Mongabay.co.id

Hutan Kampung yang Menyelamatkan Kuta

 

Mengunjungi Kampung Adat Kuta di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, sekitar 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tak ditemukan adanya keistimewaan. Setelah melewati gapura berbahan kayu bertuliskan ucapan selamat datang, semuanya nampak biasa saja.

Seperti halnya kampung lain, aliran listrik telah menerangi kampung seluas 97 hektar ini. Siaran televisi terdengar sayup dari sekitar 127 rumah. Media elektronik bukanlah barang langka di sini. Hanya sinyal seluler yang masih sulit melewati tebing setinggi 75 meter mengelilingi Kampung Kuta.

Penampilan 358 jiwa warga Kampung Kuta umumnya bermata pencaharian sebagai pembuat gula aren juga biasa saja. Mereka berpakaian seperti masyarakat kebanyakan. Berbahasa Sunda meski tinggal di perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah.

Akan tetapi, keistimewaan baru ditemui ketika mengamati rumah-rumah lebih seksama. Rumah di sana, panggung dan wajib bentuknya persegi panjang. Pintu dan dapur mesti satu rima atau saling berhadapan antara satu rumah dengan rumah lainnya. Hal itu berfungsi sosial, “Supaya tahu bilamana tetangga sedang kesusahan,” ujar seorang ibu ketika hendak ke sawah.

baca : Hutan Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan Cekungan Bandung

 

Suasana rumah warga di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di kampung seluas 97 hektare ini tak diperbolehkan membangun rumah tembok. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keistimewaan lain dari Kampung Kuta akan ditemui jika mengunjungi hutan lindung seluas 32 hektar di selatan kampung. Berawal dari sana, kepatuhan warga terhadap adat terlihat.

Hutan yang ditumbuhi ragam pepohonan besar itu disebut Leuweung Gede. Hanya bisa dimasuki setiap hari Senin dan Jumat. Siapa saja yang memasuki hutan harus mampu memenuhi dua syarat, yaitu menjaga sikap dan penampilan. Syarat berikutnya ialah tak diperbolehkan mengambil atau mengubah apapun.

 

Pesan Karuhun

Menurut Kuncen Leweung Gede Maman Sajo (55), Leuweung Gede dikeramatkan karena merupakan tempat penyimpanan peninggalan Prabu Ajar Sukaresi yang awal memerintah Kerajaan Galuh. Maka, keberadaan hutan begitu disakralkan karena berhubungan dengan karuhun (nenek moyang) Kuta.

Selain itu, ada pengetahuan lokal tersirat dari sana. Warga mafhum betul bahwa tanah Kuta labil, “Untuk itu hutan dijadikan penyangga sekaligus kampung,” kata Maman saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.

“Yang terpenting hutan adalah sumber kehidupan. Kalau sampai rusak, berarti akan rusak pula kampung kami,” tambahnya. Ia percaya bahwa laku lampah yang tidak sejalan dengan adat bakal menimbulkan malapetaka.

baca juga : Kondisi Hutan Jawa Bagian Barat Kini, dan Bandingan Masa Lalu Zaman Junghuhn

 

Sesepuh Adat Kuta Ki Warja melakukan ritual adat saat warga Kampung Kuta di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat hendak mendirikan rumah. Ritual itu bertujuan sebagai mitigasi dini jika membangun rumah di atas tanah labil atau rawan pergerakan tanah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Terlepas dari beragam mitos, tanpa disadari, aturan adat telah mengantarkan mereka menjadi salah satu penjaga kelestarian lingkungan hidup selama ratusan tahun. Adat membuat kampung mereka tidak pernah kekurangan air atau kebanjiran.

Berbeda di luar Kampung Kuta. Banyak kampung-kampung dekat kaki gunung sudah mengalami perubahan iklim dan lingkungan ditandai oleh serangan babi hutan ke kebun dan sawah. Banyak pula cerita warga yang rungsing (direpotkan) oleh serangan hama itu.

Para babi turun gunung ke ladang karena tidak ada lagi cadangan makanan di hutan. Itu terjadi karena keseimbangan ekosistem terganggu sehingga rantai makanan juga terganggu. Salah satunya burung-burung menghilang dari pohon-pohon diburu orang desa untuk dijual ke kota.

Di Leuweung Gede, burung-burung dibiarkan hidup. Begitupun satwa penghuni belantara lainnya tenang beranakpinak di sana. Warga percaya di hutan itu ada munding wulung, satwa sejenis banteng yang akan muncul sebagai penanda saat hutan dirusak. Selain itu, munding wulung juga dipercaya membantu kehidupan manusia karena bisa mengendalikan hama pohatji (tanam-tanaman).

“Kami mematuhi pituah nenek moyang karena isinya pastilah kebaikan,” jelas Maman. Adat mengatur warga Kuta untuk tidak menebang pohon di lahan yang telah ditentukan sebagai ancepan, serupa kawasan lindung. Warga juga dilarang menebang 1.000 pohon aren yang bibitnya dibawa musang dari hutan keramat.

Maman mengaku tak semua paham menyoal pesan karuhun. Alasannya, pesan itu kerap sebagai, metafora, sebagai alegori atau satir untuk merangsang otak berpikir hingga menemukan jawabannya sendiri.

“Jawabannya akan terjawab dengan fenomena alam,” papar Maman. Pesan Karuhun Kuta tak jauh dari kelestarian alam serta keselarasan dengan ekosistem kehidupan. Dan tata cara adat sebenarnya, merupakan nilai-nilai yang sekarang sedang dituju oleh manusia modern yaitu keseimbangan.

perlu dibaca : Ini Champion Penjaga Hutan dan Pemberdaya Masyarakat di Jabar

 

Kuncen Leuweung Adat, Maman Sajo, memperlihatkan ragam pepohonan besar di hutan lindung seluas 32 hektare di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Seandainya Kuta administasinya setingkat kabupaten/kota, maka Kuta menjadi satu-satunya daerah yang serius menjalankan amanat undang-undang tentang ruang terbuka hijau sebesar 30% dari wilayah. Kondisi seperti itu, menjadikan kualitas hidup dan kesehatan warganya terjamin.

Begitu juga dengan kemandirian pangan mereka yang tak pernah mengalami krisis. Warga terbiasa berhitung tiap kali musim panen tiba. Mereka enggan menjual padi, sebelum memenuhi kebutuhan dapur sampai panen berikutnya. Aspek kesehatan pun jadi prioritas. Warganya getol menanam tanaman obat di sekeliling rumah.

“Jika sudah dapat hidup layak, warga tidak akan terpancing untuk ingin lebih. Kami merasa sudah cukup tanpa harus merusak,” celoteh warga lainnya. Kuta seperti mengetahui ancaman kepadatan penduduk. Sangat berisiko bila luas daerah dan sumber daya alam terbatas diisi terlalu banyak penduduk. “Maka di sini setiap perkawinan paling banyak 2 anak,” timpal Maman.

 

Berpikir Maju

Meskipun Kampung Kuta memiliki tiga pemimpin, yaitu kepala dusun yang bertugas mengurus masalah pemerintahan, kepala adat yang bertugas mengawasi pelaksanaan adat, serta kuncen yang tugasnya menjaga kelestarian Leuweung Gede. Tak sekonyong-konyong mengubah atau menambah aturan. Semuanya kukuh pada kaki-kaki adat yang mengikat warganya hidup selaras dengan bumi.

Hal itu menjadi salah satu modal besar melestarikan kisah turun-temurun di Kuta. Dibutuhkan pendekatan multidisiplin untuk menjaga tuntunan itu tetap hidup di masyarakat.

Ketika orang-orang kota menyadari kekeliruannya mengeksploitasi hutan hanya kepentingan ekonomis semata, warga Kuta sudah berpikir ekologis dan sosial. Mereka sudah menerapkan nontimber forest product (hasil hutan non kayu) sedari dulu.

baca : Kisah Dadan “Menghidupkan Kehidupan”, Menjaga Kelestarian Alam Gunung Ciremai

 

Penderes nira aren, potret aktifitas warga di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menyoal konservasi air, Kuta juga menuai hasil manis dari kesetiaan warganya menjaga dan mengelola hutan dengan bijkasana. Bila mengacu pada standar UNESCO yaitu pemenuhan hak dasar air minimal 60 liter per orang dalam sehari, maka orang-orang Kuta tak risau akan hal itu.

Agaknya, tradisi leluhur mengajarkan bahwa lingkungan sudah sangat jelas bagaimana manfaatnya. Setali tiga uang, tradisi mempertahankan rumah panggung berbahan kayu merupakan mitigasi lokal yang menyelamatkan nyawa.

Pada akhirnya, mempertahankan adat ternyata telah memberikan banyak manfaat secara ekonomis, ekologis sampai sosial. Meski begitu, Maman menyadari kisah-kisah atau petuah-petuah karuhun mesti dijelaskan secara rasional. Itu penting, katanya. Sebab generasi mendatang, barangkali belum tentu percaya beragam mitos selama ini dipegang teguh itu merupakan kearifan lokal yang melampaui zaman. Tuntunan hidup yang pandang biasa, namun jauh begitu berharga.

 

Seorang warga mengolah gula aren,pPotret aktifitas warga di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version