Mongabay.co.id

Menelisik Kejahatan Satwa Liar di Kalimantan Barat

 

 

Bonny Sanggah, ketua Majelis Hakim, membacakan putusannya. Ruangan Pengadilan Negeri Pontianak, pada 16 Juli 2020 lalu hening. Dihadapannya, Eka Bagus Murdianto, menunduk takzim. “Hukuman pidana 1 tahun 10 bulan dan denda Rp50 juta subsider 2 bulan kepada Eka Bagus Murdianto,” katanya. Palu pun diketuk.

Putusan ini lebih ringan dua tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pontianak, Eka Hermawan, yaitu 3 tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider 6 bulan. Eka dan rekannya punya alasan tersendiri menuntut kasus itu. Kejahatan konservasi mempunyai dampak ikutan, terganggunya fungsi ekosistem. Dampaknya tidak serta merta terjadi, namun penegakan hukum adalah salah satu fungsi pencegahan.

“Kasus satwa cukup menarik perhatian. Putusan hakim merupakan wewenang mereka dan sesuai pertimbangan tuntutan,” ujar Eka, dikonfirmasi terpisah.

Eka Bagus diputuskan sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi dalam keadaan hidup sesuai Pasal 21 ayat 2 huruf a jo pasal 40 ayat 2 Undang Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya.

Dia tertangkap tangan hendak menyelundupkan enam ekor kakatua jambul kuning [Cacatua suplhurea], enam ekor kakatua koki [Cacatua galerita], dua ekor kakatua maluku [Cacatua mehalorynchus], 13 ekor kura-kura moncong babi [Carettochelys insclupta], dan empat ekor biawak kuning [Varanus milenus].

Satwa langka ini dibawa melalui jalur air. Penangkapannya dilakukan oleh Pangkalan TNI Angkatan Laut XII Pontianak pada Rabu, 15 Januari 2020 lalu.

Baca: Taman Satwa Tanpa Izin di Kalimantan Barat Ditertibkan, Pengelolanya Ditetapkan Tersangka

 

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pada 10 Agustus lalu, PN Pontianak juga memutuskan Johdi bin Hasan bersalah. Dia ditangkap Direktorat Polisi Perairan Polda Kalbar dengan 3.274 telur penyu yang diangkut dari Tambelan, Riau. Pengadilan memutuskan Johdi dihukum 1 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp20 juta, subsider 1 bulan kurungan.

Putusan-putusan ini terbilang maksimal. “Lantaran aturan hukumnya tidak lagi up to date,” tukas Martin Gilang, Program Manager Yayasan Titian Lestari. Data monitoring Yayasan Titian Lestari, dengan metode snowball sampling, dari 2017-2019, modus operandi kejahatan satwa liar adalah perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan.

Selama tahun itu, terdata 84 satwa yang beredar, dimana 49 satwa merupakan jenis dilindungi. Dengan metode penelitian yang sama, Titian juga memonitor sebanyak 228 kejadian terhadap satwa liar. Sebanyak 126 diantaranya diperdagangkan, 46 kasus pemeliharaan, 46 perburuan, dan 10 kepemilikan.

Monitoring juga dilakukan pada media sosial, terutama Facebook. Selama tiga tahun pengamatan tersebut, terdata 346 unggahan penjualan satwa liar, melalui 84 akun yang diduga berdomisili di Kalimantan Barat.

Dari monitoring ini, tercatat 42 jenis satwa, 23 merupakan satwa dilindungi. Trenggiling menempati urutan pertama dalam monitoring tersebut, menyusul kukang, kelempiau, dan binturong.

Martin mengatakan, lembaganya juga menganalisis sebelum 2017, sangat minim kasus perdagangan satwa liar. Hanya segelintir orang yang menyadari, deforestasi tak hanya merusak pohon sebagai tutupan lahan namun menghilangkan flora dan fauna yang hidup di dalamnya pula.

Baca: Kerja Konservasi Belum Selesai, Meski Satwa Dilindungi Dikembalikan ke Hutan

 

Kukang bukan satwa peliharaan untuk diperdagangkan. Foto: IAR Indonesia

 

Pasar online

Martin mengakui lembaganya belum sampai menelusuri hingga ke pasar perdagangan satwa liar. Pemantauan online menjadi titik tolak transaksi illegal semakin terang. Pola yang terbaca, perburuan terjadi karena adanya permintaan pasar. Informasi permintaan pasar datang dari penampung. Penampung menginformasikan kepada warga sebagai penyuplai mengenai satwa-satwa yang dimintai beserta harganya.

“Tak jarang, penampung memodali warga yang menjadi penyuplai,” katanya.

Modus baru lainnya, kata Martin, penjual berselubung dengan baju ‘pencinta satwa’ untuk melakukan transaksi.

Investigasi perdagangan satwa ini membutuhkan waktu dan kesabaran. “Saat ini UU yang ada belum memenuhi hal tersebut. Jika pun bisa menggunakan pasal berlapis, membutuhkan energi, dukungan dana serta sumber daya manusia yang mencukupi,” lanjutnya.

Dalam kurun waktu lebih pendek, Alliance Kalimantan Animals Rescue [AKAR] juga memonitoring hal yang sama, dari media sosial Facebook, Januari hingga Maret 2020.

“Kami memantau 60 grup. Transaksinya mencapai Rp129.450.000. Ada 164 unggahan perdagangan ilegal yang didominasi jenis burung. Totalnya 217 ekor dengan 13 jenis burung dan satu jenis kura-kura,” ungkap Moehammad Putra, dalam keterangan tertulisnya.

Sejumlah satwa yang diperdagangkan tersebut, seperti jalak bali, cica daun besar, kacamata jawa, betet ekor panjang [Psittacula longicauda], dan kura-kura byuku [Orlitia borneensis].

Baca: Ayo, Perangi Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Media Sosial

 

Jalak bali [Leucopsar rothschild] yang tak luput dari perburuan. Foto: Dedy Istanto

 

Manajer Wildlife Protection Unit Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia, Ode Kalashnikov, mengatakan peralihan perdagangan ilegal satwa liar dengan menggunakan media online dalam beberapa tahun terakhir, patut diantisipasi.

Dari pengamatan YIARI se-Indonesia, tercatat data perdagangan ilegal satwa liar melalui Facebook dari 2015-Agustus 2020 terdapat 5.167 iklan permintaan, dan 14.067 iklan penawaran yang dibuat oleh 8.036 akun penjual di 1.022 Forum Jual Beli [FJB].

Jumlah satwa yang diperdagangkan mencapai 15.187 ekor seperti kucing hutan, kukang, elang, kakatua, lutung, surili, simpai, owa dan siamang, hingga rangkong, binturong, dan landak.

“Saat ini, perdagangan ilegal online telah banyak menggunakan rekening bersama [rekber]. Penggunaan ini mencegah pembeli bertransaksi langsung dengan penjual, sehingga identitas dan keberadaan penjual tidak mudah terbongkar,” papar Ode, kepada Mongabay Indonesia.

Dia menambahkan, maraknya perdagangan ilegal satwa liar melalui Facebook memunculkan reaksi dari kalangan konservasi yang bekerja sama dengan Kementrian LHK dan Kemeninfo memberikan tekanan kepada pihak Facebook. Desakan ini membawa otoritas Facebook mengeluarkan kebijakan pelarangan penjualan binatang.

“Namun, pedagang satwa liar dilindungi kini menggunakan aplikasi media sosial lain seperti Instagram dan WhatSapp juga grup komunitas,” ujarnya.

Baca juga: Minim, Lembaga Konservasi yang Terakreditasi Baik

 

Perburuan dan rusaknya habitat merupakan ancaman nyata kehidupan serundung [Hylobates lar] di alam liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terbaru, kata Ode, adalah modus perdagangan ilegal satwa liar dilindungi dengan mendirikan taman satwa yang terkoneksi jaringan internasional. Dalihnya, mengaburkan asal usul hewan atau sebagai lokasi penangkaran.

“Di Kalimantan Barat, ada kasus di Kampung Tuhu yang diduga kuat menggunakan modus yang sama,” katanya.

Kasus taman satwa Kampung Tuhu, telah diputus pada 14 September 2020. Pemiliknya, Orisza Dimas Anom [25] dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan di Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat. Majelis Hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp5 juta subsider 3 bulan penjara.

Putusan ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yaitu pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp5 juta subsider 3 bulan. Majelis Hakim yang diketuai Eliyas Eko Setyo, menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar Pasal 40 ayat [2] Jo. Pasal 21 ayat [2] huruf a Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Baca juga: Tanpa Hukuman Berat, Kejahatan Satwa Liar Dilindungi akan Terus Terjadi

 

Buaya yang diamankan dari Taman Satwa Kampoeng Tuhu’ yang tidak memiliki izin. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Pemberantasan

Kepolisian Daerah Kalimantan Barat mengakui kurangnya personel penyelidik khusus yang menangani kasus perdagangan satwa liar ilegal. Setahun ini, Polda Kalbar fokus pada penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan, yang menjadi prioritas Indonesia.

Kompol Supriadi, dalam diskusi daring akhir Agustus lalu, mengatakan penegakan hukum terhadap kasus karhutla penting menjadi prioritas, lantaran menyebabkan hilangnya habitat satwa liar di Kalimantan Barat.

“Perdagangan bisa melalui pasar bebas, pasar satwa, komunitas pencinta satwa, sistem pembelian tunai saat pengantaran barang, atau melalui media social,” ujar Supriadi. Sama halnya dengan perdagangan narkotika, perdagangan ilegal satwa liar juga menerapkan sistem pembelian putus. Sehingga sulit melacak hingga ke puncak jaringannya.

Supriadi menyatakan, payung hukum terhadap kasus ini musti direvisi sehingga hukuman menjadikan efek jera bagi pelakukan. Pembuatan database untuk informasi pendukung perlu dilakukan, termasuk penguatan terhadap aparat penegak hukum. “Bisa juga mengadakan pelatihan bersama, atau operasi bersama,” katanya.

Pihak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, diwakili Ibra Sitompul memaparkan, kasus satwa yang ditangani selama 2018 ada delapan perkara. Pada 2019 [7 perkara], dan 2020 hingga Agustus [8 perkara]. “Tuntutan yang dikenakan tujuannya memperbaiki perilaku pelaku menjadi jera,” katanya.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] KLHK, Wiratno, menegaskan bahwa pemberantasan dan penanggulangan kasus perdagangan illegal satwa liar harus dilakukan kolaboratif.

“Perlu ada tindakan paralel penegak hukum. Sebagai contoh pihak bandara, pelabuhan, atau perbatasan selalu awas, tanggap dan peduli terhadap kegiatan kejahatan tumbuhan dan satwa liar,” katanya.

Dengan pengawasan di titik distribusi, diharapkan diketahui aktor intelektualnya. “Kita apresiasi dengan memberikan penghargaan untuk para penegak hukum,” ujarnya.

 

Kasus perdagangan satwa liar di Kalimantan Barat [2016-2019]. Grafis: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Penegakan Hukum LHK Wilayah Kalimantan, Subhan, mengatakan jumlah kasus yang telah ditangani institusinya pada 2020 terdiri proses penyidikan [3 kasus], P21 [3 kasus] dan vonis [1 kasus]. Tahun 2019, penyidikan [9 kasus], P21 [8 kasus], vonis [8 kasus]; tahun 2018, penyidikan [5 kasus], P21 [5 kasus], vonis [5 kasus], dan tahun 2017, penyidikan [2 kasus], P21 [2 kasus], serta vonis [2 kasus].

“Gakkum juga menerima pengaduan kasus kejahatan satwa liar langsung maupun tidak yang direspon cepat sebanyak 11 kasus, melalui medsos [1 kasus], dan melalui NGO setempat [10 kasus]. Adapun potensi rawan kejahatan berada di bandara, pelabuhan maupun perbatasan,” ungkapnya.

Sementara itu, penulis juga melakukan pengumpulan data kuantitatif dari persidangan kasus perdagangan ilegal satwa liar di Kalimantan Barat, dari 2016 hingga 2020 yang telah diputus pengadilan.

Terdapat 59 kasus yang sudah putus di seluruh kabupaten/kota di Kalimatan Barat. Ada tiga kasus yang masih menjalani persidangan, hingga tulisan ini diturunkan. Dari kasus di pengadilan, jumlah satwa yang paling banyak diperdagangkan adalah trenggiling [18 kasus], menyusul penyu, burung, dan rusa.

Kasus perdagangan ilegal satwa liar paling banyak terjadi di Kabupaten Kayong Utara [14 kasus], Kabupaten Sambas [9 kasus], dan Kabupaten Sintang [7 kasus].

 

Kendala dan tantangan pemberantasan kejahatan satwa liar ilegal. Grafis: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Penguatan ekonomi

Gusti Hardiansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, menambahkan, hilangnya satwa liar menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem. “Satu spesies saja punah bisa menyebabkan perubahan rantai makanan. Bisa jadi, dampak besarnya kehancuran ekosistem,” ujarnya.

Dia mencontohkan, keberadaan lebah dan kupu-kupu dalam proses penyerbukan tanaman, atau burung pemakan serangga, yang memegang peranan penting. Tanpa dua spesies ini, mungkin tidak ada buah yang tumbuh atau hama serangga menyerang tanaman petani.

Termasuk, risiko zoonosis yang ditularkan satwa kepada manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], sekitar 70 persen penyakit global yang menjadi penyakit dalam 50 tahun terakhir ditularkan dari hewan. SARS, MERS ebola, dan COVID-19, berawal dari penularan virus hewan kepada manusia.

Penguatan ekonomi masyarakat di sekitar hutan bisa menjadi jawaban mutlak. Penjualan karbon merupakan salah satu upaya, agar masyarakat menjaga hutannya. Konsep ini akan dilakukan pada lokasi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus yang dikelola Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.

“Untuk daerah lain, pemerintah telah mengupayakan kebijakan perhutanan sosial,” katanya.

Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi hal utama dan setiap daerah memiliki potensi berbeda untuk dikembangkan. Keterlibatan masyarakat secara penuh menjamin keberlanjutan program tersebut.

“Kalau masyarakat merasakan langsung manfaatnya, hutan dan isinya akan mereka jaga sepenuh hati,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version