Mongabay.co.id

Saat Nelayan Bicara tentang Kebijakan Ekspor Lobster, Apa Katanya?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (25/11/2020) karena dugaan suap perizinan perusahaan ekspor benih bening lobster (BBL). Penangkapan ini secara kebetulan bersamaan dengan rangkaian Hari Ikan Nasional (Harkanas) 2020.

“Pagi-pagi dikirimkan berita langsung heboh. Pak menteri ditangkap, pas hari ikan,’’ kata Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Nusa Tenggara Barat (NTB) Amin Abadullah saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (25/11/2020).

Penangkapan ini menjadi perhatian luas di Lombok, NTB. Lombok memang istimewa dalam persoalan benih lobster. Ketika belum ada larangan benih lobster, nelayan Lombok telah mengirim benih lobster ke Vietnam dan Taiwan. Pengiriman sangat masif, sampai-sampai pembeli dari Vietnam dan Taiwan datang ke Lombok, termasuk juga mengajak beberapa nelayan berkunjung ke Vietnam dan Taiwan.

Kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 2016 mengeluarkan Permen KP No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panurulis spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia menutup pesta pora ekspor BBL.

Terjadi gelombang protes, tapi ada juga nelayan yang mendukung larangan ekspor BBL. Amin salah satu yang mendukung. Pengiriman benih lobster yang berlebihan juga merugikan nelayan budidaya. Karena itulah ketika muncul Permen KP Nomor 12/2020 yang diterbitkan Menteri Edhy Prabowo yang membolehkan ekspor BBL, Amin menolak. Bukan semata persoalan ketersediaan benih lobster yang akan langka, tapi dari aturan yang dikeluarkan membuat lemah para nelayan.

“Sejak awal kami melihat, ekspor benih lobster ini sebagai pundi-pundi (perusahaan pengekspor) mendapatkan duit,’’ kata Amin mengomentari kasus yang melilit Edhy.

baca : Ekspor Benih Lobster Berhenti Pasca Penangkapan Menteri KP, Masalah Tetap Ada

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang anakan lobster di di Tangerang, Sabtu (4/7/2020). Foto : KKP

 

Dalam proses perizinan, semuanya terpusat. Perusahaan terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penentuan kuota untuk setiap perusahaan juga dari pusat. Daerah hanya kebagian mendata nelayan, dan itu pun nantinya surat keterangan nelayan penangkap BBL dikeluarkan KKP. Hampir tidak ada peran signifikan dari kabupaten maupun provinsi. Konsekuensinya pengawasan sangat lemah.

“Bagaimana mengontrol apakah aturan dari pusat itu benar-benar dijalankan, salah satunya terkait kuota. Apakah bisa diawasi benar-benar kuota sudah sesuai,’’ kata Amin.

Celah inilah yang memungkinkan dipermainkan. Fakta di lapangan yang ditemukan LPSDN, para eksportir menyiasati berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menjadi eksportir. Salah satunya terkait budidaya. Sesuai Permen KP No.12/2020, perusahaan eksportir harus melakukan budidaya, pelepasan benih, pelepasan induk lobster. Setelah melakukan kewajiban itu, barulah perusahaan boleh mengirim benih lobster.

“Hanya pemanis saja bilang budidaya. Bagaimana mau tegakkan aturan kalau pengawasan tidak jelas,’’ kata Amin.

Amin menyindir beberapa kegiatan pelepasan induk lobster hasil budidaya yang dilakukan perusahaan. Dalam pelepasan itu dihadiri oleh pejabat terkait Kementerian Kelautan dan Perikanan. Para nelayan sudah tahu jika induk lobster yang dilepas itu dibeli dari nelayan setempat. Dimasukkan ke dalam keramba yang diklaim sebagai keramba budidaya perusahaan. Setelah itu keluarlah izin untuk mengirim benih bening.

“Aturan ini baru-baru keluar, perusahaan baru, tiba-tiba sudah ada budidaya,’’ kata Amin.

baca juga : Pasca Penangkapan Menteri KP, Regulasi Ekspor Benih Lobster Didesak untuk Dicabut

 

Benih lobster yang sudah muncul pigmennya seperti ini tidak laku untuk dijual ke perusahaan eksportir. Mereka menjual ke pembudidaya lokal atau melepas di keramba milik mereka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Amin menilai langkah KPK sudah tepat menangkap Menteri Edhy Prabowo. Dia berharap KPK bisa menelusuri semua pihak yang terlibat, baik dari pemerintah dan swasta.

“Karena kebijakan ini sangat merugikan nelayan, merugikan negara,” katanya.

Saat ini pun nelayan budidaya kesulitan benih. Nelayan penangkap benih lebih memilih menjual benih ke perusahaan. Harga jual ke perusahaan lebih tinggi dibandingkan dijual ke nelayan budidaya. Nelayan budidaya memiliki keterbatasan untuk mencari benih sendiri. Armada terbatas, peralatan terbatas, dan terbatas tenaga kerja mereka. Kondisi diperparah dengan tidak jelasnya kuota penangkapan. Nelayan tidak tahu berapa sebenarnya kuota yang dimiliki perusahaan, terkesan berapa pun jumlah benih yang ditangkap nelayan bisa diserap perusahaan.

“Kuota ini harus benar-benar dikontrol,’’ kata Amin. Tetapi dia realistis, dengan kasus yang menjerat Edhy Prabowo itu tidak serta merta akan mengubah kebijakan Permen KP No.12/2020. Karena itulah Amin meminta, belajar dari kasus saat ini harus ada pengawasan ketat.

“Jangan hanya internal KKP saja yang mengawasi, tidak maksimal,’’ kata Amin.

perlu dibaca : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur.  Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tertipu Ekspor Lobster

Hasan Gauk lebih dikenal sebagai aktivis, termasuk juga pegiat literasi di Lombok Timur. Tapi sejak awal 2020 dia begitu aktif mengurus nelayan. Kampung halamannya memang di daerah pesisir Lombok Timur, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru. Tapi dia belum pernah menjadi nelayan, tiba-tiba aktif mengorganisir nelayan.

Saat itu dia beberapa kali terlihat bersama Fahri Hamzah, mantan wakil ketua DPR RI, sekaligus salah satu petinggi di PT Nusa Tenggara Budidaya, salah satu eksportir BBL. Hasan mengakui membantu nelayan agar bisa terlibat dalam usaha BBL secara legal.

“Saya yang mengumpulkan semua data nelayan, masih sampai sekarang saya pegang data-data itu,’’ katanya saat dihubungi Mongabay, Rabu (25/11/2020).

Saat wacana pembukaan ekspor BBL awal 2020, Hasan sangat mendukung. Dia mengingat beberapa nelayan pernah ditangkap karena mengirim benih lobster ketika dilarang di era Menteri Susi. Dia tidak ingin nelayan di kampung halamannya berakhir di penjara karena tidak memiliki legalitas, atau hanya menjadi penonton dalam bisnis besar itu.

Belakangan dia tahu ada yang keliru dalam rantai bisnis tersebut. Hasan berbalik arah, banyak mengkritik kebijakan yang menurutnya hanya menguntungkan perusahaan dan nelayan hanya jadi sapi perah. “Ternyata semua itu bohong,’’ katanya geram.

Agar bisa melakukan ekspor BBL, perusahaan harus melakukan budidaya atau setidaknya bermitra dengan nelayan budidaya. Hasil budidaya itu harus dilepas kembali ke alam. Sebagian benih harus diberikan ke nelayan budidaya. Menurut Hasan pola ini akan sama-sama menguntungkan. Menguntungkan nelayan penangkap benih karena harga yang lebih bagus, nelayan budidaya juga tidak dirugikan karena bisa mendapatkan benih secara gratis, perusahaan masih bisa dapat untung.

“Setelah beberapa kali pengiriman kok baru ketahuan semuanya itu hanya modus saja. Makanya saya langsung keluar,’’ kata Hasan.

baca juga : Nelayan Pembudidaya Lobster: Diabaikan dan Berjuang dalam Sunyi [bagian 3]

 

Nasrullah, salah seorang nelayan budidaya lobster di Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak, Lombok Timur, NTB. Dia menjual lobster induk miliknya ke salah satu perusahaan dan kemudian dijadikan sebagai bibit restocking oleh perusahaan tersebut. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Hasan, sebenarnya ada sisi baiknya aturan yang dibuat Menteri Edhy. Nelayan surat keterangan agar bisa menangkap, harga bersaing, dan mendukung budidaya. Hanya saja pengawasan sangat lemah. Di satu sisi nelayan tidak memiliki posisi kuat, perusahaan semau-maunya menentukan harga. Jika nelayan menahan terlalu lama, akan terjadi proses perubahan kulit yang berpengaruh pada harga. Eksportir hanya mau membeli benih bening.

Hasan bilang pihak perusahaan menekan pengepul dan nelayan karena perusahaan eksportir juga ditekan oleh perusahaan pengiriman. Biaya kargo Rp 1.800 per ekor BBL terlalu mahal. Akibatnya harga beli dari nelayan diturunkan demi menekan biaya pengiriman.

Nasrullah salah seorang nelayan budidaya lobster di Lombok Timur merasakan dalam tata niaga ekspor BBL membuat posisi nelayan sangat lemah. Benih tidak bisa disimpan terlalu lama, tetapi nelayan tidak tahu berapa sebenarnya kuota pembelian. Di satu sisi nelayan budidaya juga harus bersaing dengan para pengepul untuk eksportir. Untuk masuk kargo, tidaklah mudah dan tidak murah. Dia mendapat informasi dari beberapa rekannya banyak benih yang mati karena terlalu lama dalam pengemasan.

“Termasuk juga ketika pengiriman tidak langsung, singgah di beberapa bandara, termasuk juga diputar-putar sebelum ke negara tujuan. Banyak yang benihnya multing (berubah kulit) bahkan sampai mati,’’ katanya.

baca : Nelayan Lobster : Saatnya Budidaya (bagian 4)

 

Nelayan menunjukkan lobster hasil tangkapannya di perairan  Lamongan, Jawa Timur. Lobster bukan termasuk tangkapan utama oleh nelayan setempat. Seringkali lobster tersangkut jaring ketika nelayan menangkap ikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Regulasi Sarat Masalah

Dian Sandi Utama, Ketua Blue Green Indonesia (BGI) mengatakan sejak awal pihaknya melihat potensi korupsi dan nepotisme dari Permen No.12/2020. Terutama dalam penunjukan perusahaan pemegang izin eksport.

“Selama ini kami memang mengkritisi dari sisi lingkungan, mengenai pengkapan oleh KPK tentu diluar kapasitas kami berkomentar,” kata Dian.

Sedangkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan ada beberapa permasalahan terkait Permen No.12/2020, yaitu justifikasi ilmiah tentang stok BBL di dalam dan berapa jumlah yang boleh ditangkap, aturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ekspor BBL yang kewenangannya pada Kementerian Keuangan.

Isu terakhir yang juga memerlukan pembahasan sampai tuntas, adalah tentang integritas dan transparansi tata kelola BBL. Pembahasan tersebut menjadi mendesak, karena KKP hingga saat ini masih sering melakukan pelanggaran.

“Akibat pelanggaran ini, akhirnya menimbulkan masalah hukum dan terendus KPK. Jadi, semua isu tersebut kesimpulannya harus menjadi catatan untuk melakukan pembenahan oleh KKP,” tegas dia.

Sementara Direktur Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, melalui Permen No.12/2020 itu ada kongkalikong yang mempermudah perusahaan pengekspor BBL sehingga terjadi persaingan tidak sehat yang merugikan nelayan pembudidaya lobster di daerah-daerah.

“Indikator (kongkalikong kebijakan) disetting sejak awal (agar perusahaan pengekspor) bisa mendapatkan rente sebanyak mungkin dengan cara semudah mungkin,” katanya.

Permen No.12/2020 itu juga tidak mempertimbangkan rujukan Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) tentang status zona perairan, termasuk stok BBL di suatu wilayah. Sehingga dia menyarankan agar maka KKP sebaiknya segera untuk kembali fokus melaksanakan upaya pembesaran BBL di dalam negeri saja.

Kalaupun ada kegiatan ekspor, menurut Halim itu bisa dilakukan dengan memberikan alokasi izin setelah pelaksanaan budi daya Lobster berhasil dilakukan oleh para pelaku usaha, termasuk nelayan dan pembudi daya. Dengan demikian, ekspor BBL sebaiknya ditunda sejak sekarang.

 

Exit mobile version