Mongabay.co.id

Pilkada Serentak, Was-was Nasib Hutan dan Gambut Indonesia

Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember ini. Ada sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota akan memilih kepala daerah. Seringkali gelaran pesta demokrasi ini disertai obral perizinan hutan maupun lahan di berbagai daerah. Kekhawatiran pun muncul dalam pilkada kali ini.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan akhir November lalu mengatakan, pilkada serentak 2020 sangat spesial. Bukan hanya terlaksana pada masa pandemi, juga pemimpin daerah terpilih merupakan generasi pertama yang menjalankan atau mengimplementasikan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi.

“Tentu ini tantangan baru bagi masa depan lingkungan hidup. Daerah-daerah yang akan pilkada itu memiliki kekhasan ekologis dan berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia,” katanya dalam diskusi daring.

Secara keseluruhan, katanya, daerah yang menggelar pilkada ini memiliki hutan alam sekitar 60,05 juta hektar atau setara 67,72% dari hutan alam di Indonesia. Juga memiliki luas lahan gambut 13,89 juta hektar atau 64,23% dari keseluruhan gambut di Indonesia.

Baca: Jatam: Waspada Enam Modus Ijon Politik Tambang di Indonesia

Semestinya, kata Teguh, pIlkada serentak ini bisa jadi momentum politik untuk mempengaruhi perlindungan hutan tersisa dan pencapaian komitmen iklim Indonesia sektor kehutanan. Bisa juga jadi peluang bagi pemerintah daerah memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.

Pilkada, seharusnya bisa menghasilkan pemimpin daerah yang jadikan hutan alam dan ekosistem gambut sebagai aset pembawa peluang, bukan pembawa risiko.

Madani menilai, pesta demokrasi ini pertarungan antara menyelamatkan hutan atau menggunduli hutan. Jadi, katanya, bukan hanya rutinitas demokrasi.

“Ini satu titik penting harus disikapi karena menyangkut masa depan hutan Indonesia. Walaupun pilkada hanya diikuti sembilan provinsi, tetapi melingkupi lebih dari setengah luas gambut dan luas hutan alam tersisa di Indonesia,” katanya.

 

Lahan gambut sisa terbakar tahun 2015, terletak di eks PLG Sejuta Hektar Kalteng. Foto: Ridzki R. Sigit

 

Pilkada, katanya, juga bisa jadi momentu positif penguatan perlindungan hutan dan iklim. “Tak bisa dipungkiri, ada sisi ancaman terkait penggundulan hutan.”

Dari kesembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada, katanya, provinsi yang memiliki hutan alam terluas adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah.

Teguh bilang, rekam jejak deforestasi di ketiga provinsi ini juga tinggi. Dalam periode 2003-2008, tingkat deforestasi tiga wilayah itu sekitar 2,6 juta hektar. Untuk Kalteng sendiri, deforestasi seluas 1,4 juta hektar.

“Tentu sangat mengkhawatirkan jika proses pilkada tidak mengusung konten dan komitmen perlindungan hutan dan masa depan lingkungan hidup,” katanya.

Teguh bilang, data-data ini Madani munculkan ke hadapan publik agar pemilih sadar atas situasi dan nasib hutan ke depan pasca pilkada.

“Ini akan tergantung kepada pemimpin yang terpilih. Begitu juga kepada paslon walaupun sudah lewat proses penyusunan visi misi, tetapi masih ada harapan dengan infromasi ini ketika terpilih nanti bisa membuat program yang bisa memperkuat perlindungan hutan,” kata Teguh.

Dia bilang, kehilangan hutan bukan sekadar pohon atau tumbuh-tumbuhan juga ancaman bencana. Bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan dan lahan bakal meningkat seiring luas hutan berkurang.

Untuk itu, meminimalkan risiko bencana, selain mencegah deforestasi dan degradasi hutan, penting bagi kepala daerah terpilih memaksimalkan pencegahan karhutla. Terutama, katanya, di daerah-daerah dengan ekosistem gambut cukup luas.

Wawan Wardiana, Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, KPK sudah survei terkait proses pilkada pada 2015, 2017 dan 2018. Kala itu, KPK mewawancarai calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada di provinsi, maupun kabupaten kota.

Dari hasil survei KPK menunjukkan, 82,3% calon menyatakan karena dana relatif kecil dibandingkan biaya, mereka dibantu donatur atau sponsor. Bantuan mereka tidak terbatas kepada masa kampanye, jauh sebelum kampanye.

Terkait dana sponsor atau donator, KPK lalu menanyakan soal benturan kepentingan guna mengetahui kemungkinan imbalan jasa andai memenangkan pilkada. Hasil survei KPK 2015 menyatakan, 56% pendonor meminta imbal jasa atau bantuan setelah terpilih. Tahun 2017, naik jadi 71% dan 2018 menjadi 76%.

“Mereka itu berharap bantuan saat setelah jadi kepala daerah. Itu dinyatakan eksplisit baik lisan maupun tertulis. Harapannya, banyak. Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah dalam perizinan.”

Ketika ditanyakan apakah akan mengabulkan permintaan dari pendonor atau sponsor, 83% menyatakan akan memenuhi permintaan pendonor.

Untuk kehutanan, sebenarnya sejak 2010, KPK sudah kajian guna pencegahan, seperti mulai perencanaan kehutanan. KPK juga merekomendasikan, ada peta tunggal untuk kawasan hutan.

Saat kajian itu, banyak tumpang tindih kawasan. Dari aspek perizinan, saat kajian, untuk mendapatkan izin ini ternyata tidak mudah. Dengan banyak perizinan dan persyaratan harus dipenuhi, dan banyak keberatan dalam memenuhi persyaratan hingga terjadi upaya suap.

“Kalau ditanya di lapangan, ternyata mereka harus mengeluarkan Rp600 juta-Rp22 miliar per tahun untuk mendapatkan izin konsesi.”

Kondisi inilah, katanya, yang membuat layanan jadi tidak baik. Bahkan muncul upaya pemerasan dan suap di setiap tahapan dalam perizinan termasuk kebijakan-kebijakan yang diberikan.

 

 

Ada UU Cipta Kerja

Pilkada serentah ini, kata Teguh, yang pertama setelah ada UU Cipta Kerja. Kalau melihat ketentuan dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, ada beberapa kewenangan pemerintah daerah terkait pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat.

Setidaknya, ada lima kewenangan pemerintah daerah terhapus oleh UU Cipta Kerja. Pertama, kewenangan terkait penataan ruang kawasan strategis termasuk penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis.

Kedua, kewenangan menetapkan kebijakan amdal dan UKL-UPL. Ketiga, kewenangan menetapkan jenis usaha dan atau kegiatan wajib dilengkapi UKL-UPL.

Keempat, kewenangan membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu komisi ini. Kelima, kewenangan pemberian perizinan berusaha untuk pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.

Meskipun begitu, kata Teguh, bukan berarti kewenangan pemerintah daerah benar-benar hilang oleh UU Cipta Kerja. Pemda masih memiliki kewenangan perencanaan ruang di wilayah dalam bentuk RTRW provinsi dan kabupaten. RTRW daerah bisa disesuaikan memberi jalan bagi kepentingan proyek strategis nasional atau kalau ada perubahan kebijakan nasional yang strategis.

“Setelah UU Cipta Kerja, kewenangan pemerintah provinsi paling signifikan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan hutan, ekosistem gambut, dan lingkungan hidup. Antara lain, pengajuan usulan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang, perlindungan dan pengelolaan hutan alam di APL dalam RTRW provinsi, pemberian perizinan berusaha yang dapat mengubah tutupan hutan, misal, perkebunan dan pertambangan.”

Kemudian pemerintah daerah juga berwenang mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Lalu kewenangan mempercepat pengakuan masyarakat adat di wilayahnya melalui perda.

“UU Cipta Kerja itu memangkas kewenangan pemda dan memperkukuh kewenangan pusat dalam pengeloalan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Tentu ini ada baik dan buruknya. Kalau melihat pengaturan sebelum UU Cipta Kerja dari 543 urusan pemerintah bidang kehutanan, 56% ada di KLHK. Provinsi 19%, kabupaten 17% dan presiden 8%. Setelah ada UU Cipta Kerja, persentasi [pusat] meningkat.”

Satu provinsi yang bakal pilkada, yakni Kalteng. Sri Suwanto, Kepala Dinas Kehutanan Kalteng mengatakan, pemerintah provinsi tak mempunyai kewenangan memberikan izin final. Pemberian perizinan tetap berada di pusat.

“Kami sebagai kepala dinas kehutanan hanya memberikan pertimbangan, apabila ada permohonan-permohonan masuk di dalam izin dalam usaha khusus izin perkebunan atau usaha di kawasan hutan,” katanya.

Kini, daerah sudah bentuk pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Dengan begitu, Dinas Kehutanan memberikan pertimbangan-pertimbangan dan harus kajian teknis soal pantas atau tidak izin keluar.

Perizinan yang ada kini, katanya, merupakan serangkaian proses lama. Dia contohkan, dulu ada perkebunan dalam kawasan hutan, kemudian ada skema tukar menukar kawasan yang muara tetap di kementerian terkait.

“Kita mau tidak mau melanjutkan proses perizinan itu. Untuk pemberian izin usaha perkebunan, tentu ini umumnya berada di wilayah kabupaten kota,” katanya.

Mengenai perubahan fungsi dan kawasan hutan, kata Sri, memang pemerintah provinsi mempunyai kewenangan mengusulkan. Di Kalteng, misal, dengan ditunjuk sebagai bagian proyek food estate sebagai program nasional, Dinas Kehutanan mengusulkan perubahan kawasan hutan.

“Lokasi food estate kan sebagian besar di kawasan gambut, tetapi itu kami melakukan penelitian-penelitian yang oleh para ahli memangkinkan untuk dikerjakan. Tentu kita diintruksikan secara nasional, kita akan mengusulkan untuk perubahan itu.”

Dengan penunjukan Kalteng untuk proyek food estate, Sri mengatakan, mau tidak mau deforestasi memang akan terjadi. Untuk food estate ini target hingga 400.000 hektar. Jadi harus ada usulan perubahan status kawasan hutan jadi area penggunaan lain. Selain itu, juga ada proyek ketahanan pangan yang dikomandoi oleh Kementerian Pertahanan seluas 31.000 hektar.

Luas Kalteng 15,3 juta hektar., dengan kawasan hutan 12,3 juta hektar. Area penggunaan lain seluas 3,1 juta hektar. Sesuai KepmenLHK Nomor 8108/2018, terdapat hutan konservasi seluas 1,6 juta hektar, hutan lindung 1,3 juta hektar, hutan produksi terbatas 3,3 juta hektar. Lalu, hutan produksi tetap 3,7 juta hektar dan hutan produksi dapat dikonversi 2,2 juta hektar.

Saat ini, di Kalteng ada izin IUPHHK hutan alam 57 unit seluas 3,9 juta hektar, HTI 33 unit 856.000 hektar, dan IUPHHK restorasi ekosistem 3 unit 164.000 hektar. Ada juga satu perizinan penyimpanan dan penyerapan karbon 25.800 hektar.

Ada pun sektor perkebunan, total 2 juta hektar. Untuk perkebunan sawit 1,4 juta hektar, karet 445.000 hektar, kelapa dalam 34.000 hektar, kakao 2.304 hektar, kopi 1.955 hektar dan lain-lain 56.593 hektar.

 

 

Keterangan foto utama: Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Sumber: Bawaslu.go.id

 

Exit mobile version