Mongabay.co.id

Proyek Wisata di TN Komodo, Organisasi Masyarakat Desak Evaluasi Menyeluruh

Komodo ((Varanus komodoensis) yang terdapat di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Kabupaten Manggarai Barat,NTT.Foto : Gregorius Afioma/Sunspirit for Justice and Peace

Komodo (Varanus komodoensis) yang terdapat di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Kabupaten Manggarai Barat,NTT.Foto : Gregorius Afioma/Sunspirit for Justice and Peace

 

 

 

 

Oktober lalu, sebuah foto seekor komodo tampak berada di depan sebuah truk di Pulau Rinca, jadi viral dan memicu kekhawatiran terhadap pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo bakal mengancam kehidupan satwa endemik ini. Pemerintah klaim pembangunan sesuai kaidah konservasi. Organisasi masyarakat sipil mendesak evaluasi proyek menyeluruh dengan libatkan pakar kompeten dan berbagai pihak terkait. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon terkait foto komodo yang berhadapan dengan truk proyek. Mereka bilang, upaya penjagaan akan ditingkatkan.

“Itu memang jalur lintasan komodo. Saat ini, sudah ada 10 ranger setiap hari untuk mengawasi aktivitas pembangunan,” kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, dalam diskusi daring akhir Oktober lalu.

Baca juga : Protes Kelola Wisata TN Komodo, Mereka Kirim Surat ke Badan Kebudayaan dan Lingkungan PBB

Mereka akan memeriksa keberadaan komodo, baik di kolong bangunan, bekas bangunan, ataupun di kolong truk pengangkut material guna memastikan keselamatan dan perlindungan komodo dan para pekerja.

“Dari pengamatan, komodo yang sering berkeliatan di sekitar area penataan sarana dan prasarana di Loh Buaya diperkirakan ada 15. Beberapa komodo memiliki perilaku tidak menghindari manusia,” katanya.

KLHK mengkaim, penataan sarana dan prasarana ini sudah menaati kaidah konservasi dengan prinsip kehati-hatian.

Menurut Wiratno, pengembangan wisata alam di Taman Nasional Komodo ini sangat dibatasi, hanya pada zona pemanfaatan. “Jadi, sebetulnya pengganti sarana dan prasarana yang terpencar-pencar menjadi satu sistem yang terpadu,” katanya dalam konferensi pers daring, akhir Oktober lalu.

 

Desain pembangunan Elevated Deck di Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto :Kementerian PUPR.

 

Adapun sarana dan prasarana yang hendak dibangun pemerintah, seperti dermaga, pengaman pantai, elevated deck, pusat informasi, serta pondok untuk ranger atau pawang komodo, peneliti dan pemandu.

“Pembangunan ini bukan oleh private sector, melainkan pemerintah,” katanya.

Penataan sarana dan prasarana (sapras) ini dilakukan di Lembah Loh Buaya, Pulau Rinca oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Izin lingkungan hidup pengembangan sarpras ini, katanya, telah terbit pada 4 September 2020. Dia bilang, pembangunan ini sudah memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo, seperti Permen LHK Nomor 16/2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup. Hingga kini, pembangunan sudah 30% dan target selesai Juni 2021.

Baca juga : Pemerintah Lakukan Berbagai Pembangunan di TN Komodo, Bagaimana Dampaknya?

TN Komodo ditetapkan sebagai Cagar Biosfer (1977) dan jadi warisan dunia oleh UNESCO (1991), dengan luas mencapai 173.300 hektar, meliputi 33,76% daratan dan 66,24% perairan.

Dari luasan itu, kata Wiratno, ada 824 hektar atau 0,4 % sebagai zona pemanfaatan daratan dan 1.584 hektar atau 0,95% sebagai zona pemanfaatan wisata bahari. Adapun pengembangan sarana dan prasarana izin wisata alam ini, katanya, berada di zona pemanfaatan.

Populasi komodo di Lembah Loh Buaya di lahan seluas 500 hektar atau sekitar 2,5% dari seluruh luas Pulau Rinca yang mencapai 20.000 hektar. Luas sarana dan prasarana sekitar satu hektar.

Wiratno pun mengatakan, populasi komodo di Lembah Loh Buaya relatif stabil, bahkan meningkat. Pada 2018, jumlah komodo 2.897, bertambah pada 2019 jadi 3.022. Konsentrasi populasi komodo berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Sebelum itu, dari lama resmi PUPR, Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (memastikan pembangunan pemerintah di Pulau Rinca, tetap memperhatikan habitat komodo dan keselamatan pekerja.

Basuki bilang, pembangunan infrastruktur direncanakan terpadu melalui rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

Kegiatan penataan Pulau Rinca, katanya, hanya berkaitan dengan beberapa hal seperti Dermaga Loh Buaya merupakan peningkatan dermaga eksisting. Juga bangunan pengaman pantai berfungsi sebagai jalan setapak untuk akses masuk dan keluar ke kawasan itu.

 

Sumber: Litbang Penelitian Sunspirit for Justice and Peace

 

Izin di taman nasional

Dalam kaitan pembangunan pariwisata–belakangan muncul rencana wisata ekslusif dengan konsep macam  ‘Jurrasic Park’—, di TN Komodo sudah keluar izin-izin kepada perusahaan ratusan hektar. Wiratno pun memaparkan sejumlah izin di Taman Nasional Komodo, antara lain, PT Segara Lestari (Desember 2015) dengan luas 22,1 hektar, PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo 151,9 hektar dan di Pulau Padar 274 hektar. Lalu, PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa seluas 19,3 hektar.

“Semua izin belum aktif karena pada 2019 ada banyak penolakan. Padahal, secara aturan izin boleh terutama izin usaha sarana pariwisata alam. Komunikasi dan dialog juga sangat terbuka, termasuk pada pembahasan terkait zonasi di TNK.”

Dia membenarkan kalau unsur masyarakat masih kurang. Untuk itu, katanya, harus mendorong community based ecotourism hingga jadi salah satu pelaku utama dari wisata yang khas di TN Komodo. Dia mengajak bicara bersama soal strategi ekowisata berbasis masyarakat dan budaya.

 

 

Evaluasi menyeluruh

Venansius Haryanto, peneliti di lembaga advokasi berbasis penelitian, Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo-Flores Barat mengatakan, sejak awal desain pembangunan di Kampung Rinca tersiar mereka sudah tegas menolak.

“Menurut kami, desain itu sangat berdampak buruk bagi kelestarian alam di kawasan konservasi. Bentang alam setempat jadi rusak dan habitat komodo terganggu,” katanya kepada Mongabay.

Kekhawatiran mereka sejak awal pun pun, katanya, terbukti terjadi sekarang. Pada proses kontruksi saat ini, kata Venan, dengan jelas menunjukkan bagaimana pembangunan berdampak buruk bagi bentang alam setempat dan habitat alami satwa serta vegetasi kawasan.

“Ini disebabkan aktivitas penggalian dengan gunakan alat-alat berat dan mobil-mobil dump truck.”

Pernyataan KLHK yang menyebutkan pembangunan ini memperhatikan kaidah konservasi atau tidak merusak lingkungan, katanya, sama sekali tak dapat dipertanggungjawabkan.

“Aktivitas pembangunan ini jelas-jelas menunjukkan dampak buruk bagi lingkungan setempat.”

Dia mendesak para pihak setop sementara pembangunan di Pulau Rinca. Pemerintah, dalam hal ini KLHK bersama PUPR, katanya, harus mengevaluasi pembangunan ini maupun seluruh rencana pembangunan lain dalam Taman Nasional Komodo.

Evaluasi ini, katanya, mesti melibatkan akademisi atau para pakar yang berkompeten, pegiat lingkungan serta pegiat wisata di Labuan Bajo.

 

 

Keterangan foto utama:

Komodo ((Varanus komodoensis) yang terdapat di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) Kabupaten Manggarai Barat,NTT.Foto : Gregorius Afioma/Sunspirit for Justice and Peace
Pemandangan gugusan pulau di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Kusnanto/WWF Indonesia

 

Exit mobile version