Mongabay.co.id

Peran Media Dibutuhkan untuk Perkembangan Perhutanan Sosial

• Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, memiliki kawasan gambut yang hampir setiap tahun terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Di masa pandemi COVID-19, pelaksanaan program Perhutanan Sosial [PS] di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan [Sumsel], bertambah sulit. Anggaran dan pemahaman masyarakat terhadap PS masih menjadi persoalan utama. Peran media pun sangat dibutuhkan, mengapa?

“Saya pikir pers, khususnya jurnalis, sangat penting perannya dalam mendorong jalannya program Perhutanan Sosial, terutama saat pandemi ini,” kata Dr. Sabaruddin Kadir, akademisi dari Universitas Sriwijaya, yang aktif sebagai pegiat PS, usai webinar Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan dalam Era Pandemi yang digelar Mongabay Indonesia, Rekam Nusantara Foundation, dan Journalist Learning Forum, Jumat [20/11/2020].

“Pelaksanaan PS di Indonesia harus dikerjakan bersama, multipihak, termasuk peran kawan-kawan jurnalis menyampaikan informasi dan fakta terkait PS yang dapat diakses masyarakat luas,” katanya.

Potensi ini cukup luas, sebab perkembangan teknologi informasi [internet] cukup pesat.

“Saya percaya lambannya proses PS karena kurangnya pemahaman di masyarakat maupun pelaksana pemerintah. Untuk mengubah hal tersebut dibutuhkan banyak informasi dan fakta mengenai PS yang sudah dilakukan,” jelasnya.

Baca: Pandemi Menghambat Perkembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan?

 

Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, memiliki kawasan gambut yang hampir setiap tahun terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rekayasa PS yang harus diperhatikan jurnalis

Sebelumnya, pada webinar yang diikuti puluhan jurnalis dan pegiat PS di Sumatera Selatan, Sabaruddin menyebutkan berbagai upaya [rekayasa] dalam mensukseskan PS di Indonesia.

Pertama, rekayasa kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, keputusan gubernur, keputusan bupati. Kedua, rekayasa sosial seperti kepedulian, kesiagaan, kearifan lokal, paradigma baru, perubahan sosio-kultur. Ketiga, rekayasa teknologi seperti pembukaan lahan [bakar vs tanpa bakar], 3Rs, IoT. Keempat, rekayasa komitmen [dokumen] baik internasional, nasional, daerah [pengarus-utamaan]. Kelima, rekayasa dukungan baik internasional maupun nasional.

Mengenai rekayasa kebijakan, kata Sabaruddin, sudah ada beberapa keputusan Menteri LHK terkait PS. Namun, masih ada juga peraturan yang dinilai bottle neck untuk implementasi PS di tingkat tapak.

“Perlu ditegaskan lagi, Permen KLHK Nomor 83 Tahun 2016 Pasal 63 yang dinilai masih sangat luas dan belum memiliki daya ikat yang kuat.”

Selain itu, sebagian pemerintah daerah menganggap PS adalah program nasional. Persepsi ini mengakibatkan belum semua pemerintah daerah menganggap PS sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, terutama untuk pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan.

“Karena belum masuk dokumen pembangunan maka belum juga ada alokasi anggaran. Akiatnya, implementasi PS terkendala,” katanya.

Namun, langkah yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumsel melalui Dinas Kehutanan patut dicontoh. Misalnya menerbitkan SK Gubernur tentang pokja percepatan perhutsos di Sumsel. Pokja ini diharapakan dapat mengakselerasi perluasan areal PS, memfasilitasi KUPS [Kelompok Usaha Perhutanan Sosial] untuk mengembangkan bisnis berbasis PS, serta mendampingi KUPS dalam peningkatan kapasitas KUPS maupun masyarakat yang tergabung dalam KUPS.

“Contoh lain, Pergub Sumbar No.52 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Fasilitasi Perhutanan Sosial,” katanya.

Baca: Perhutanan Sosial Mampu Kurangi Angka Kemiskinan di Sumatera Selatan?

 

Lokasi perhutanan sosial di Desa Muara Medak Kabupaten Muba, selama ini sudah dikelola masyarakat seperti dijadikan perkebunan sawit. Namun tidak semua masyarakat hidup sejahtera dari usaha ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rekayasa sosial. Aspek ini lebih menekankan pada upaya meningkatkan kepedulian dan kesiagaan masyarakat dalam merespon isu perubahan iklim melalui PS. Ruang lingkup masyarakat dalam konteks ini jangan selalu diartikan “hanya” masyarakat di tingkat tapak “tetapi” juga mencakup aparatur pemerintah selaku perencana dan pengambil keputusan yang memiliki dampak kuat. “Aspek ini juga, pihak swasta yang langsung bersinggungan dengan masyarakat, tidak jarang berpotensi menimbulkan konflik baik sebelum maupun sesudah izin PS terbit.”

Kearifan lokal terkait tata kelola sumber daya alam juga perlu diangkat. Tentu dengan sentuhan teknologi agar dapat mengimbangi perkembangan terkini. COVID-19 menimbulkan pergeseran pola interaksi antara manusia, yang mungkin akan berdampak pada keterjangkauan sosialisasi PS di tingkat tapak. “Oleh karena itu, masyarakat perlu diajak beradaptasi dengan pola baru yang mungkin akan merubah sosio-kultur mereka.”

Rekayasa teknologi. Perkembangan informasi digital menimbulkan dua aspek penting, yaitu tantangan dan peluang bagi PS. Oleh karena itu, bisnis berbasis PS mau tidak mau, harus mengikuti perkembangan aspek IT. “Di masa depan, perkembangan IT akan sangat mempengaruhi wajah bisnis berbasis PS.”

Aspek komitmen. Masyarakat adalah pelaku utama [komitmen sosial] dan komitmen terhadap sumber daya alam [komitmen ekologi]. Termasuk untuk bermitra secara produktif yang dibangun berbasis no one left behind.

“Peran masing-masing pihak menjadi sangat penting untuk pengembangan PS di masa mendatang. Tentu masyarakat desa adalah “aktor” utama dalam semua proses.”

Terakhir, rekayasa dukungan. Dibutuhkan dukungan internasional dan nasional mengingat PS adalah kompleks. Kerja sama dan saling dukung adalah strategi yang sangat dibutuhkan, menurut skala ruang [nasional dan internasional], skala waktu [berkesinambungan], dan multipihak. Di tingkat tapak, kerja sama dapat dibangun melalui pembentukan dan pembuatan KUPS, misalnya.

“Enam rekayasa ini menjadi perhatian jurnalis dalam mendorong percepatan PS,” katanya.

Pentingnya peranan media juga disampaikan dua narasumber lain. “Kawan-kawan jurnalis harusnya mengabarkan berbagai persoalan PS. Bukan hanya kabar baik, juga berbagai persoalan yang ada, sehingga program ini benar-benar sesuai target,” ujar Achmad Taufik, Wakil Ketua Pokja Percepatan Perhutanan Sosial [PPS] Sumsel.

“Perannya sangat penting. Sebab masih banyak orang yang belum paham PS, termasuk kesuksesan maupun kendala,” kata Aidil Fitri dari HaKI [Hutan Kita Institut]. HaKI adalah sebuah lembaga yang melakukan pendampingan sejumlah kelompok masyarakat yang menerima izin PS.

Baca: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 Ribu Hektar. Bagaimana Hutan Adat?

 

Persoalan perhutanan sosial di Sumatera Selatan bukan hanya terkait target luasan, tapi juga minimnya hutan adat, “penumpang gelap” serta resolusi konflik. Tampak seorang petani karet tengah menyadap getah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik setelah izin PS turun

Achmad Taufik, dalam webinar tersebut menjelaskan izin PS di Sumatera Selatan hingga saat ini 166 unit, dengan luasan lahan sekitar 119.001,55 hektar, untuk 28.923 kepala keluarga.

Luasan ini masih jauh dari target Sumsel sekitar 586.393 hektar tahun 2020. Target ini berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial [PIAPS]. Sementara, program Perhutanan Sosial sudah dijalankan pemerintah sejak 2010.

Lambannya PS dikarenakan sejumlah hal. Pertama, banyak terjadi konflik setelah izin PS diturunkan. Sampai saat ini ada 8 izin PS yang berkonflik:

Kedua, kapasitas kelembagaan dan minimnya pelatihan pengembangan dan pemasaran produk yang dihasilkan. Ketiga, Permen LHK No. P.11 tahun 2020, HTR sudah tidak dibawah Dirjen PSKL dan dipindahkan ke Dirjen PHPL. Keempat, pandemi membuat progres PS di Sumsel tidak maksimal.

“Pandemi menambah beban percepatan PS,” kata Taufik.

Aidil Fitri juga menambahkan sejumlah persoalan PS di Sumsel. Pertama, pemahaman masyarakat tentang PS tergolong rendah. Beberapa masyarakat masih berpendapat PS adalah hak milik. Kedua, masih sedikit pendampingan penerima izin.

Ketiga, masih sedikit KPS [Kelompok Perhutanan Sosial] atau KUPS yang mengembangkan usahanya. Yang ada baru usaha terkait kopi, madu, beras, purun, sere wangi, ikan asap, asap cair, dan jahe merah.

Keempat, rata-rata kemampuan pemegang izin dalam mengelola wilayah kelolanya masih lemah, business as usual. Kelembagaan juga belum fungsional, cara kerja masih individual.

Kelima, pembiayaan. Anggaran dari pemerintah daerah sangat kecil dan bantuan pihak ketiga seperti perbankan dan perusahaan sangat minim. Keenam, masih sedikit keterlibatan dunia akademis dalam pengembangan PS.

Aidil menambahkan, lembaganya juga telah melakukan upaya penyelesaian sejumlah konflik lahan pasca-izin PS diturunkan:

Baca: Forum Diskusi Mongabay: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Luasan

 

 

Dana desa

Hanya sebagian kecil KPS atau KUPS di Sumsel yang mendapatkan bantuan permodalan dari pihak ketiga. Berikut KPS atau KUPS yang mendapatkan bantuan:

Menurut Aidil, ada peluang dalam pembiayaan KPS atau KUPS yang belum mendapatkan bantuan pihak ketiga, yakni dana desa.

“Dasar hukumnya sudah ada. Kementerian Desa menerbitkan Peraturan Menteri Desa Nomor 16 Tahun 2018. Secara spesifik disebutkan, dana desa dapat digunakan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima izin perhutanan sosial.”

Prioritas kegiatan yang dapat dibiayai dari dana desa itu, antara lain pengelolaan produksi pertanian untuk ketahanan pangan dan usaha pertanian yang difokuskan pada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa. Atau, produk unggulan kawasan pedesaan, seperti pengelolaan usaha hutan desa.

“Ada juga Surat Edaran Mendagri No 522/1392/SJ Tahun 2020 yang isinya mendorong keterlibatan stakeholder, termasuk non-pemerintah dalam pengembangan usaha perhutanan sosial,” katanya.

Namun, banyak kepala desa yang tidak berani menggunakan dana desa untuk PS. “Mereka takut salah, sebab tidak ada surat dari bupati. Jadi, dalam hal ini memang dibutuhkan dukungan dari pemerintah daerah [bupati atau wali kota] untuk menjamin hukum jika dana desa dapat dipergunakan,” ujar Aidil.

 

 

Exit mobile version