- Pasca penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh KPK karena dugaan suap ekspor benih bening Lobster (BBL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan sementara kegiatan ekspor BBL itu.
- Penghentian tersebut dilakukan, karena KKP beralasan ingin menata ulang pengelolaan BBL dan masih berlanjutnya proses revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Keputusan tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri KP Nomor 12 Tahun 2020
- Penghentian sementara ekspor BBL dinilai tidak menyelesaikan persoalan kebijakan ekspor BBL. Seharusnya, KKP bisa fokus untuk memperjelas sejumlah isu yang berkaitan dengan kebijakan tersebut
- Sejumlah isu itu adalah kajian ilmiah tentang stok BBL di perairan Indonesia, peraturan tentang PNBP yang kewenangannya ada di Kementerian Keuangan, dan tentang integritas serta tranparansi tata kelola BBL
Segala kegiatan yang berkaitan dengan ekspor benih bening Loster (BBL) secara resmi dinyatakan berhenti mulai Kamis (26/11/2020). Keputusan tersebut ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusul tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penghentian aktivitas ekspor tersebut bersifat sementara dan diinformasikan melalui Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) Nomor B. 22891/DJPT/PI.130/XI/2020 yang ditandatangani dan diterbitkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini.
“Surat Edaran di keluarkan hari ini dan berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan,” jelas Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (26/11/2020).
baca : Kolusi Ekspor Benih Lobster yang Membuat Menteri KP ditangkap KPK
Dengan beredarnya surat tersebut, maka seluruh kegiatan yang berhubungan dengan ekspor BBL harus dihentikan oleh semua pihak yang berkaitan, terutama para eksportir yang sudah ditunjuk resmi oleh KKP. Namun, KKP memberi kesempatan ekspor bisa tetap berjalan maksimal pada Jumat (27/11/2020).
“KKP memberi kesempatan bagi perusahaan eksportir yang memiliki BBL di packing house untuk segara mengeluarkan komoditas tersebut dari Indonesia, paling lambat satu hari setelah surat edaran terbit,” tambah dia.
Antam Novambar mengatakan, di dalam surat edaran tersebut dijelaskan secara detail tentang alasan penghentian aktivitas ekspor BBL. Di antaranya, untuk memperbaiki tata kelola pemanfaatan BBL, dan juga karena proses revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Adapun, penghentian tersebut dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
baca juga : Pasca Penangkapan Menteri KP, Regulasi Ekspor Benih Lobster Didesak untuk Dicabut
Kajian Ilmiah
Tentang surat edaran (SE) penghentian aktivitas ekspor BBL tersebut, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memiliki pandangan yang lain. Menurut dia, surat tersebut memang bisa menjadi solusi, namun itu hanya bersifat sementara saja.
“Sementara, itu tidak menjawab masalah polemik benih Lobster,” jelasnya saat dihubungi Kamis (26/11/2020).
Abdi Suhufan mengatakan, saat ini setidaknya ada tiga hal yang perlu diperjelas hingga tuntas oleh KKP dan pemangku kepentingan lain pada sektor kelautan dan perikanan. Di antaranya, adalah justifikasi ilmiah tentang stok BBL di dalam dan berapa jumlah yang boleh ditangkap.
Sejauh ini, studi tentang kedua isu tersebut masih belum dilakukan hingga tuntas oleh KKP. Kalaupun pernah ada dan ternyata sudah dilakukan, KKP juga belum pernah menyampaikan hasil penilaian akhir secara transparan kepada publik dan di mana lokasi penyampaiannya.
Kemudian, isu berikutnya yang juga harus dibahas tuntas adalah tentang aturan PNBP ekspor BBL. Kewenangan tersebut ada di tangan Kementerian Keuangan RI dan sampai sekarang belum pernah dirilis ke publik.
“Apa dasar penarikan retribusi oleh KKP kepada pelaku usaha. Ini menimbulkan ketidakpastian usaha atau bisnis, karena komponen biayanya tidak clear,” sebut dia.
Isu terakhir yang juga memerlukan pembahasan sampai tuntas, adalah tentang integritas dan transparansi tata kelola BBL. Pembahasan tersebut menjadi mendesak, karena KKP hingga saat ini masih sering melakukan pelanggaran.
“Akibat pelanggaran ini, akhirnya menimbulkan masalah hukum dan terendus KPK. Jadi, semua isu tersebut kesimpulannya harus menjadi catatan untuk melakukan pembenahan oleh KKP,” tegas dia.
perlu dibaca : Ada Indikasi Pelanggaran Hukum dalam Kegiatan Ekspor Benih Lobster
Fokus Budidaya
Terpisah, Direktur Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim memberikan tanggapannya tentang kisruh yang terjadi sekarang ini. Menurut dia, keputusan KKP untuk menghentikan sementara aktivitas ekspor BBL merupakan langkah yang tepat di tengah temuan dugaan korupsi oleh KPK.
Dengan adanya temuan dugaan praktik korupsi yang dilakukan Menteri KP Edhy Prabowo bersama sejumlah staf bawahannya, maka KKP sebaiknya segera untuk kembali fokus melaksanakan upaya pembesaran BBL di dalam negeri saja.
Kalaupun ada kegiatan ekspor, menurut Halim itu bisa dilakukan dengan memberikan alokasi izin setelah pelaksanaan budi daya Lobster berhasil dilakukan oleh para pelaku usaha, termasuk nelayan dan pembudi daya. Dengan demikian, ekspor BBL sebaiknya ditunda sejak sekarang.
Halim menambahkan, berkaca pada Keputusan Menteri KP Nomor 50 Tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan-Negara Republik Indonesia, sebaiknya KKP harus lebih berhati-hati lagi.
“Pemanfaatan benur Lobster bisa dilakukan secara terbatas dengan pengawasan ketat, bukan dikacaukan melalui keran ekspor,” tegas dia.
Oleh karena itu, kebijakan tersebut tidak serta merta melegalkan pelarangan pemanfaatan BBL di kalangan nelayan. Melainkan, bagaimana mengawasi seluruh aktivitas nelayan yang terbiasa menangkap BBL di alam sebagai penghasilan.
“Diawasi dengan ketat, agar tercatat dengan baik dan tidak terjadi konflik horisontal,” tambah dia.
baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat
Pengawasan Ketat
Dengan kebijakan seperti itu, Halim meyakini persoalan pemanfaatan BBL akan bisa sama-sama diterima dan dipahami oleh semua pihak yang berkaitan. Khusus untuk pemanfaatan, KKP bisa menjadikan rujukan Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) tentang status zona perairan.
Sepanjang hasil kajian Komnas Kajiskan menyatakan bahwa satu wilayah perairan tidak masuk zona merah, lanjutnya, maka penangkapan BBL oleh nelayan masih bisa dilakukan. Tetapi, jika sebaliknya, maka nelayan harus bisa memahaminya.
“Seperti WPP-NRI 714 saja yang masih bagus. Jika sudah merah, maka (nelayan) bisa diarahkan untuk menangkap spesies lain. Dalam konteks itu, perlu pendampingan teknis dan permodalan dari Pemerintah,” jelas dia mencontohkan WPP NRI 714 yang mencakup perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.
Berkaitan dengan penanganan hukum kasus dugaan korupsi Menteri KP Edhy Prabowo yang dilakukkan KPK saat ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak KPK untuk menyelidiki dan mengusut lebih dalam kepada perusahaan yang ditunjuk KKP menjadi eksportir BBL dan sudah melaksanakan kegiatan ekspor.
Dengan menyelidiki para eksportir secara langsung, maka permasalahan ekspor BBL akan bisa diungkap lebih jauh lagi. Hal itu, karena sejak awal pemberian izin ekspor BBL yang dilakukan KKP kepada perusahaan yang ditunjuk menjadi eksportir sudah bermasalah.
“Khususnya ketiadaan transparansi dan akuntabilitas,” sebut dia.
Susan mengatakan, sebelum KPK menangkap Edhy Prabowo, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) lebih dulu mengingatkan KKP terkait kebijakan pemberian izin ekspor BBL yang dinilai terdapat banyak potensi kecurangan. Bahkan, ORI menyebut kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi RI.
“Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut,” ungkapnya.
baca : Ketika Susi Pudjiastuti Ikut Bahas Polemik Ekspor Benih Lobster
Diketahui, Edhy Prabowo ditangkap KPK di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, setelah pulang dari kunjungan kerja ke Hawaii, Amerika Serikat. Selain Edhy, ada 16 orang yang ikut ditangkap pada Rabu (25/11/2020) dini hari.
Dari total 17 yang ditangkap, KPK kemudian menetapkan tujuh orang menjadi tersangka kasus dugaan suap ekspor BBL. Ketujuh orang tersebut adalah Edhy Prabowo, Staf Khusus Menteri KP Safri Muis, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, Stafsus Menteri KP Andreau Pribadi Misanta, dan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito.
Berdasarkan rilis kasus yang dilakukan KPK, Edhy menerima uang suap senilai Rp3,4 miliar dan USD100 ribu atau setara Rp1,41 miliar dari Suharjito. Namun, KPK merilis fakta bahwa PT Aero Citra Kargo (ACK) yang berperan sebagai perusahaan freight forwarder berhasil mengumpulkan uang hingga Rp9,8 miliar dari seluruh perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor.
Sebagai forwarder, PT ACK menjadi perusahaan tunggal yang meneruskan pengiriman BBL dari perusahaan hingga sampai ke negara tujuan. Untuk itu, setiap perusahaan yang ingin mengekspor harus membayar jasa PT ACK dengan harga Rp1.800 per BBL.