- Pemerintah pusat melaksanakan dua pembangunan insfrastruktur utama yang dinilai beberapa lembaga bertentangan dengan keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai sebuah kawasan konservasi
- Pemerintah juga melakukan penataan kawasan Loh Buaya di Pualu Rinca dengan membangun sarana dan prasarana baru yang mengambil model bangunan Jurassic Park. yang dinilai berdampak buruk bagi keaslian bentang alam dan mengancam ekosistem komodo serta satwa lainnya
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan pengembangan wisata alam sangat dibatasi hanya pada zona pemanfaatan dan prinsip kehati-hatian ini ditetapkan sejak dari perencanaan ruang kelola di TNK
- Penggunaan alat-alat berat seperti truk, ekskavator dan lain-lain, telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan para ranger secara intensif melakukan pemeriksaan keberadaan komodo termasuk di kolong bangunan, bekas bangunan dan di kolong truk pengangkut material
Terkait dengan ditetapkannya Indonesia menjadi tuan rumah KTT G-20 pada tahun 2023, Labuan Bajo,ibukota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pun ditetapkan sebagai lokasi berlangsungnya kegiatan tersebut. Guna mempersiapkannya, pemerintah pun melakukan berbagai pembangunan.
Sunspirit for justice and Peace Labuan Bajo mencatat, atas dalih KTT G-20 dilaksanakan dua pembangunan infrastuktur utama yang sangat bertentangan dengan keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai kawasan konservasi.
Peneliti dari Sunspirit, Gregorius Afioma menyebutkan, pemerintah akan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di atas lahan seluas 560 hektar di Tana Mori dan Tana Naga, di Desa Golo Mori, salah satu desa yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Komodo.
Di atas lahan tersebut, menurut Gregorius, pemerintah akan membangun kawasan vila (15 unit villa), satu hotel bintang empat, dan satu convention hall dengan kapasitas 2 ribu orang yang dilengkapi dengan dermaga.
“Sebagai bagian dari KEK, dua Pulau terdekat yakni Pulau Muang sebagai zona rimba dan Pulau Bero sebagai zona inti dari kawasan TNK, dikeluarkan dari kawasan TNK,” sebut Gregorius kepada Mongabay Indonesia, Senin (26/10/2020).
Gregorius menyayangkan hal ini sebab Pulau Muang secara khusus merupakan tempat bertelur penyu dan Pulau Bero atau Rohbong merupakan habitat burung Kakatua Kecil Jambul Kuning.
baca : Protes Kelola Wisata TN Komodo, Mereka Kirim Surat ke Badan Kebudayaan dan Lingkungan PBB

Ganggu Bentang Alam
Selain pembangunan tersebut,pemerintah juga akan merombak penataan kawasan Loh Buaya di Pulau Rinca. Penataan ini dilakukan dengan cara meruntuhkan semua bangunan yang ada di kawasan Loh Buaya, lalu digantikan dengan pembangunan sarana dan prasarana baru yang mengambil model bangunan Jurassic Park.
Gregorius menyebutkan proyek yang membuang-buang anggaran negara sebesar Rp67 miliar ini jelas akan sangat berdampak buruk bagi keaslian bentang alam kawasan Loh Buaya dan mengancam ekosistem satwa komodo serta satwa lainnya yang berada di kawasan tersebut.
Karena dengan betonisasi di kawasan itu, pemerintah akan membangun jalan gerak elevated sepanjang 3.055 meter persegi, penginapan petugas ranger dan peneliti, area pemandu wisata seluas 1.510 meter persegi dan pusat informasi dengan luas 3.895 meter persegi.
Selain itu, sebutnya, juga dibangun pos istirahat seluas 318 meter persegi dan pos jaga 216 meter persegi, pemasangan pipa sepanjang 144 meter, pengaman pantai 100 meter serta dermaga seluas 400 meter persegi.
“Pembangunan sumur bor juga akan sangat berdampak buruk bagi sumber mata air yang selama ini dimanfaatkan oleh satwa-satwa yang hidup di tempat itu,” ungkapnya.
baca juga : Menyoal Kebijakan Kontroversi di Taman Nasional Komodo

Gregorius berpendapat, kalau memang tujuannya baik maka prosesnya harus dilakukan dengan baik. Tapi saat ini prosesnya juga sudah melanggar prinsip-prinsip konservasi dan sedari awal juga banyak kelompok masyarakat yang melakukan penolakan.
Menurutnya, sebenarnya tuntutan mencabut semua izin privatisasi dan menolak pembangunan semacam Jurasic Park karena pasti akan mengganggu bentang alam dan mengubah model pengelolaan wisata alam di dalam kawasan TNK.
Ia menambahkan sejak tahun 2018, warga terus mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencabut izin PT Segara Komodo Lestari dan PT Komodo Wildlife Ecotourism di dalam kawasan TNK.
“Kedua perusahaan ini masing-masing mendapatkan lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca dan 426,7 hektar di Pulau Padar dan Pulau Komodo untuk bisnis pariwisata alam,” ungkapnya.
perlu dibaca : Demi Konservasi, Pulau Komodo tetap Dibuka dengan Pembatasan Wisatawan. Seperti Apa?

Populasi Komodo Stabil
KLHK dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Selasa (27/10/2020) menjelaskan, TNK yang ditunjuk pada tahun 1980 memiliki label global, sebagai cagar biosfer (1977) dan warisan dunia (1991) oleh UNESCO, memiliki luas 173.300 hektare terdiri dari 58.449 hektare (33,76%) daratan dan 114.801 hektare (66,24%) perairan.
Dari luas tersebut, ditetapkan zona pemanfaatan wisata daratan 824 Ha (0,4%) dan zona pemanfaatan wisata bahari 1.584 Ha (0,95%). Jadi pengembangan wisata alam sangat dibatasi, hanya pada zona pemanfaatan tersebut. Ini prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak dari perencanaan ruang kelola di TNK tersebut.
Penataan sarana dan pra sarana yang sedang berlangsung di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca oleh Kementerian PUPR telah mencapai 30% dari rencana selesai pada Juni 2021.
“Saat ini penataan tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang,” sebut Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno.
Dia menyebutkan jumlah populasi komodo di Lembah Loh Buaya relatif stabil bahkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018 populasinya sebanyak 2.897 ekor dan tahun 2019 bertambah menjadi 3.022 ekor.
Wiratno memaparkan konsentrasi populasinya berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Hanya sebanyak 7 ekor di Pulau Padar, 69 ekor di Gili Motang dan 91 ekor di Nusa Kode.
“Populasi biawak komodo di Lembah Loh Buaya adalah 5 persen dari populasi di Pulau Rinca atau sekitar 66 ekor. Bahkan populasi komodo di Lembah Loh Buaya selama 17 tahun terakhir relatif stabil dan cenderung sedikit meningkat di 5 tahun terakhir,” terangnya.
baca juga : Demi Konservasi dan Wisata, Jokowi Minta Taman Nasional Komodo Ditata, Akankah Terlaksana?

Pembangunan Diawasi Ranger
Berdasarkan fakta yang ada KLHK menilai, jika dilindungi secara serius dan konsisten dengan meminimalisasi kontak satwa, maka aktivitas wisata pada kondisi saat ini dinilai tidak membahayakan populasi komodo di areal Lembah Loh Buaya seluas 500 hektare, atau sekitar 2,5% dari luas Pulau Rinca yang mencapai 20.000 hektare.
Wiratno melanjutkan kegiatan penataan sarpras (Dermaga Loh Buaya, pengaman pantai, evelated deck, pusat informasi, pondok ranger/peneliti/pemandu) berada pada wilayah administrasi Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo.
Dia menyebutkan,kegiatan pengangkutan material pembangunan yang menggunakan alat berat harus dilakukan, karena tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia.
“Penggunaan alat-alat berat seperti truk, ekskavator dan lain-lain, telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,” tegasnya.
Wiratno menjelaskanberdasarkan pengamatan, jumlah biawak komodo yang sering berkeliaran di sekitar area penataan sarpras di Loh Buaya diperkirakan sekitar 15 ekor.
Beberapa diantaranya, katanya, memiliki perilaku yang tidak menghindar dari manusia. Guna menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap biawak komodo termasuk para pekerja, seluruh aktivitas penataan sarpras diawasi oleh 5 – 10 ranger setiap hari.
“Para ranger secara intensif melakukan pemeriksaan keberadaan komodo termasuk di kolong bangunan, bekas bangunan dan di kolong truk pengangkut material,” jelasnya.
Pada saat pandemi, tambah Wiratno, pengunjung TNK di Pulau Rinca juga dibatasi hanya sekitar 150 orang per hari bahkan pada hari-hari biasa hanya 10 –15 orang per hari.
Menurutnya, hal ini demi menjaga kelestarian satwa biawak komodo serta menyukseskan arahan pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19.
