Mongabay.co.id

Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut

Purun yang baru diambil dari rawa gambut ini diolah menjadi bahan tikar dan lainnya. Foto: Nopri Ismi

 

Gambut adalah ekosistem penting dan unik. Keberadaannya bukan saja vital dari sisi ekologis, tetapi juga dari sisi sosial, ekonomi, politik. Berdasarkan data Global Wetlands (2020) lahan gambut di Indonesia berada di Papua dengan luas 6,27 juta ha, Kalimantan Tengah (2,69 juta ha), Riau (2,22 juta ha), Kalimantan Barat (1,78 juta ha), Sumatera Selatan (1,73 juta ha), Kalimantan Selatan (562 ribu ha), dan Jambi (477 ribu ha).

Salah satu jenis tumbuhan penting di lahan gambut dan rawa adalah purun (Eleocharis dulcis), yang pemanfaatannya turut mendukung kehidupan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan purun dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik dan biofilter karena dapat memperbaiki kualitas air dan mampu menyerap unsur beracun seperti besi, sulfur, timbal, merkuri, dan kadmium (Thamrin, 2012). Purun juga memiliki kandungan lignin sebanyak 26,4 persen dan kandungan selulosa sebanyak 32,62 persen yang membuat bahan dalam pembuatan kerajinan bisa awet dan tahan lama.

Purun yang tumbuh di saluran-saluran air juga bermanfaat untuk memperbaiki kualitas air pada musim kemarau dan menyerap zat-zat beracun yang ada di dalam air, seperti besi, timbal, dan merkuri. Kandungan air yang cukup banyak di dalam purun juga bermanfaat untuk mencegah, menanggulangi, dan meminimalisasi kebakaran di lahan gambut.

Mengacu Balai Pengembangan dan Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjar Baru Kalimantan Selatan, ada tiga fungsi pemanfaatan purun di lahan gambut, yakni dari segi ekologis, sosial ekonomi, serta budaya. Dari segi ekologis, budidaya purun dapat memelihara kondisi asli hutan rawa gambut sehingga fungsi hidrologis gambut tetap terjaga kelestariannya.

Dari fungsi sosial ekonomi, adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang melakukan usaha industri rumah tangga seperti kerajinan purun dapat menjadi sumber penghasilan alternatif masyarakat setempat.

Dari segi budaya, kerajinan purun oleh masyarakat dapat diartikan sebagai upaya pelestarian budaya turun temurun leluhur dalam kerajinan menganyam dengan nilai budaya yang cukup tinggi, termasuk pemanfaatan purun sebagai anyaman tikar, tas, sandal dan lain sebagainya.

Baca: Anyaman Purun Itu Seni Rupa Masyarakat Gambut, Bukan Industri Kerajinan

 

Purun yang baru diambil dari rawa gambut di Sumatera Selatan ini diolah menjadi bahan tikar dan lainnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), kerajinan purun telah dimanfaatkan masyarakat sejak dahulu secara turun temurun. Lokasinya pun dapat dijumpai di Lahan Gambut Purun Arang Stambun, Lahan Gambut Purun Tanjung Sabang, dan Lahan Gambut Purun Lebak Gambalan.

Juga di Lahan Gambut Purun Rawang Tinggi, Lahan Gambut Purun Kemang Manyen, Lahan Gambut Purun Penyemef Angan, Lahan Gambut Purun Rutan Dini, dan Lahan Gambut Purun Sepucuk.

Dengan adanya perkembangan kerajinan tikar purun, tak aneh jika Kecamatan Pedamaran juga dikenal sebagai “Kota Tikar”. Umumnya para pengrajin tikar purun adalah perempuan dan anak-anak yang memanfaatkan waktu luang, Hampir 90 persen perempuan Pedamaran bisa menganyam tikar, sebuah keahlian yang didapatkan secara turun temurun (Wildayana et al., 2016; 2008a; 2008b).

Dalam kajian sosiologis, dengan demikian purun dapat dimanifestasikan sebagai kekuatan solidaritas perempuan. Tidak saja sebagai penambah ekonomi keluarga, tetapi juga dari praktik hubungan gender dalam keluarga petani dan nelayan di lahan gambut.

Berdasarkan wawancara penulis pada saat berkunjung ke rumah Suparedi, Kepala Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, OKI (Oktober 2020), penulis menjumpai adanya hubungan pemanfaatan purun di tingkat rumah tangga, yaitu kerjasama antara suami dan istri dalam mencari sumber penghasilan keluarga.

Dalam hal ini laki-laki yang mencari dan mengambil purun, lalu perempuan yang nantinya akan mengolah dan menganyam purun untuk dijadikan berbagai produk kerajinan. Meski purun hanya merupakan strategi mencari nafkah sampingan, namun adanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan dapat membawa dampak positif bagi perekonomian keluarga.

Baca: Pesisir Timur Sumsel Bukan Sebatas Gambut, Tapi Rumah Besar Makhluk Hidup 

 

Lahan gambut yang rusak di Desa Perigi Talangnangka, OKI, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Pemanfaatan Lahan di Kawasan Gambut

Namun demikian, – meski pemanfaatan purun sudah diketahui sejak lama, hingga saat ini belum banyak dari masyarakat yang menanam purun secara intensif. Banyaknya tantangan dan kendala juga membuat kerajinan purun dan pengelolaannya dianggap kurang menggairahkan bagi masyarakat setempat.

Bagi masyarakat, pembudidayaan purun dinilai belum terlalu mendesak karena hasil produksi menganyam bersifat kebutuhan sendiri (subsisten) atau berdasarkan pesanan.

Untuk memperbanyak purun, masyarakat masih melakukannya secara alami dan tradisional, yakni dengan meninggalkan sedikit rumpun sehingga rimpangnya dapat tumbuh kembali. Sebagai contoh di masyarakat Pedamaran, memanen purun dilakukan secara berkala saat purun telah mencapai tinggi tidak kurang dari 1,5 meter.

Penanaman purun pun, biasanya dilakukan hanya dengan menancapkan rimpang atau umbinya.

Menurut masyarakat setempat, potensi purun sebetulnya masih banyak dan belum terlalu terjamah. Umumnya pengambilan bahan baku dapat dilakukan di tempat yang dekat bukan di tempat jauh yang harus menggunakan alat transportasi seperti perahu yang tentunya juga mengeluarkan ongkos.

Baca: Sedotan Purun, Kreativitas Masyarakat Tumbang Nusa Jaga Lahan Gambut

 

Sisik Salak, motif tikar purun yang dibuat masyarakat di Sumatera Selatan. Foto: Jemi Delvian

 

Bagi masyarakat, mengelola kawasan budidaya purun juga masih menghadapi dilema. Yaitu, saat belum adanya aturan penetapan hak kelola masyarakat di lahan gambut. Masyarakat pun khawatir lokasi tersebut bakal berubah dan masuk dalam lokasi dibebankan pada izin pengelolaan lahan perkebunan seperti perkebunan sawit.

Di sebagian masyarakat juga telah mulai muncul kesadaran akan ancaman kerusakan ekosistem dari semakin menyempitnya kawasan gambut purun.

Perihal pengelolaan berbasis kearifan lokal sebenarnya telah diamanatkan dalam  UUD 1945 pasal 33 ayat 3; PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut; dan Permen LHK Nomor P 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Dalam konteks ini, revitalisasi ekonomi di lahan gambut melalui purun dan peran pemberdayaan perempuan sebenarnya dapat bertemu.

Pemberdayaan ekonomi yang digerakan oleh adanya fasilitator desa diharapkan dapat membawa perubahan dan dampak multidimensi bagi ekonomi perempuan, lahan gambut, dan relasi gender.

Baca juga: Menganyam Purun, Merajut Harapan Gambut Lestari

 

Sedotan minuman dari purun ini ramah lingkungan dan alami. Hasil kreativitas ibu-ibu di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Foto: Febriani

 

Pemberdayaan perempuan tidak hanya mengubah aspek di dalam individu perempuan saja, tetapi juga relasi perempuan dengan berbagai aspek di luar dirinya. Misalnya rasa percaya diri, identitas sosial, kemampuan untuk mempertanyakan posisi subordinat mereka, kapasitas untuk melakukan strategi, bernegosiasi, serta dapat berpartisipasi dalam perubahan sosial yang berkeadilan (Kabeer, 2011).

Dari hal tersebut pemberdayaan perempuan mendapat titik masuk. Pemberdayaan menjadi strategi penting dalam meningkatkan peran perempuan dalam meningkatkan potensi agar lebih mampu mandiri dan berkarya.

Dengan mengolah purun, perempuan dan masyarakat tidak mematikan fungsi ekologis dan biodiversitas kesatuan hidrologis gambut, justru sebaliknya melihat lahan gambut dengan paradigma ekologi ekonomi yang berkelanjutan sehingga tercapai pengelolaan purun yang berkelanjutan di masa yang akan datang.

Selain itu, model pemberdayaan yang perlu dilakukan tidak hanya sebatas melihat purun sebagai komoditas semata, tetapi juga memiliki misi ekologis yang lebih jauh, yaitu produksi atau komoditas yang ramah lingkungan dan ekosistem.

 

*Ulfa Sevia Azni, penulis adalah mahasiswa PMDSU (Program Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul), S-3 Ilmu Lingkungan (Bidang Kajian: Sosiologi Lingkungan) Universitas Sriwijaya yang tengah mengkaji Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Purun Berkelanjutan di Sumatera Selatan.

 

 

Exit mobile version