Mongabay.co.id

Waktunya Mulai Mewaspadai Mega Bencana: Pandemi dan Banjir Puncak Musim Hujan

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati beberapa waktu lalu menyatakan bahwa kawasan Indonesia akan mulai memasuki fase puncak musim hujan. Untuk itu BMKG memperingatkan sebagian kawasan di Indonesia bakal rawan mengalami bencana banjir dan longsor pada musim hujan 2020-2021. Ini dikarenakan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia diperkirakan lebih tinggi daripada situasi normal.

Lebih lanjut Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan pun mengingatkan Pemda dari sejumlah wilayah perlu waspada karena musim hujan terjadi lebih awal dan curah hujan juga lebih tinggi dari rerata biasanya.

Di antara kawasan yang diprediksi mengalami musim hujan “Lebih Basah” pada akhir 2020 sampai awal 2021 adalah Sumatera, Jawa, sebagian kecil Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.

Bila kita lihat perkiraan puncak musim hujan serta wilayah yang disebutkan BMKG akan mengalami musim hujan lebih basah, kita kembali diingatkan akan banjir besar yang melanda Jakarta, Jawa Barat, Banten dan beberapa daerah lainnya di Jawa pada awal tahun baru 2020 lalu.

Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), di awal 2020 bencana banjir adalah yang paling banyak mengakibatkan korban meninggal dunia, yaitu 86 orang, disusul tanah longsor lima dan puting beliung tiga orang.

Selain korban jiwa, bencana banjir tersebut juga menyebabkan total rumah rusak dengan kategori rusak berat mencapai 2.512 unit, rusak sedang 1,725 dan rusak ringan 6.707 unit. Sedangkan kerusakan infrastruktur lain, fasilitas pendidikan berjumlah 142, peribadatan 121, perkantoran 47 dan kesehatan 11 unit. Akibatnya 994.932 orang tercatat menderita dan mengungsi. (Beritasatu, 10/2/2020).

Baca juga: Banjir, Antropogenik, dan Demokrasi

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal Februari 2020. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mega Bencana

Tidak dapat dibayangkan seandainya di tengah kesibukan para pihak mengatasi Pandemi COVID-19 yang dari hari ke hari belum juga melandai, – bahkan angka penularannya hingga saat ini justru kian meningkat, tiba-tiba saja warga Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta berbagai daerah lainnya kembali dihantam bencana banjir sebagaimana terjadi di awal 2020 lalu.

Hingga 31 Oktober 2020, Satgas COVID-19 mencatat sebanyak 410.088 kasus positif COVID-19 . Dimana sebanyak 13.869 orang meninggal dunia dan 337.801 pasien dinyatakan sembuh. Selain beberapa provinsi lain di Jawa, maka Wilayah DKI Jakarta pun masih jadi episentrum kasus tertinggi

Memang semua pihak khususnya Pemerintah Daerah sedang berjibaku menangani Pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 lalu sampai saat ini. Bahkan Pemda Jakarta saja kembali menerapkan Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) dengan ketat. Namun kita berharap Pemerintah tidak melupakan antisipasi terjadinya bencana banjir pada awal musim dan puncak musim hujan kali ini.

Dapat diperkirakan bahwa penanganan wabah COVID-19 akan semakin berat bila banjir juga melanda apalagi sampai tak surut-surut sampai berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu sebagaimana terjadi sebelumnya. Bahkan dapat dipastikan bahwa potensi jatuhnya korban baik karena pandemi maupun karena bencana banjir akan semakin besar.

Untuk itu penyiapan protokol kesehatan pada saat banjir melanda, di wilayah pengungsian dan evakuasi korban memang perlu dilakukan.

Namun yang paling utama yang harus diprioritaskan adalah bagaimana mengantisipasi agar banjir kali ini bisa lebih minimal kalaupun tak mungkin sampai bebas banjir.

Apalagi di tengah minimnya pembiayaan publik karena telah terkurasnya anggaran Pemerintah dalam penanganan pandemi. Pemda harus mempelajari betul hasil evaluasi atas bencana banjir sebelumnya, agar potensi bencana banjir pada musim hujan 2020-2021 dapat diminimalisir semaksimal mungkin.

Namun pertanyaannya kemudian sudah tersediakah dokumen evaluasi tersebut?

Baca juga: Banjir, Fenomena Climate Whiplash dan Dampaknya di Indonesia

 

Warga yang mengungsi karena banjir Kali Krukut yang meluap mengungsi di Menara Mulia, pada penghujung Februari 2020 lalu. Foto: Saparoah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Minimnya Evaluasi dan Partisipasi Publik

Richard Rose, seorang pakar ilmu politik mengingatkan Kebijakan Publik hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.

Sedangkan menurut pakar lain, Carl Friedrich kebijakan publik menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan Pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu (Budi Winarno, 2011, hal. 21).

Selain itu satu hal yang harus diingat dalam mendefiniskan kebijakan adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian tentang apa yang sebenarnya yang dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu.

Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakann yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai (Budi Winarno, 2011, hal. 21).

Idealnya, pemahaman teoritis di atas tentunya berlaku untuk setiap kebijakan publik, termasuk kebijakan pencegahan dan penanganan banjir pada setiap daerah.

Namun berkaca pada selalu terulangnya bencana banjir di berbagai daerah khusunya di ibukota Jakarta hampir setiap tahun, sepertinya  ada aspek penting dari  kebijakan Pemda yang sepertinya luput dicermati oleh para pihak, yaitu: Pertama, minimnya evaluasi atas upaya pencegahan dan penanganan bencana banjir serta kedua, minimnya partisipasi dan peran serta publik.

Curah hujan ekstrim memang terjadi pada awal 2020 lalu sebagaimana sudah diperingatkan juga oleh BMKG sebelumnya. Artinya terjadinya bencana banjir akibat cuaca ekstrim tersebut sudah sejak dini diketahui.

Persoalannya adalah apakah pihak yang berwenang memperhatikan peringatan tersebut dan segera mempersiapkan segala sesuatunya sehingga bencana besar yang diperkirakan dapat diminimalisir?

Namun faktanya sebagai digambarkan sebelumnya bencana banjir awal 2020 lalu sepertinya adalah yang terlama dan terparah terjadi dibandingkan banjir-banjir sebelumnya.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyebut ada lima penyebab banjir di Ibu Kota terjadi dan lama surutnya (Tempo, 6/1/2020). Pertama, terbatasnya kapasitas badan sungai. Banyaknya bangunan yang berdiri di bantaran sungai menyebabkan ruang badan sungai menyempit.

Kedua, besarnya volume sampah membuat air sungai cepat meluap karena melebihi kapasitas. Hal ini menunjukkan masyarakat masih membuang sampah sembarangan ke sungai dan saluran air. Artinya peran serta masyarakat dalam mencegah banjir juga minim.

Ketiga adalah saluran air yang banyak tersumbat sampah dan lumpur. Serta faktor keempat yang menyebabkan banjir Jakarta relatif lama surut lantaran situ, danau, embung, waduk (SDEW) tak berfungsi. Penampung-penampung air ini juga tidak terhubung baik dengan saluran air dan sungai.

Kelima ialah daerah resapan air atau ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta yang berkurang. Hal itu, mengakibatkan air tak cepat meresap ke tanah secara alami.

Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.

Pakar kebijakan dan pengamat kebijakan bencana, Wignyo Adiyoso (The Conversation, 6/1/2020) pun menyebut perntingnya kebijakan radikal mitigasi bencana banjir. Untuk mengelola dan mengurangi aliran air yang berlebihan dari hulu (Bogor dan Depok), maka pemerintah pusat perlu mendukung Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dalam program-program penanggulangan banjir mereka, termasuk revitalisasi hutan dan penyelesaian waduk Ciawi dan Sukamahi untuk mengurangi air di sungai-sungai besar.

Dengan tren curah hujan yang terus tinggi, wilayah-wilayah ini perlu memiliki aliran dan penampungan air yang memadai. Dengan istilah apa pun, entah normalisasi, naturalisasi, atau revitalisasi pemerintah perlu mengembalikan fungsi sungai. Pemeliharaan dan pengerukan harus menjadi prioritas dan program wajib dan rutin pemerintah

Baca juga: Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Banjir yang menggenangi pemukiman di Jakarta Pusat , Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB

 

Penanganan Banjir Jangan Sampai Dilupakan

Seperti yang kita saat ini kita rasakan, tak lama setelah bencana banjir awal tahun 2020 melanda, wabah Pandemi Covid-19 menerpa dunia termasuk di Indonesia. Otomatis perhatian seluruh pihak tersedot kepada upaya penanggulangan dan penanganan wabah.

Akibatnya pasti, berbagai persoalan penyebab banjir di atas sepertinya kembali luput dari penanganan Pemerintah dan Pemda. Sepertinya seluruh perhatian para pihak dan segenap sumber daya yang tersedia telah dikerahkan secara total untuk menangani dan mengatasi pandemi COVID-19 ini.

Namun kalau dipahami bahwa bencana banjir berpotensi akan terulang pada musim hujan berikutnya termasuk pada saat Pandemi sekalipun, seharusnya Pemerintah terutama Pemda harus tetap menjalankan berbagai program yang ditujukan untuk menangani persoalan banjir tersebut.

Bila tidak, dapat dipastikan tingkat kegaduhan dan kompleksnya persoalan yang akan dihadapi para pihak serta  berlipatgandanya penderitaan masyarakat akibat kedua bencana tersebut, pandemi COVID-19 dan bencana banjir. Akibatnya, pastilah potensi korban jiwa akibat bencana yang berbarengan melanda satu wilayah yang sama akan semakin tinggi resikonya.

Maka tidak bisa tidak, sekalipun terlambat  sejak sekarang Pemerintah khususnya Pemda harus segera mengantisipasi mega bencana ini terjadi. Mau tidak mau perhatian, sumber daya dan pendanaan yang tersedia harus juga dialokasikan untuk mengantisipasi terjadinya kedua bencana ini terjadi berbarengan termasuk bencana hidrometeorologi lainnya seperti tanah longsor.

Tentunya kita tidak ingin korban jiwa dan kerugian materil bertambah semakin banyak lagi nantinya.

 

Rujukan

Addi M Idhom. Prakiraan Hujan 2020-2021: Prediksi Awal dan Puncak Musim dari BMKG. Tirto, 14 September 2020

Ari Supriyanti Rikin. Awal 2020, 86 Orang Tewas Akibat Banjir. Beritasatu, 10 Februari 2020

Budi Winarno. Kebijakan Publik : Teori, Proses dan Studi Kasus. Penerbit CAPS, Yogyakarta, 2012

Lani Diana Wijaya. Ada 5 Penyebab Banjir Jakarta Tak Kunjung Surut. Tempo.co.id,  6 Januari 2020

Wignyo Adiyoso. Banjir besar di Jakarta awal 2020: penyebab dan saatnya mitigasi bencana secara radikal. The Conversation 6 Januari  2020

 

* Zenwen Pador, penulis adalah Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia  (eLSAHI). Artikel ini adalah opini pribadi.

 

 

Exit mobile version