Mongabay.co.id

Sebaiknya Budi daya atau Ekspor Benih Lobster?

 

Kasus dugaan korupsi ekspor bening benih Lobster (BBL) yang melibatkan Edhy Prabowo saat masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, menjadi buah bibir di masyarakat Indonesia dalam kurun waktu sepekan ini. Akibatnya, pro dan kontra kembali muncul terkait kebijakan tersebut.

Peneliti Krustasea dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Rianta Pratiwi menjelaskan tentang pemanfaatan Lobster (Panulirus spp.) yang seharusnya dilakukan oleh para pemangku kepentingan di Indonesia.

Lobster merupakan biota laut yang termasuk dalam golongan krustasea, dengan gastropoda dan alga menjadi makanan sampingannya. Untuk memenuhi kebutuhan makan, hewan laut tersebut bergerak aktif di malam hari.

“Itu kenapa, Lobster disebut hewan nokturnal, karena dia aktif mencari makan di malam hari,” jelas dia saat berbicara dalam sebuah webinar yang dilaksanakan pada Senin (30/11/2020).

baca : Pasca Penangkapan Menteri KP, Regulasi Ekspor Benih Lobster Didesak untuk Dicabut

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang anakan lobster di di Tangerang, Sabtu (4/7/2020). Foto : KKP

 

Dengan tekstur daging yang gurih, halus, lezat, dan berprotein tinggi, Lobster sangat digemari oleh hampir semua kalangan masyarakat yang ada di Indonesia, juga di negara lain. Karena kelezatannya pula, permintaan Lobster terus meningkat dari waktu ke waktu.

Rianta Pratiwi mengungkapkan, permintaan yang tinggi menyebabkan penangkapan di alam menjadi sangat tinggi dan dilakukan dalam waktu yang tak terbatas. Bisa dikatakan, Lobster adalah golongan krustasea yang bernilai ekonomi tinggi dan dikenal luas di dunia.

“Sebagai dampak harga Lobster meningkat, nelayan juga terus menerus mengambilnya dari alam. Untuk itu, pembudidayaan Lobster perlu ditingkat,” tegas dia.

Rianta mengungkapkan itu setelah pada 2018 pernah melakukan penelitian tentang keanekaragaman dan potensi Lobster di Indonesia, dan dilaksanakan di Pantai Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Di Indonesia, Lobster bisa ditemukan di seluruh wilayah perairan seperti dari pantai barat Sumatera hingga pantai timur di Jayapura, Papua. Lobster bisa hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100 sampai kurang dari 200 meter di bawah permukaan laut, dengan kisaran suhu antara 20-30 derajat celcius.

“Mereka biasanya menyenangi daerah terumbu karang, bersembunyi di dalam lubang atau dibalik batu-batu karang yang airnya dangkal di daerah tropis ataupun semi tropis. Meskipun memiliki morfologi yang sama, tetapi habitatnya berbeda-beda tergantung jenisnya,” jelas dia.

baca juga : Ekspor Benih Lobster Berhenti Pasca Penangkapan Menteri KP, Masalah Tetap Ada

 

Seorang nelayan di Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur menunjukkan bibit bening lobster. Dari nelayan bibit ini dibawa ke pengepul yang biasanya memiliki hubungan dengan perusahaan tertentu. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Berkelanjutan dan Bertanggung jawab

Dengan luas wilayah perairan mencapai 6,32 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 81.000, kekayaan laut Indonesia sangat melimpah. Khusus untuk Lobster, Rianta menyebut ada tujuh jenis yang hidup di perairan Indonesia sejak lama.

Ketujuhnya adalah Lobster Pasir (Panulirus homarus), Lobster Batik (Panulirus longipes), Lobster Batu (Panulirus penicillatus), Lobster Pakistan (Panulirus polyphagus), Lobster Mutiara (Panulirus ornatus), Lobster Bambu (Panulirus versicolor), dan Lobster Batik Merah (Panulirus femoristriga).

“Lobster mutiara dan Lobster pasir menjadi lobster yang paling potensial untuk dikembangkan melalui sistem budi daya perikanan yang ada di Indonesia,” sebut dia.

Dalam mengembangkan Lobster, Rianta meminta semua pihak harus melaksanakannya dengan tata kelola perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Prinsip tersebut harus terus diterapkan, karena bisa mendukung kelestarian ekosistem perairan laut yang menjadi habitat benih Lobster.

Dengan sumber daya laut yang sangat kaya, potensi BBL alam yang ada di laut saat ini diketahui sangat besar dan diperkirakan jumlahnya mencapai 20 miliar ekor per tahun. Akan tetapi, faktor alam yang mencakup dinamika oseanografi dan klimatologi sangat memengaruhi keberadaan dan stok di alam.

Tak hanya itu, potensi BBL di alam juga sangat bergantung pada kualitas lingkungan perairan laut dan aktivitas penangkapan sumber daya ikan yang dilakukan Nelayan dan pelaku usaha. Namun, dari semua itu, belum diketahui dengan pasti faktor mana yang paling menentukan potensi BBL di alam.

perlu dibaca : Saat Nelayan Bicara tentang Kebijakan Ekspor Lobster, Apa Katanya?

 

Seorang nelayan budidaya lobster memantau keramba jaring apung miliknya di Telur Jor, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, NTT. Penjualan lobster lesu ketika pandemi Covid-19 dan saat yang sama keran ekspor benih bening lobster dibuka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tentang budi daya Lobster yang didorong untuk dilakukan oleh banyak pembudi daya ikan dan pelaku usaha di seluruh Indonesia, Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI sudah melakukannya sejak beberapa tahun ini, khususnya untuk tahap pembesaran. Keberhasilan itu diungkapkan Peneliti BBIL LIPI Varian Fahmi.

Varian yang berbicara pada kesempatan sama, mengatakan bahwa budi daya Lobster dilaksanakan LIPI karena tertantang untuk bisa menyelamatkan biota laut tersebut dari ancaman kepunahan. Adapun, dalam prosesnya ada tiga tahapan yang dilakukan untuk budi daya Lobster.

Ketiganya adalah tahapan pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Pada tahap pembenihan, terjadi proses kawin antara Lobster jantan dan betina sampai menghasilkan bayi Lobster. Setelah itu, anakan Lobster akan ditempatkan pada keramba jaring apung (KJA) yang terbuat dari bambu atau kayu.

“Lokasi KJA tempat pemeliharaan anakan Lobster umumnya terletak di teluk yang mempunyai pertukaran air bagus dan terhindar dari gelombang tinggi. KJA juga harus terletak jauh dari sungai untuk menghindari fluktuasi salinitas air laut, terutama pada saat musim hujan,” papar dia.

Walau sudah melaksanakan budi daya, tetapi dia menilai kalau upaya yang sudah dilakukan sampai sekarang masih belum berkembang. Hal itu berbeda dengan upaya serupa yang sudah dilakukan melalui riset oleh LIPI terhadap biota-biota laut yang juga menghadapi ancaman kepunahan.

Selain Indonesia, negara yang juga melakukan penelitian untuk budi daya Lobster adalah Australia. Saat ini, upaya tersebut berhasil membuahkan hasil setelah melakukan riset selama belasan tahun. Keberhasilan tersebut menguatkan Indonesia untuk mengikuti jejak negara Kanguru tersebut.

perlu dibaca : Nelayan Lobster : Saatnya Budidaya (bagian 4)

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di Telur Jor, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTT. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tahapan Rintisan

Untuk sekarang, Varian menyebutkan, selain menjalankan tahapan pembesara, dia dan tim peneliti di BBIL juga melaksanakan uji coba tahapan pembenihan Lobster. Meski belum berhasil, namun penelitian akan terus dilakukan hingga membuahkan hasil.

“Ketika Lobster sudah besar, maka kami menjadikannya induk. Selanjutnya induk-induk itu dikawinkan, anak-anaknya nanti itulah yang kami gunakan untuk riset pembenihan,” terang dia.

Berkaitan dengan tahapan pembesaran yang sedang dilakukan LIPI, Varian mengatakan bahwa pihaknya memberikan pakan yang berbeda dengan pakan yang biasa dikonsumsi oleh Lobster di alam. Di KJA, anakan Lobster diberikan pakan berupa daging ikan runcah dan pelet udang untuk tambahan nutrisi.

Pada tahapan pembesaran tersebut, pakan diberikan dua kali dalam sehari dan potongan daging ikan harus berukuran kecil agar dapat dimakan oleh anakan Lobster. Dengan demikian, diharapkan tidak ada sisa pakan yang dapat menurunkan kualitas air karena pembusukan pakan oleh bakteri.

Menurut dia, pakan yang diberikan dalam tahapan pembesaran sebaiknya memang tidak dalam jumlah banyak untuk sekali pemberian. Hal itu, karena jumlah yang tidak berlebihan akan mengurangi datangnya biota kompetitor seperti kepiting ke dalam KJA atau wadah pemeliharaan yang lain.

“Hal ini juga dapat mengurangi biaya pakan untuk pembesaran anakan lobster,” ucap dia.

Selain pakan yang tepat dan tidak berlebihan, proses budi daya Lobster juga harus senantiasa memperhatikan penyakit yang bisa setiap saat menyerang. Tiga penyakit yang harus diwaspadai, adalah milky disease, black gill, dan red body.

perlu dibaca : Benih Lobster Dieksploitasi, Berbahayakah Secara Ekologi?

 

Nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Peneliti Ahli dari BBIL LIPI Sigit Anggoro Putro pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa budi daya Lobster di Indonesia masih dalam tahapan rintisan hingga saat ini. Penyebab masih belum berhasil melakukan budi daya, karena Indonesia terkendala dengan sarana infrastruktur.

Untuk melaksanakan budi daya Lobster, infrastruktur seperti rakit dan jaring harganya cukup mahal. Kemudian, pakan yang berasal dari ikan runcah juga harganya tidak bisa dibilang murah, karena masih fluktuatif mengikuti musim yang berlangsung. Per kilogram, runcah dihargai sekitar Rp5.000-15.000 per kg.

Diketahui, pengembangan budi daya Lobster sudah dilakukan di Indonesia sejak lama dan menyusul kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang membolehkan ekspor BBL yang sebelumnya dilarang saat Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan

 

Exit mobile version