua perusahaan perkebunan sawit mempunyai hak guna usaha (HGU).

Berdasarkan analisis Greenpeace, ada lima perusahaan perkebunan sawit sudah memiliki HGU terbakar lebih 50% dari konsesi. Rinciannya, PT Bulungan Citra Agro Persada HGU 5.281 hektar, terbakar 2.908 hektar (56%). Ada PT Proteksindo Utama Mulia luas HGU 1.971 hektar dan terbakar 1.153 hektar (59%); PT Selatan Agro Makmur Lestari HGU 1.101 hektar dan terbakar 701 hektar (64%). PT Borneo Inda Tani HGU 1.034 hektar, terbakar 636 hektar (62%) dan Koperasi Tanjung Pawan Mandiri HGU 636 hektar dan terbakar 357 hektar (56%).

Dari kelima perusahaan perkebunan sawit ber-HGU dengan paling luas terbakar, ada tiga perusahaan mendapatkan sanksi dari pemerintah. Mereka adalah PT Bulungan Citra Agro Persada dua sanksi periode 2015-2018 dan 2019. Kemudian, PT Selatan Agro Makmur Lestari satu sanksi pada 2019, dan PT Borneo Inda Tani dua sanksi pada 2019.

“Jika merujuk Permen ATR/BPN Nomor 15/2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan HGU atau hak pakai pada lahan yang terbakar, izin mereka bisa dicabut,” kata Kiki.

 

Kondisi konsesi PT BMH pada 3-15 September 2019

 

Dalam ketentuan Pasal 4 huruf a dinyatakan, terhadap lahan terbakar yang masih tahap pengajuan permohonan HGU atau hak pakai, ditunda sampai penanganan selesai. Atau dalam huruf b dikatakan, jika sudah ada HGU atau hak pakai, lahan terbakar, dilepaskan oleh pemegang HGU atau hak pakai, atau dibatalkan HGU atau hak pakainya.

Ketentuan Pasal 5 menyatakan, HGU atau hak pakai konsesi terbakar kurang atau sama dengan 50% dari luas konsesi, HGU atau hak pakai dilepaskan pemegang HGU atau hak pakai, atau dibatalkan seluas lahan terbakar.

Kalau yang terbakar lebih 50% dari luasan HGU atau hak pakai, pemegang HGU atau hak pakai harus membayar melalui kas negara ganti kerugian Rp1 miliar per hektar lahan terbakar, atau dibatalkan seluruh HGU atau hak pakainya.

Kemudian, katanya, secara keseluruhan, dari kelima perusahaan perkebunan sawit ber-HGU seluas 5.755 hektar. Menurut Kiki, jika Permen ATR/BPN itu diterapkan, sebenarnya pemerintah berpotensi mendapatkan denda dari perusahaan itu Rp5,7 triliun.

Secara keseluruhan dari total 10 perusahaan perkebunan sawit itu memiliki HGU 85.791 hektar dan terbakar 20.651 hektar. Sedang yang mendapatkan sanksi pemerintah hanya dua perusahaan, yakni, PT Monrad Intan Bakarat dua HGU berbeda, masing-masing mendapatkan dua sanksi tahun 2019.

“ini sudah ada Permennya. Tapi bagaimana implementasinya? Sampai saat ini belum ada satu pun perusahaan perkebunan sawit yang dikenakan sanksi seperti yang ada dalam ketentuan Permen ATR/BPN. Kalau pun ada, itu hanya sanksi administrasi,” kata Kiki.

Padahal, kalau merujuk Permen ATR/BPN, luas HGU terbakar itu seharusnya diambil alih pemerintah.

 

Kebakaran di HTI

Rusmahadya mengatakan, sepanjang 2015-2019, karhutla juga banyak di konsesi HTI. Analisis Greenpeace menemukan, 10 daftar perusahaan HTi dengan luas kebakaran paling banyak.

Mereka adalah PT Bumi Mekar Hijau 87.600 hektar, PT Bumi Andalas Permai (84.400), PT Musi Hutan Persada (74.100), PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (52.000), dan PT Sumatera Riang Lestari 21.000 hektar. Lalu, PT Paramitra Mulia Langgeng 16.700 hektar, PT Selaras Inti Semesta (15.000), PT Arara Abadi (12.300), PT Sumatera Sylva Lestari (12.000) dan PT Rimba Hutani Mas Sumsel 10.500 hektar.

Kesepuluh perusahaan ini, pada 2019 juga mengalami kebakaran, yakni, PT Bumi Mekar Hijau 40.400 hektar, PT Bumi Andalas Permai (11.000), PT Musi Hutan Persada (5.600), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries 7.200 hektar. Kemudian, PT Sumatera Riang Lestari 6.700 hektar, PT Paramitra Mulia Langgeng 9.600 hektar, PT Selaras Inti Semesta 2.800 hektar, PT Arara Abadi 1.400 hektar, PT Sumatera Sylva Lestari 400 hektar dan PT Rimba Hutani Mas Sumsel 1.400 hektar.

 

KLHK menyegel konsesi PT BEP, di Jambi, karena karhutla. Foto: Yitno Supraptp/ Mongabay Indonesia

 

Kalau melihat sanksi kepada 10 perusahaan ini sepanjang 2015-2018, PT BMH dua sanksi, PT Bumi Andalas Permai (2), PT Musi Hutan Persada (1), PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (1), dan PT Sumatera Riang Lestari (3), PT Paramitra Mulia Langgeng (1), PT Arara Abadi (1), PT Sumatera Sylva Lestari (2) dan PT Rimba Hutani Musi Sumsel (1).

Sementara PT Selaras Inti Semesta tidak mendapatkan sanksi. Untuk karhutla 2019, hanya PT Paramitra Mulia Langgeng yang mendapatkan sanksi.

Untuk luas kebakaran di konsesi HTI periode 2015-2019 seluas 679.328 hektar. Pada 2019, karhutla HTI seluas 185.624 hektar. Empat dari lima perusahaan yang memiliki lahan terbakar paling luas di konsesi mereka selama periode 2015-2019 juga berada dalam daftar lima perusahaan teratas tahun 2019. Sepuluh perusahaan bubur kertas dengan area terbakar terbesar dari 2015-2019 memiliki kebakaran berulang di konsesi mereka.

Pada 2019, ada 86.600 hektar lahan terbakar, atau 47% dari total terbakar di seluruh konsesi bubur kertas, di 10 perusahaan dengan lahan paling luas terbakar.

Berdasarkan data Greenpeace, sepanjang 2015-2018, pemerintah memberikan sanksi kepada beberapa perusahaan, seperti surat peringatan kepada 115 perusahaan pada 2016, paksaan pemerintah 42 perusahaan, pembekuan izin 16 perusahaan, pencabutan izin tiga perusahaan, dan lima perusahaan menerima sanksi berulang. Juga, gugatan perdata kepada 11 perusahaan dua atas karhutla pada 2014 yakni PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur, serta tuntutan pidana kepada 15 perusahaan.

Sementara 2019, pemerintah memberikan peringatan tertulis kepada satu perusahaan, paksaan pemerintah kepada 79 perusahaan, dan pembekuan izin satu perusahaan. Juga, pencabutan izin satu perusahaan, 11 perusahaan menerima sanksi berulang, gugatan perdata 10 perusahaan dan tuntutan pidana kepada 36 perusahaan.

 

Tuntutan

Kiki Taufik mengatakan, Pemerintah Indoensia harus melakukan langkah signifikan dengan menyatukan ekonomi dengan tujukan perlindungan kearagaman hayati dan perlindungan iklim, bersama keadilan sosial.

Dia bilang, harus dipastikan juga keuangan publik, kebijakan perdagangan, kerjasama luar negeri tidak mendorong deforestasi lebih lanjut. Namun, katanya, mendorong restorasi alam dan transisi menuju ekonomi hijau, adil dan berdaya tanah tinggi.

Dia juga mendesakpPemerintah meningkatkan transparansi hukum Indonesia. Mendukung prinsip-prinsip akses terhadap informasi publik adalah hak dasar dan membuka informasi yang berkaitan kepentingan publik adalah kewajiban administrasi.

Pemerintah, katanya, harus memastikan aksi bersama oleh otoritas yang bertanggungjawab terhadap kasus-kasus yang melibatkan kebakaran dan pelanggaran hukum lainnya di sektor sumber daya alam, termasuk sektor perkebunan. “Juga melindungi hak adat, mendukung masyarakat adat dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan tanah dan hak-hak adat mereka.”

Pasar juga harus mendukung transparansi. Hargai komitmen nol deforestasi dan jadikan transparansi yang penuh rantai pasok sebagai syarat perdagangan. Syaratkan, pemasok memiliki sistem pengawasan terbuka dan komprehensif paling lambat 1 Januari 2021.

 

 

Keterangan foto utama: Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Exit mobile version