Mongabay.co.id

Mengapa UU Cipta Kerja Berpotensi Timbulkan Masalah Agraria?

Hutan adat Laman Kinipan dihancurkan untuk kebun sawit. Protes tak mau hutan mereka rusak, warga Kinipan pun hadapi jerat hukum. Kini, Kampung Kinipan sedang dilanda banjir besar. Kala hutan mereka hilang, bencana datang....Foto: Save Kinipan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

UU Cipta Kerja omnibus law sudah muncul lewat UU No 11/2020 dengan masih perlu perbaikan karena ada salah ketik seperti ayat ‘hilang.’ Sejak awal, kehadiran omnibus law ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, antara lain berpotensi menimbulkan banyak masalah agraria. Isi omnibus law dinilai berbagai kalangan pakar dan akademisi, maupun peneliti, dinilai condong ke pelaku usaha dan berpotensi makin menyulitkan pelaksanaan reforma agraria.

Eko Cahyono dari Sajogjo Institute mengatakan, permasalahan agraria di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan lahan dan konflik terus terjadi. Kondisi ini sangat tak tepat dijawab dengan UU Cipta Kerja.

Dokumen:

“Ini gak nyambung. Maunya omnibus law itu untuk memudahkan investasi besar masuk ke Indonesia. Sementara masalah agraria adalah ketimpangan,” katanya, kepada Mongabay awal November ini.

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Penyebab masalah ketimpangan agraria, katanya, justru lembaga-lembaga korporasi berbasis agraria dan sumber daya alam seperti tambang, perkebunan sawit, industri pariwisata juga properti. “Penyebab masalah ketimpangan adalah pemegang investasi terbesar itu.”

Eko juga menyoroti konflik agraria struktural. Dari berbagai data seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), HuMa maupun Komnas HAM, justru korporasi besar berbasis sumber daya alam itulah yang jadi aktor pelaku. Untuk menyelesaikan persoalan agraria, katanya, tidak tepat dengan kehadiran investasi skala besar.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

“Lalu, omnibus law ini mau melayani siapa? Mau mengatasi persoalan agraria apa? Dengan omnibus law justru sedang melanggengkan persoalan warisan agraria yang selama ini sedang dihadapi, yakni, ketimpangan, konflik agraria dan krisis agraria lain.”

Dia juga lihat dari sisi politik hukum. Menurut Eko, pengesahan UU Cipta kerja menunjukkan, politik hukum berupaya memangkas berbagai regulasi, menghilangkan sumbatan leher botol atau seluruh hambatan investasi bisa masuk ke Indonesia. Dengan asumsi, ekonomi Indonesia akan terpuruk kalau investasi tidak masuk.

Eko mengajak mencermati temuan KPK dalam gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam, yang jelas memperlihatkan penghambat investasi itu korupsi.

Kok jawabannya mau dihilangkan perizinan? Loh, jadi kondisi sudah korup. Kemudian dijawab oleh omnibus law yang punya potensi tinggi korupsi. Kan sebenarnya mau pakai investasi untuk pertumbuhan ekonomi dengan masalah utama hukum adalah korupsi. Ini malah mengesahkan omnibus law yang justru berpotensi melanggengkan korupsi,” katanya.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dalam laporan KPK 2017 menyebut, korupsi struktural sumber daya alam karena ada sistem oleh para koruptor untuk mempengaruhi kepentingan negara demi kepentingan diri sendiri. Kondisi ini terlihat dari 70% kepala daerah banyak didukung kepentingan korporasi dalam bisnis mereka.

“Apa kompensasi untuk kepentingan politik mereka? Ketika kampanye dan lain-lain, mereka itu dibiayai oleh korporasi. Temuan kami kebanyakan adalah korporasi tambang, sawit dan industri kehutanan. Kompensasinya, kemudahan izin dan konsesi.”

“Nah, itulah yang kami sebut dengan penyanderaan negara atau state capture corruption. Korupsi yang menyandera negara, bahasa lainnya itu ijon politik.”

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Kalau melihat politik hukum pengesahan UU Cipta Kerja, kata Eko, justru mau memudahkan seluruh perizinan investasi. Padahal, kalau melihat kondisi saat ini, dengan berbagai regulasi yang dianggap menghambat investasi pun, praktik korupsi sumber daya alam dan agraria banyak terjadi.

“Kalau semua dipermudah malah lebih akan banyak lagi potensi korupsi. Nggak ada omnibus law saja, praktik korupsi sumber daya alam saja sudah kayak begini. Apalagi ditambah dengan kemudahan-kemuhaan izin itu. Sangat mungkin akan meningkat.”

UU Cipta Kerja, katanya, justru akan makin menguatkan jejaring gurita oligarki. Kalau melihat susunan anggota DPR, dari 500-an anggota, 300- lebih adalah pebisnis. Dia menduga, ada conflict of interest dalam penyusunan UU Cipta Kerja. Melihat itu, katanya, secara politik hukum UU Cipta Kerja justru akan melanggengkan oligarki dan menguntungkan korporasi dan jaringan di politik nasional.

Gak melayani rakyat, hanya mengabdi kepada korporasi dan pebisnis yang itu tercipta dari persoalan agraria nasional. Akan berpotensi menciptakan korupsi sumber daya alam dan memperparah krisis agraria.”

Hal lain yang disoroti Eko mengenai ketentuan bank tanah. Menurut dia, peruntukan bank tanah juga tak jelas.

“Di bank komersil saja secara logika sederhana, petani itu bisa nggak meminjam? Nggak bisa kan. Istilah bank tanah ini elite. Nah bisa dibayangkan bank tanah itu nantinya untuk melayani apa meski sebagian untuk reforma agraria. Nanti tanah-tanah yang dikumpulkan oleh bank tanah ini, akan jadi obyek pembangunan. Mungkin nanti sisanya untuk reforma agraria. Menurut saya ini menghina reforma agraria.”

Sebab, kata Eko, dalam menjalankan agenda reforma agraria tak ada konsep yang dilayani skema bank. Reforma agraria, sejatinya upaya merombak ketimpangan lahan, lalu ada redistribusi tanah. “Bukan tanah dikumpulin terus dibagi-bagikan.”

Dalam konsep reforma agraria pemerintah saat ini, katanya, lebih banyak menyasar soal legalisasi aset seperti sertifikasi lahan. Dengan sertifikasi lahan dan pembentukan bank tanah, menunjukkan kebijkan agraria di Indonesia dipandu pasar.

Omnibus law ini, menegaskan, praktik kebijakan agraria Indonesia berwatak land reform dipandu pasar. Dengan begitu apa? Ini untuk kepentingan pasar. Maka gak heran kalau orientasi liberalisasi ekonomi.”

Selain itu, katanya, pembentukan bank tanah seperti upaya legalisasi makelar tanah. Pemerintah, seolah bertindak sebagai makelar tanah.

 

Taufik Iskandar bersama rekannya di lahan pertanian cabai. Kampunya kini berdampingan dengan tambang dan PLTU Batubara. Omnibus law peluang terjadi perluasan, lahan-lahan pertanian macam punya Taufik Iskandar ini, bisa terancam. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kalau merujuk UU Pokok Agraria, kata Eko, jelas menyatakan tanah itu punya fungsi sosial. Ia tak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dikomodifisikan. Pembentukan bank tanah, katanya, sebuah tindakan inkonstitusional.

“Sofyan Djalil [Menteri Agraria Tata Ruang/BPN], dimana-mana mengatakan bank tanah itu akan memudahkan bahkan harga bisa nol rupiah. Pertanyaannya, memang negara punya hak atas tanah? Negara itu gak punya hak atas tanah. Di dalam konsepsi hak menguasai negara, itu yang ditujuk Pasal 33 UUD 1945. Dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi hak menguasai negara itu adalah mengkoordinasi dan memfasilitasi. Bukan memiliki.”

Eko melihat, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang merupakan naskah draf RUU Pertanahan yang sebelumnya ditolak. Dia bilang, banyak pasal titipan terintegrasi dalam UU Cipta Kerja.

Sebelum itu, Maria S.W. Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja menyangkut kluster pertanahan bermasalah secara substansi maupun formil. UU Cipta Kerja, katanya, akan menimbulkan banyak masalah di isu agraria.

“Isu krusial dalam UU Cipta Kerja terkait bank tanah, hak pengelolaan dan rumah susun untuk warga negara asing. Dari substansi khusus untuk pertanahan nyata sekali, rumusan itu bias pada kepentingan pengusaha dan abai reforma agraria,” katanya, dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Dia bilang, rumusan substansi manipulatif karena tak merujuk satu Undang-undang yang diubah. Substansi dalam UU Cipta Kerja copy paste penuh dari substansi RUU Pertanahan dengan yang tidak pembahasan setop alias tak lanjut DPR periode lalu karena masalah-masalah krusial tak terselesaikan.

Menurut Maria, substansi tak selesai dibahas dalam RUU Pertanahan dan ditolak banyak kalangan justru diselundupkan dalam UU Cipta Kerja. Malah memindahkan permasalahan yang lebih gawat di dalam omnibus law.

Beberapa hal bermasalah dalam omnibus law terkait kluster pertanahan, kata Maria, seperti, bank tanah yang tak jelas apa landasan hukum, konstruksi, tak jelas filosofi, kelembagaan, maupun tujuan. Bank tanah ini, katanya, malah bisa disangkakan memang membantu kelompok tertentu. “Mengapa? Bisa dibaca kewenangannya antara lain membantu kemudahan perizinan usaha atau persetujuan,” katanya.

Kemudian cara memperoleh pengadaan tanah, ditambahkan dalam omnibus law antara lain untuk kawasan ekonomi, kawasan pariwisata dan lain-lain.

Menurut Maria, substansi terkait dengan pertanahan dalam UU Cipta Kerja manipulatif. Jika pun dipaksakan, akan terdapat kesulitan dalam penyusunan aturan peksananya.

Dalam temu media daring beberapa waktu lalu Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, esensi terbit UU Cipta Kerja sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Selama ini, katanya, di Indonesia banyak sekali tumpang tindih peraturan. Pemerintah, katanya, coba jawab dengan UU Cipta Kerja.

Saat evaluasi, katanya, ada 79 Undang-undang saling bertentangan dan menghambat investasi maka hadirlah jawaban melalui UU Cipta Kerja.

Dengan ‘memperbaiki’ 79 UU yang saling bertentangan melalui UU Cipta Kerja, kata Sofyan, iklim investasi jadi lebih mudah. Dengan begitu, investor mau menanamkan modal di Indonesia, tidak perlu banyak mengurus izin yang dinilai rumit.

“Kalau misal investasi itu tidak menimbulkan dampak lingkungan, cukup dengan pendaftaran. Kalau izin usaha kecil itu tidak perlu pakai izn lingkungan. Tapi kalau perusahaan besar punya dampak terhadap lingkungan, punya dampak terhadap keselamatan mansuia, masih tetap harus amdal [analisis mengenai dampak lingkungan] diperlukan.”

Dia tuding warga yang demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sebagai pihak tak paham tujuan UU itu.

“Bahwa, omnibus law masih ada kekurangan, ayo perbaiki.”

Undang-undang itu, katanya, belum tuntas karena harus ada peraturan pemerintah. “Di ATR/BPN saja harus bikin lima PP [peraturan pemerintah]. Sekarang minta input dari semua orang, silakan. Supaya nanti dalam pelaksanaan sesuai harapan. Kalau ada kekurangan, kita perbaiki di peraturan pemerintahnya.”

“Kalau ada yang menganggap melanggar konstitusi, kita bawa ke mahkamah konstitusi. Kalau PP dianggap merampas, tidak cocok dengan spirit Undang-undang, bawa ke Mahkamah Agung. Jadi semua ada mekanismenya,” katanya.

Landasan filosofis pembentukan UU Cipta Kerja, menurut Sofyan, sudah jelas. Terpenting, apapun untuk mencapai tujuan bernegara, kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Dia tak ada menjawab kekhawatiran berbagai kalangan soal omnibus law tak menjawab konflik agraria maupun ketimpangan kuasa sumber daya alam termasuk agraria.

Kementerian ATR/BPN, katanya, sedang siapkan antara lain peraturan pemerintah soal tata ruang lebih komprehensif yang dianggap lebih menjamin dan menjawab kebutuhan masyarakat serta lebih memudahkan investasi sekaligus mencegah korupsi. Kemudian peraturan pemerintah tentang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang lebih efisien dan lebih cepat. Dia tak jelaskan peraturan pemerintah model apa yang bisa menjawab berbagai hal itu.

Soal bank tanah dia bilang penting. Alasannya, pemerintah tidak mempunyai lembaga khusus menangani tanah negara. Pembentukan bank tanah, kata Sofyan, untuk mengambil tanah-tanah terlantar, tanahtak terurus, tak bertuan, atau tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananan untuk kepentingan perkebunan, tetapi tidak dimanfaatkan. Fungsi bank tanah, katanya, untuk memanfaatkan tanah-tanah terlantar itu.

“Ini untuk kepentingan publik. Untuk kepentingan sosial dan reforma agraria. Bahkan kalau misal nanti ada investasi datang ke Indonesia mengatakan, akan bikin pabrik handphone dan mempekerjakan puluhan ribu orang, itu juga bisa.”

Dia beri contoh, pernah ada perusahaan handphone dari Taiwan akan memindahkan pabrik ke Indonesia dan mempekerjakan puluhan ribu orang. “Mereka minta tanah 50 hektar dengan sewa murah. Waktu itu kan kita gak punya tanah.” Kalau bank tanah sudah ada, hal seperti itu bisa difasilitasi negara.

Bahkan, katanya, demi menarik investasi, memungkinkan investor mendapatkan tanah secara cuma-cuma selama 20 tahun sebagai insentif.

Toh tanah itu kan gak dibawa ke negaranya. Setelah 20 tahun, kita kenakan sewa mahal.”

Selama ini, katanya, pemerintah sulit membuat perumahan rakyat di perkotaan karena tidak ada tanah negara atau harga tanah mahal. Ada bank tanah dia harapkan mampu menjawab permasalahan itu.

Nantinya, bank tanah meskipun jadi lembaga power full, tetapi tetap harus diawasi dengan sistem yang baik. Dia bilang, akan ada dewan pengawas terdiri dari tujuh orang. Tiga wakil pemerintah ex officio, sisanya pengawas independen dari kalangan professional.

“Mungkin KPA itu, aktivis-aktivis agraria yang tertarik kita akan undang. Kita akan pilih dan nanti kita akan kirimkan kepada DPR yang akan approve.”

 

 

Keterangan foto utama: Hutan adat Laman Kinipan dihancurkan untuk kebun sawit. Protes tak mau hutan mereka rusak, warga Kinipan pun hadapi jerat hukum. Kini, Kampung Kinipan sedang dilanda banjir besar. Kala hutan mereka hilang, bencana datang….Belum ada omnibus law dengan fokus kemudahan investasi saja konflik agraria terjadi di mana-mana, bagaimana setelah omnibus law jalan? Foto: Save Kinipan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version